Afghani dan Pan-Islamisme

Afghani dan Pan-Islamisme

Bagian kelima dari tujuh tulisan:  Muhammadiyah dan Matarantai Pembaruan Islam

Oleh: Dr H. Haedar Nashir, M.Si.

 

Jamaluddin Al-Afghani adalah sosok pembaru yang paling kuat energi pergerakannya. Dia bagaikan burung Rajawali, hijrah dari satu negara ke negara lain dan di setiap wilayah yang dikunjunginya selalu menimbulkan kegoncangan politik.

Tak ada tokoh pembaru yang begitu kuat karakternya dan dinamis pergerakannya selain Jamaluddin Al-Afghani. Tokoh pembaru ini dilahirkan di Afghanistan tahun 1839, karena itu dinamanya melekat nama Afghani. Karir hidupnya dimulai sejak usia 22 tahun ketika diangkat menjadi pembantu Pangeran Dost Muhammad Khan, kemudian pada tahun 1864 menjadi penasihat Sher Ali Khan. Setelah itu bahkan oleh Muhammad Azam diangkat menjadi Perdana Menteri bersamaan dengan kedatangan penjajah Inggris ke Afghanistan. Karena kedatangan penjajah setelah mendukung kekuatan penentang penjajah, Afghani pada tahun 1869 pindah ke India.

Ketika India jatuh ke tangan Inggris, Al-Afghani tidak lama di India, dia di akhir tahun 1869 itu kemudian menuju ke Mesir dengan naik kapal laut melalui terusan Suez. Di Mesir yang pertamakali itu pada awalnya dia berniat untuk berhenti dari pergerakan politik dan kemudian menekuni dunia keilmuan selama di Mesir itu. Di negeri seribu menara itulah Afghani sempat menjadi “guru” diskusi berbagai kalangan, termasuk pada mahasiswa dan akademisi dari Universitas Al-Azhar, yang di antara “murid”-nya yang paling menonjol dan kemudian menjadi tokoh pembaru yaitu Muhammad Abduh dan juga  pahlawan Mesir Sa’ad Zaglul Pasha.

Tidak lama Afghani tinggal di Mesir yang pertama itu, kemudian mengembara ke Istambul Turki pada tahun 1870. Dia disambut oleh Perdana Mesnteri Turki, Ali Pasya, dan diberinya jabatan sebagai Anggota Dewan Pengajaran Kerajaan. Namun di Turki pun tidak lama karena difitnah oleh sebagian ulama yang tidak suka kepadanya, sehingga dia kemudian harus meninggalkan Istambul dan pergi ke Mekkah untuk menunaikan haji. Dalam menunaikan haji itulah Afghani tergerak oleh suasana menyatunya umat Islam seluruh dunia, sehingga  lahirlah gagasan untuk menggerakkan Jami‘ah Islamiyyah, ikhitiar untuk mempersatukan umat Islam sedunia yang oleh para ahli Barat kemudian disebut Pan-Islamisme.

Konsep Jami‘ah Islamiyah Jamaluddin berbeda dari pandangan tentang Pan-Islamisme pada umumnya. Pan-Islamisme dalam pandangan umum merupakan kosep persatuan umat Islam sedunia dalam bentuk kekhalifahan Islam dalam dua bentuk yaitu solidaritas Islam buah dari ibadah haji dan kekhalifahan (Stoddard, ibid: 46-47). Spirit Jami‘ah Islamiyah bagi Jamaluddin memang persatuan umat Islam seluruh dunia, tapi  tidak menghendaki satu kepala negara atau satu khalifah untuk seluruh dunia sebagaimana konsep Pan-Roma yang berlaku di dunia Kristen. Konsep satu khalifah atau satu kepala negara untuk dunia Islam menurut Jamaluddin tidaklah mungkin. Jami’ah Islamiyah menghendaki persatuan umat Islam sebagai kekuatan bersama untuk membebaskan dirinya dari penjajahan dan membangun kekuatan bersama (Mukti Ali, 1990: 192).

