Mentransformasi Ekspresi Islam Menjadi Karya Kreatif yang Strategis

Mentransformasi Ekspresi Islam Menjadi Karya Kreatif yang Strategis

Oleh : Mustofa W Hasyim*)

 Kebutuhan akan Karya Kreatif Baru

Masyarakat dan umat sekarang sangat membutuhkan 7 jenis karya kreatif baru yang strategis. Yaitu, musik, sastra, seni rupa, desain, arsitektur, seni pertinjukan, event/adat/tradisi baru. Upaya produksi dan reproduksi simbol berupa 7 jenis karya krsatif baru itu sekarang sangat dibutuhkan. Sebab 7 jenis karya kreatif itu yang sekarang amat mewarnai denyut kehidupan budaya aktual masyarakat dan umat Islam sekarang.

Betapa tidak. Kehidupan kita sekarang tidak dapat dilepaskan dari musik. Mau tidak mau musik akan terus menyerbu telinga kita, telinga suami/isteri kita, anak-anak kita, cucu-cucu kita dan para tetangga serta kolega kita. Ada musik yang menyerbu telinga dengan terus terang lewat panggung, sajian, rekaman, tetapi ada juga musik yang menyusup dalam kehidupan kita dalam bentuk gerilya. Ketika kita membeli bel pintu elektronik, ternyata yang berbunyi adalah lagu-lagu semacam Jingle Bell, demikian juga ketika anak kita membeli music box, atau ketika ada penjual es krim keliling, ternyata yang diperdengarkan adalah lagu-lagu rohani-pop dari suasana Natal dan semacamnya. Kadang sesekali disaingi dengan lagu dangdut para penjual gethuk, klepon dan cenil.

Musik yang tampil dan hadir serta menjajakan diri secara terus rerang lebih melimpah lagi. Ketika berkeliling di puluhan kota di Jawa dan banyak kota di luar Jawa penulis menemukan bagaimana yang namanya kaset dan CD can VCD dijual dengan merdeka di pinggir-pinggir jalan. Anak-anak sekolah, remaja, dan orang dewasa berkerumun untuk melihat-lihat, dan sebagian membeli sajian musik yang dikemas apik. Musik berbagai aliran, termasuk musik kasidah, dan ‘campursari’ Minang, Sunda, Jawa, Batak, Bugis dapat ditemukan di sini. Di pertokoan, para penjual karya musik yang asli pun (dalam arti bukan bajakan) selalu tidak sepi dari pengunjung dan pembeli. Sementara itu di banyak gereja, di kampus-kampus, termasuk di kampus khusus seperti Kataketik dan toko jaringan Gramedia misalnya, ekspresi Kristen yang dimunculkan lewat lagu dan musik etnik makin banyak ditemukan. Ini tentu menambah keanekaragama karya musik yang sangat mungkin memasuki telinga kita, telinga anak cucu-kita, kolega dan tetangga kita. Termasuk musik nasyid dan musik etnik yang telah diberi ,muatan eksresi Islam baru ala Kiai Kanjengnya Emha Ainun Najib.

Alat untuk menyetel lagu-lagu sekarang dapat hadir dimana-mana. Di rumah dalam bentuk tape recorder, televisi, radio, VCD player, misalnya. Di kantor, di mobil, di pasar, di toko-toko, bahkan melekat dengan diri kita, di pesawat telepon genggam dan di talptop kita. Akses ke musik demikian mudah semudah musik itu menjangkau telinga kita. Setiap detik kita butuh musik.

Demikian juga sastra. Dalam bentuk sastra yang masih ‘mentah’ berupa teks yang tercetak dalam bentuk buku, sekarang merupakan gejala yang meledak dan membannjir di mana-mana. Apalagi sekarang kita tengah memasuki era novel. Coba lihat, semua jaringan toko buku dan penjual buku akan memajang barisan novel yang makin lama makin menguasai ruang.Baik di kota besar, kota menengah, mau pun kota kecil. Para pembeli pun berjubel untuk memilih novel-novel yang dipajang disitu.

