Abduh Pembaru Moderat

Abduh Pembaru Moderat

Haedar Nashir (Dok SM)

Bagian keenam dari tujuh tulisan:  Muhammadiyah Dan Matarantai Pembaruan Islam

Oleh Dr H Haedar Nashir, M.Si.

Di antara pembaru dunia Islam yang termasuk cemerlang pemnikirannya, dialah Muhammad Abduh. Karakter pemikiran dan kiprah pembaruan tokoh dari Mesir ini relatif memiliki kemiripan  dengan pemikiran Kyai Haji Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.

Muhammad Abduh lahir di sebuah desa  Mahallah Nasr, di Mesir hilir pada tahun 1849 pada era Mesir di bawah kekuasaan Muhammad Ali (1805-1849). Menurut sementara pendapat, tahun kelahiran Abduh tidak begitu pasti, ada  yang bilang satu tahun lebih tua dari itu, karena masa kelahirannya situasi Mesir berada dalam masa pergolakan dan kedua orang tuanya tidak terlalu mementingkan soal tempat dan tanggal lahir (Nasution, 2001: 49). Ayahnya bernama Abduh Hasan Khairullah, keturunan Turki yang lama menetap di Mesir, sedangkan ibunya keturunan Arab yang nasabnya sampai ke suku bangsa Umar bin Khattab. Dari ayah dan ibunya Abduh kecil belajar membaca dan menulis, sebagai bekal awal untuk belajar Al-Quran dan menuntut ilmu di kemudian hari. Setelah itu pendidikan Abduh diserahkan ke seorang guru, hingga dua tahun mampu menghafal Al-Quran dan kemudian pada tahun 1862 dikirim untuk belajar agama di sebuah daerah bernama Tanta, di dekat Ismailiyah, dalam asuhan Syekh Ahmad.

Abduh tidak lama belajar di Tanta karena merasa tidak puas dengan metode pengajaran yang diterimanya yang lebih banyak bertumpu pada hafalan dan kurang mengasah penalaran atau pemahaman. Dia pulang kampung dan dalam usia 16 tahun kemudian menikah. Belum lama menikah, Abduh dipaksa orang tuanya untuk kembali ke Tanta. Dalam masa keengganan belajar itulah Abduh bertemu dan dididik oleh paman ayahnya bernama Syekh Darwisy, hingga bangkit kembali untuk belajar dan mencintai buku serta ilmu. Tahun 1866 akhirnya Abduh meneruskan studi ke Al-Azhar di Cairo, dan di situlah dia bertemu, berguru, dan berteman dengan Jamaluddin Al-Afghani untuk pertama kalinya. Ketika Jamaluddin Al-Afghani datang kembali ke Mesir untuk kedua kalinya tahun 1871 dan menetap lama di Cairo, Abduh termasuk murid setia dan paling disayang Afghani. Dari Afghani itulah Abduh menimba ilmu dan pikiran-pikiran pembaruan, termasuk aktif dalam kancah politik perjuangan Islam. Tahun 1877 Abduh selesai kuliah di Al-Azhar, kemudian mengajar di almamateurnya, selain mengajar pula di Darul Ulum.

Aktivitas politik Abduh bersama Afghani di bawah komando Urabi Pasya dalam melawan penguasa Turki dan penjajah Inggris yang menguasai Mesir kala itu (tahun 1882) mengantarkan tokoh Mesir ini dibuang ke Beirut. Dari Beirut Aduh sempat pergi ke Paris (Perancis) pada tahun 1884. Di negeri Eropa itulah keduanya sempat menerbitkan majalah Al-Urwat Al-Wutsqa untuk beberapa edisi. Tahun 1885 dia kembali lagi ke Beirut hingga tahun 1888. Sejak itulah Abduh lebih berkonsentrasi mengajar dan meminta idzin kepada Afghani untuk berhenti melakukan aktivitas politik, yang membuat guru dan sahabat perjuangannya itu marah besar terhadap Abduh. Tapi Abduh tetap pada pendiriannya hingga benar-benar berhenti berpolitik, bahkan dia mengeluarkan pendapatnya yang terkenal, “aku berlindung kepada Allah dari politik”, yang menggambarkan suasana batin anti-politik.

Berhenti berpolitik, Abduh pada tahun 1888 kembali ke Mesir. Dia kembali ke Al-Azhar tetapi tidak diperbolehkan mengajar karena dikhawatirkan akan mempengaruhi mahasiswa Al-Azhar. Namun diperbolehkan bahkan diangkat menjadi anggota Majelis A‘la Al-Azhar, yang di kemudian hari berhasil melakukan perubahan-perubahan atau pembaruan di tubuh universitas tertua di dunia Islam tersebut. Tahun 1899 Abduh diangkat menjadi Mufti di negeri seribu menara itu hingga akhir hayatnya pada tahun 1905.  Tafsirnya yang terkenal, Al-Manar, tidak sempat selesai, hingga pada bagian selanjutnya diteruskan oleh muridnya, Muhammad Rasyid Ridla. Tafsir yang mengubah alam pikiran dunia Islam itu memang menjadi karya bersama Abduh dan Ridla, yang menyabarkan virus pembaruan bagi siapapun yang membacanya, termasuk bagi Kyai Haji Ahmad Dahlan ulama muda dari Yogyakarta saat itu.