Al-Afghani sungguh resah menyaksikan dunia Islam yang tidak bersatu, tetapi juga terbelakang. Karena itu, selain mengumandangkan ide Jami’ah Islamiyah, dia juga menggelorakan semangat pembaruan dengan membuka pintu ijtihad dan melakukan gerakan kembali pada ajaran Islam yang murni, yakni Al-Quran dan As-Sunnah.  Bagi  Jamaluddin, umat Islam mundur karena meninggalkan ajaran agamanya, dan karena banyak mengikuti ajaran dari luar Islam. Agama Islam sekadar menjadi ucapan di lisan dan tulisan di atas kertas, tidak diwujudkan dalam kenyataan. Kemunduran umat Islam juga karena perpecahan di dalam, yang memperlemah persaudaraan. Namun karena situasi zaman yang penuh penindasan dan kehadiran penjajahan yang semakin meluas, maka Jamaluddin Al-Afghani jauh lebih kuat tekanan gerakannya pada perjuangan politik ketimbang mengembangkan pembaruan keagamaan. Kekuatan pembaruan Al-Afghani justru pada gerakan Jami‘ah Islamiyah-nya yang melintasi negara, madzhab, dan golongan. Afghani juga pembaru yang membangkitkan jiwa pergerakan Islam.

Tahun 1871 setelah naik haji Al-Afghani tergerak lagi untuk kembali ke Mesir, lebih-lebih karena kerinduannya bertemu dengan Muhammad Abduh dan menetap cukup lama. Dia bertemu, berdiskusi, dan melakukan pergerakan untuk mendobrak pemikiran yang jumud dan sekaligus membangkitkan umat dan kekuatan Islam untuk maju serta melawan penjajahan. Dia bangkitkan jiwa agama untuk kemajuan dan pergerakan hidup umat Islam. Agama yang bukan retorika dan kata-kata, tetapi tindakan. Tahun 1876, Al-Afghani terjun lagi ke pergerakan politik di Mesir. Dia bertemu dengan Putra Mahkota Taufik dan kemudian pada tahun 1879 membentuk Partai Nasional (Al-Hizb Al-Wathani) dengan menggelorakan semboyan  “Mesir untuk Orang Mesir” sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajahan Inggris.

Kerjasamanya dengan Pangeran Taufik berhasil menggulingkan Khedewi (penguasa) Ismail Pasha dan digantikan oleh Putra Mahkota Taufik. Tapi ironi atau tragedi politik terjadi, justru setelah Taufik menjadi Khedewi di Mesir atas tekanan Inggris kemudian Al-Afghani diusir dari Mesir karena dikhawatirkan akan terjadi pemberontakan yang lebih luas bukan hanya ancaman terhadap pemerintahan baru tetapi juga terhadap penjajah Inggris. Teman seperjuangan itu setelah berkuasa berubah haluan dan kemudian menjadi memusuhi Al-Afghani. Karena itu tahun 1879 Al-Afghani diusir keluar Mesir dan pindah ke India.

Pada tahun 1879 itulah, Afghani keluar dari Mesir dan pindah lagi ke India. Dia tinggal  Heydirabad selama tiga tahun. Di kota ini pula dia sempat menulis buku “Ar-Raddu ‘ala al-Dahriyyin”  (Menolak Naturalisme). Dia berkomunikasi pula melalui surat dengan Abduh yang dibuang ke Beirut (Libanon) dan kemudian kembali ke Mesir setelah itu.  Dia menghimpun para mahasiswa dan kaum muslimin untuk menyatukan pandangan pembaruan dan penyatuan umat. Karena mulai menghimpun massa, maka pemerintah Inggris khawatir lagi sebagaimana terjadi di Mesir, maka Jamaluddin diusir lagi dari India. Pada tahun 1883 Afghani akhirnya pindah ke London (Inggris), tetapi tidak lama karena merasa berada di negeri yang paling memusuhi dirinya, maka  dia kemudian pindah ke Paris (Perancis).

