Oleh: Lutfi Effendi
Tidak diduga pada tanggal 14 Ramadhan 1313 H jam 9 pagi datanglah utusan Kyai Penghulu H Muh Khalil Kamaludiningrat agar Kyai Dahlan merubuhkan surau yang baru selesai dibangun karena kiblatnya tidak sebagaimana kiblat Masjid Gede Kraton Yogyakarta. Kyai Dahlan tidak dapat menjawab karena merasa terpukul jiwanya kecuali ucapan “Inna lillahi wainna ilaihi rojiun, La haula wala quwwata illa billahil aliyyil azim”.
Upaya meluruskan kiblat , meski suraunya sendiri ataukah harus gagal. Surau yang diperluas dan diluruskan kiblatnya mulai bulan Rajab, harus segera dirubuhkan di bulan Ramadhan. Padahal selama ini, tentang pelurusan kiblat, sudah dirundingkan baik-baik, ketika ulama lain tidak setuju agar kiblat Masjid Gede diubah maka cukuplah suraunya saja yang diubah. Ternyata itupun tidak diperkenankan oleh Kyai Penghulu, penguasa keagamaan, waktu itu.
Itulah resiko perjuangan meluruskan amal. Memang berat untuk memperjuangkan shiratal mustaqim (jalan yang lurus). Meski banyak orang yang hafal doa: ihidinash shiratal mustaqim dan dilafalkan pada waktu shalat, tetapi banyak orang yang tidak tahu dan memahami artinya. Sehingga ketika selesai shalat kehidupannya tetap bengkong (tidak lurus). Shalat tetap jalan, maksiat jalan lurus.
Tetapi ketika mata batin umat telah terbuka, karena akal budinya telah tercerahkan maka pelurusan kiblat suatu masjid sudah menjadi jamak yang lumrah, sudah biasa. Sebagaimana terjadi pada saat ini, ketika orang ingin membangung masjid di Indonesia, apapun golongannya, berusaha mengkiblatkan bangunan mesjidnya.
Pelurusan amal ini ternyata sudah menjadi trade mark Muhammadiyah dengan segala resikonya, sebagaimana dialami pendirinya KH Ahmad Dahlan. Tidak hanya pada amal yang terkait dengan ibadah mahdlah Muhammadiyah berusaha meluruskan, tetapi amal yang terkait dengan amal muamalat (social dan kemasyarakatan) juga akan diluruskan jika memang harus diluruskan.
Kita kenal dengan upaya pemberantas takhayul, bid’ah dan churafat (TBC). Ini dalam langkah pelurusan akidah dan ibadah. Gerakan ini cukup mendapat reaksi masyarakat hingga saat ini.
Di dalam perjuangan berbangsa, jiwa pelurusan itu juga muncul tatkala Negara dalam keadaan darurat. Ketika akan menentukan dasar Negara, Ki Bagus Hadikusuma (Ketua Umum PP Muhammadiyah waktu itu) muncul dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ketika Perang Kemerdekaan (mempertahankan kemerdekaan) berkecamuk, Soedirman dari Pandu Muhammadiyah Hisblul Wathan ditunjuk sebagai panglima besar untuk memimpin tentara. Demikian pula saat pemberontakan G30S PKI, Muhammadiyah dengan KOKAMnya berjibaku dengan tentara melawan komunis.
Di era perjuangan reformasi, muncul Prof Dr M Amien Rais (Ketua Umum PP Muhammadiyah waktu itu) dalam perjuangan dengan mahasiswa. Pada saat kepemimpinan Prof Din Syamsudin muncul gerakan meluruskan kiblat bangsa, dimana banyak undang-undang yang tidak berpihak kepada rakyat diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk dikoreksi.
Dan kini, pada era kepemimpinan Dr Haedar Nashir MSi sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah sedang meluruskan cara bagaimana seharusnya menghadapi terorisme yang cenderung memojokkan umat Islam. Pemberantasan terorisme perlu dilakukan dengan moderasi dan jangan memakai deradikalisasi.
Pemberantasan tidak perlu diproyekkan dan dengan cara gaduh. Upaya pelurusan ini, tidak tanpa resiko. Sebab bisa jadi Muhammadiyah dituduh pro-terorisme, apalagi saat ini Muhammadiyah sedang mengadvokasi Siyono yang meninggal dalam penanganan Densus 88. Muhammadiyah anti terorisme, tetapi penangannya hendaknya yang elegan dan tidak terkesan Indonesia menjadi sarang terorisme.(***)