Karya-karya Abduh yang terkenal antara lain kitab Risalat Al-Tauhid, Tafsir Al-Manar bersama Rasyid Ridla, Al-Islam Din al-Ilm wa al-Madaniyah, Tafsir Juz ‘Amma, Tafsir Surat Wa  al-‘Asyri, Al-Islam wa al-Nashraniyyah, dan lain-lain. Abduh bahkan memiliki murid dan pengikut yang melanjutkan pemikirannya seperti Rasyid Ridla, Muhammad Farid Wazdi, Tantawi Jauhari, Qasim Amin, Sa’ad Zaglul, Ahmad Lutfi al-Sayyid, Ali Abd al-Raziq, dan Thaha Husain. Pemikiran-pemikiran mereka sangat maju, dengan berbagai variasi dan coraknya masing-masing.

Adapun ide-ide pembaruan Muhammad Abduh (Nasution, ibid: 55-56; Mukti Ali, 1990: 347-348) antara lain sebagai berikut. Pertama, menyangkut pembaruan pemikiran keagamaan. Menurut Abduh, umat Islam mengalami kemunduran karena dihinggapi kejumudan dan tradisi, sehingga kehidupannya menjadi statis dan tidak mengalami perubahan serta kemajuan. Karena itu umat Islam perlu melakukan pembaruan dengan jalan kembali kepada ajaran Islam yang murni sebelum banyak pertentangan, mengembangkan akal pikiran dan ilmu pengetahuan sebagai kunci untuk kemajuan. Akal pikiran harus dibebaskan dari taklid. Abduh memandang ajaran Islam yang bersifat ibadah tidak dapat diperbarui karena sudah jelas, tetapi hal-hal yang bersifat mumalat perlu disesuaikan dengan tuntutan zaman. Dalam hal ini maka ijtihad menjadi penting dan merupakan keniscayaan untuk dikembangkan di tubuh umat Islam. Para ulama tradisional perlu mempelajari ilmu-ilmu dan peradaban modern sehingga dapat memahami Islam dengan intrepretasi baru dan berijtihad, sekaligus dapat membawa kemajuan berpikir umat.

            Kedua,  masalah pendidikan. Abduh termasuk pembaru yang memiliki perhatian besar terhadap pembaruan pendidikan sebagai tonggak untuk kemajuan umat Islam. Dia mengeritik umat yang tenggelam dalam kebodohan dalam kungkungan tradisi yang membuarkan umat terbelakang dan mudah dibodohi oleh penguasa. Abduh juga mengeritik kebiasaan taklid terhadap ulama dan pemujaan yang berlebihan terhadap wali dan syekh yang berkembang di tubuh umat.  Islam. Karena itu diperlukan pembaruan sistem pendidikan di lingkungan umat Islam yang sesuai dengan kebutuhan zaman. Ilmu pengetahuan harus dikembangkan dan sekolah-sekolah modern harus dibuka. Khusus di Al-Azhar menganjurkan pembaruan bahasa dan sastra Arab yang lebih baik. Selain menuntut pembaruan metode pengajaran, Abduh juga memasukkan ilmu-ilmu modern, dan agar para ulama mempelajari peradaban modern, sehingga memiliki pengaruh besar untuk pembaruan dan kemajuan umat Islam. Integrasi pendidikan agama dan umum merupakan keniscayaan untuk menghilangkan dualisme dalam sistem pendidikan Islam.

Ketiga, dalam politik. Abduh setelah diangkat menjadi anggota Majelis Syuro berhasil menjembatani kesenjangan lembaga ini dengan pemerintah untuk kebaikan rakyat. Abduh juga menerima paham atau sistem demokrasi karena tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dia menekankan pentingnya pendidikan politik bagi rakyat melalui sekolah, surat kabar, dan penerangan agar mengetahui hak-haknya. Abduh juga berpandangan bahwa pemerintah harus benar-benar memperhatikan aspirasi rakyat. Penguasa siapapun dimungkinkan salah maka rakyat boleh menyadarkannya, tetapi apabila pemerintahnya adil maka wajib menaatinya. Di belakang hari Abduh benar-benar berhenti dari aktivitas politik, bahkan menjauhi dunia politik.

Keempat, menghadapi serangan pemikiran Barat. Abduh berpandangan hal-hal dari Barat atau dunia modern boleh diambil sejauh tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Islam bahkan agama yang sesuai dengan kemoderenan. Namun Abduh juga menangkis dan membela serangan pemikir-pemikir Barat yang salah paham dan keliru pandangannya tentang Islam. Di satu pihak Abduh mengajak umat Islam untuk berpikiran maju dan Islam itu harus mampu menghadapi dan menyesuaikan diri dengan alam pikiran modern, di pihak lain dia kritis terhadap pemikiran Barat.

Dari gambaran sekilas tentang Muhammad Abduh, maka tampak jelas pembaru dari Mesir yang satu ini sosok dan pemikirannya sangat maju sekaligus moderat. Abduh berbeda dari Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdil Wahhab, dan Jamaluddin Al-Afghani, yang mampu menyerap dan sekaligus melakukan adaptasi kritis terhadap pemikiran dunia modern. Abduh boleh dikatakan sebagai jembatan antara pemikiran klasik dan kontemporer dalam peralihan abad ke-19 dan ke-20, sehingga kental pembaruan dengan corak reformisme atau modernisme Islam.

Exit mobile version