Di kota Paris itulah Afghani menghimpun para imigran muslim dari Mesir, India, Syiria, Afrika Utara, dan lain-lain untuk sebuah gagasan menggalang persaudaraan atau persatuan Islam seluruh dunia. Di salah satu jantung kota Eropa itulah Jamaluddin kemudian menerbitkan majalah Al-Urwat Al-Wutsqa yang ternama itu, yang kemudian tersebar ke seluruh dunia Islam seperti Mesir, Iran, Turki, India, termasuk ke Indonesia. Namun majalah Al-Urwat itu kemudian dibreidel oleh pemerintah Perancis yang bekerjasama dengan Inggris karena dianggap menyebarkan virus perlawanan Islam terhadap penjajahan Barat dan menjadi ancaman baru, setelah majalah tersebut terbit sebanyak delapanbelas nomor dari tahun 1883 hingga 1884.

Setelah Al-Urwat Al-Wustqa distop dan sahabatnya Muhammad Abduh di Beirut kemudian di Mesir mulai menarik diri dari kegiatan politik untuk menekuni bidang pendidikan, Jamaluddin merasa menyendiri. Kala itu, tahun 1885, Jamaluddin tiba-tiba memperoleh undangan Raja Iran Muhammad Syah untuk datang ke Iran. Akhirnya dia hijrah ke Iran. Watak perjuangan dan penentangannya terhadap penjajah muncul kembali setelah Sultan Nasiruddin Syah yang menggantikan Muhammad Syah bekerjasama dengan penjajah Inggris. Di sana dia menggerakkan perlawanan terhadap penjajahan Inggris dan menggulingkan Syah Nasiruddin yang pro-Inggris. Di Iran itulah dia menetap selama tiga tahun, namun setelah Syah dibunuh oleh pengikut setia Al-Afghani, dia harus meninggalkan Iran dan kemudian pindah ke Istambul (Turki) tahun 1892.

Kedatangannya ke Istambul sebenarnya juga atas undangan Sultan Abul Hamid yang tengah memerlukan dukungan dari negeri-negeri muslim yang tengah terancam oleh kehadiran penjajah Eropa, yang mengancam eksistensi Kekhalifahan Ustmani yang berpusat di Turki kala itu. Kehadiran Jamaluddin Al-Afghani di Istambul saat itu sebagai tokoh pemersatu sekaligus kharismatik di dunia Islam, sungguh diperlukan untuk memperkuat posisi Abdul Hamid dan dinasti Ustmani dari ancaman penjajah Barat. Tapi sayang, karena perbedaan paham antara Afghani dengan Sultan yang cukup tajam soal ide demokrasi versus teokrasi, maka Afghani kemudian disisihkan secara politik. Al-Afghani seolah menjadi tahanan negara, yang tidak bisa lagi melakukan aktivitas pergerakan politik seperti sebelumnya, juga tidak bisa meninggalkan Istambul, sehingga lama kelamaan menjadi terisolasi.

Dalam kondisi terisolasi itulah Jamaluddin Al-Afghani, tokoh pembaru dan musuh terbesar Inggris itu kemudian menghembuskan napasnya yang terakhir tahun 1897 di Turki. Kematian Jamaluddin dan kuburannya masih simpangsiur, sebagian sumber menyebutkan di Iran. Pembaru dari Afghanistan ini memang menyisakan kontroversi dalam sejarah hidupnya, dia bahkan tidak sempat menikah. Namun satu hal, bahwa jejak pembarua Al-Afghani sungguh membekas ke seluruh dunia Islam.  Karena gerakannya yang tiada henti dalam membangkitkan kesadaran dan perlawanan terhadap penjajah Inggris,  sosok pembaru yang pemberani dari Afghanistan ini bahkan dijuluki sebagai “musuh terbesar Inggris”. Pemikiran dan buah pembaruan Sayyid Jamaluddin Al-Afghani dalam membangkitkan kesadaran politik dan persatuan umat Islam sedunia bahkan terukir kokoh dan terus menjadi inspirasi dunia Islam sepanjang zaman.

Exit mobile version