Sidoarjo– Sebagai lembaga yang secara resmi mewakili ormas Islam Muhammadiyah dalam pengelolaan dana-dana zakat, infak, dan sedekah, Lazismu perlu melakukan reposisi untuk menyesuaikan perkembangan regulasi zakat di Indonesia. Hal ini disampaikan Hilman Latief Ketua Badan Pengurus Lazismu pada Rakornas Lazismu Kamis (7/4).
Menurutnya, reposisi adalah bentuk respon Lazismu menjawab tantangan diberlakukanya regulasi perzakatan di Indonesia, yaitu UU no 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat. Lazismu sendiri berdiri dan dikukuhkan sebagai Lembaga Amil Zakat (LAZ) nasional sejak 2002. Sejak itu, banyak lembaga amil zakat yang dikelola persyarikatan baik di tingkat daerah maupun cabang yang berubah menjadi Lazismu sebagai brand. “Maka reposisi adalah agenda mendesak untuk standarisasi kapasitas dan tata kelola Lazismu di seluruh tingkatan”, tegas Hilman.
Standarisasi kapasitas itu, lanjut Hilman, meliputi standar pelaporan, standar akutansi zakat, SOP, dan pelaporan yang terintegrasi. “Sistem pelaporan yang terintegrasi adalah prasyarat Lazismu sebagai LAZ nasional, sehingga grafik perkembanganya lebih terukur”, paparnya.
Untuk memperkuat itu, Hilman menekankan pentinya legalitas formal. “Diharapkan Pimpinan Daerah dan Cabang Muhammadiyah mengkonsolidasikan keberadaan Lazismu. Tentunya dengan memberikan dukungan kelembagaan secara legal formal di internal persyarikatan”, katanya.
Tantangan lain yang dihadapi Lazismu, imbuhnya, menjawab gelombang teknologi digital yang menuntut kelincahan sebagaimana industri perbankan dan asuransi. Tuntutan beradaptasi dengan teknologi digital harus dijawab dengan baik oleh pelaku filantropi guna mengukur efektivitas dan sosialisasi zakat yang tepat sasaran dan edukatif.
“Semua tantangan itu mesti direspon baik untuk memastikan program dan kegiatan Lazismu memberi dampak sosial-spirutual kepada umat”, pungkas Hilman. (gsh)