“Saya masih diakui anggota Muhammadiyah kan?” kata Kapolri Jendral Badrodin Haiti kepada rombongan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah yang menemuinya di Mabes Polri Jakarta. Perkataan tersebut pun diiyakan oleh para anggota PP Muhammadiyah di akhir pertemuan yang berlangsung rileks selama hampir dua jam, Senin (4/4/2016).
Baca Haedar Nashir: PP Muhammadiyah Sampaikan 5 Hal Penting
Siapakah sebetulnya Jendral Polisi Drs Badrodin Haiti yang menanyakan masih diakui sebagai anggota Muhammadiyah? Badrodin sendiri sebelum masuk Akapol adalah lulusan SMA Muhammadiyah di Jember.
Jendral Polisi Drs Badrodin Haiti lahir di Paleran, Umbulsari, Jember, Jawa Timur pada tanggal 24 Juli 1958. Anak dari Ahmad Haiti dan Siti Aminah. Ia anak keempat dari 10 bersaudara. Dari ayahnya (Ahmad Haiti) inilah mengalir darah Muhammadiyah.
Ahmad Haiti sebelumnya merupakan Kyai Salaf yang mempunyai murid banyak. Tetapi karena ada perubahan paham keagamaan kemudian dijauhi santrinya dan ia pun rela menanggalkan kekyaiannya.
Perubahan tersebut pertama kali nampak ketika Kyai Ahmad Haiti memberanikan diri mengubah kebiasaannya saat membacakan khutbah Jumat di masjid. Kalau biasanya ia khutbah dengan membawa tongkat, saat itu Ahmad Haiti mencoba untuk tidak memakai tongkat.
Bahkan, ia juga tidak membaca teks khutbah berbahasa Arab, yang biasa dibaca oleh para khotib saat naik mimbar.
Kontan, cara berkhutbah Kiai Haiti yang diluar kebiasaan itu, mendapat reaksi keras jamaah Jumat yang memenuhi masjid Darun Najah. Sejak saat itu, ia tidak lagi diperkenankan menjadi khotib Jumat.
Meski masih tetap shalat di masjid tersebut, ia lebih memilih menjadi makmum dan meninggalkan kebiasaannya sebagai imam shalat, karena jamaah sudah tidak menghendaki menjadi imam,”.
Kewibawaannya sebagai Kiai Masjid, dengan sendirinya memudar. Kiai Achmad Haiti dengan sabar dan lapang dada, menanggalkan setumpuk gelar dan kehormatan yang sebelumnya disematkan kepadanya. Bahkan pada puncaknya Kiai Achmad Haiti, kembali pindah tempat tinggal, karena sudah tidak nyaman berada di lingkungan masyarakat yang berbalik memusuhinya.
Di tempat yang baru, di Dusun Krajan Kulon, Karang Genteng, Kiai Achmad Haiti tidak surut untuk tetap berdakwah. Justru di tempat baru ini, beliau semakin terang-terangan menyebut dirinya anggota Persyarikatan Muhammadiyah. Dan untuk pertama kalinya, pada tahun 1971, beliau merintis pelaksanaan Sholat Idul Fitri di lapangan desa setempat. Saat pertama kali diadakan, jamaah sholat Idul Fitri hanya 12 orang, terutama dari keluarga sendiri dan beliau yang menjadi imam sekaligus khotibnya.
Dari sinilah cikal bakal Muhammadiyah di Paleran berdiri. Setelah cukup lama menjadi ranting Muhammadiyah Kecamatan Bangsalsari, pada tahun 2000 lalu, Paleran yang hanya sebuah desa, bisa berdiri Cabang Muhammadiyah, hingga menjadi PCM diantara 22 PCM lainnya di kabupaten Jember.
Hasil rintisan dan perjuangan Kyai Ahmad Haiti, kini berdiri Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Paleran dengan berbagai amal usahanya. Diantara AUM yang berdiri berupa TK ABA, SD, SMP dan SMK Muhammadiyah, sejumlah masjid/mushalla, serta beberapa bidang tanah waqaf yang dikelola Muhammadiyah. Dan anak keduanya H. Lukman Haiti meneruskan aktifitas ayahnya aktif di Muhammadiyah Paleran, (le).