Ekspresi Islam dalam karya sastra yang dipelopori kelompok Forum Lingkar Pena telah mampu menghasilkkan  lebih dari 300 karya fiksi. Belum yang nonfiksi.. Sementara penerbit Islam yang bergabung dalam Serikat Penerbit Islam (SPI) ditambah penerbit netral pun  menerbitkan lebih banyak lagi ekspresi Islam dalam bentuk fiksi  dalam jumlah yang lebih banyak lagi. Karya klasik sastra Islam seperti Laila Majnun, Seribu Satu Malam, Hayy bin Yaqdzon, berdampngan dengan karya sastra modern seperti karya Taufik El Hakim, Najib Mahfudz, dan pengarang kontemporer seperti Samiroh, Haidar Quffah, dan bergaul akrab dengan karya Helvi Tiana Rosa dan kelompoknya, karya para sastrawan pesantren dan karya sastrawan Muslim perkotaan yang diterbitkan oleh Dar! Mizan, Gema Insani Press, Navila, Risalah Gusti, LKIS, Diva dan masih banyak penerbit baru yang sepertinya terus lahir ‘setiap hari’, terutama di Yogyakarta.

Dalam kaitan ini karya sastra terjemahan harus bersaing ketat dengan karya sastrawan lokal yang sepertinya tengah mendapat angina segar dari penerbit yang tidak mau direpotkan dengan soal copy right Siapa yang rajin mendatangi toko buku dan mendatangi book fair dan Islamic Book Fair di berbagai kota akan mendapat gambaran jelas bagaimana yang namanya karya sastra kini makin banyak digemari. Menjadi wacana pembentuk gambaran dunia mereka. Sebab bagaimana dunia dan kehidupan ini dikonstruksi dan ditafsirkan secara alternatif oleh para sastrawan dapat dibaca pada buku-buku sastra yang terus terbit tanpa mengenal henti. Sepertinya proses ini akan terus berlanjut bertahun-tahun, mengingat akhir-akhir ini minat menjadi penulis buku tumbuh di mana-mana. Pelatihan kepenulisan makin banyak peminat. Penulis yang sempat menjadi isntruktur atau pendamping dalam kesempatan pelatihan atau workshop penulisan di Jombang, Wonosobo, Yogyakarta, dan kota lain sering terkejut sekaligus bersyukur melihat bagaimana minat untuk menjadi penulis itu demikian mendidih di kalangan  generasi muda.

Itu baru sastra dalam bentuknya yang masih ‘mentah’ dan formal, berupa teks tertulis. Sastra dalam bentuknya yang telah diolah dan hadir secara informal karena lebih mementnngkan substansi gejalanya jauh lebih hebat lagi. Kalau Garisn Nugroho mengatakan televisi adalah sastra hari ini maka sungguh berapa ribu jam kehirupan kita telah dipengaruhi oleh sastra dalam bentuknya yang lebih hakiki ini. Perlu diketahui, pada hakikatnya sastra adalah cerita, maka segala dongeng, segala kisah yang ditampilkan dalam bentuk sajian non teks verbal pun, sajian visual misalnya, pada hakikatnya memiliki unsur sastra yang dominan.

Kemudian, kebutuhan masyarakat dan umat akan karya seni rupa, desain dan arsitektur sekarang ini bukannya berkurang, tetapi makin terus meningkat. Munculnya kelas masyarakat menengah dan umat yang makin mampu melakukan konsolidasi finansial misalnya, jelas secara sekaligus juga memunculkan kebutruhan mereka akan karya seni ruoa, desain dan arsitektur. Buku, majalah dan tabloid khusus tentang hal ini makin banyak jumlahnya dan semua laku menunjukkan kalau masyarakat dan umat membutuhkan panduan dalam membeli, mengelola dan merawat karya seni rupa, desain dan arsitektur. Demikian juga hadirnya begitu banyak galeri, sekolah desain dan penawaran karya arsitektur dalam bentuk perumahan mewah, aprtemen, atau rumah susun, atau pemukikan baru berupa kota mandiri, lengkap dengan ruko, dan fasilitas lain.

Seni rupa dan desain yang bergerak pada ruang ‘mikro’ sama-sama dibutruhkan kehadirannya dengan karya arsitektur yang bergerak pada ruang makro. Keduanya saling melengkapi dan telah sering bekerjasama secara kompak dalam melakukan ekspansi dan penetrasi pasar. Bahkan bagaimana wajah kehidupan fisik kita di masa depan dalam lingkup luas, dalam skala kota, kota mandiri, dalam skala komplek pemukiman seperti kampung, perumahan dan desa-desa jelas sangat dipengaruhi oleh karya arsitektur. Kalau dulu propinsi Jawa Tengah dan Sumatera Barat mati-matian mengkampanyekan perlunya pelestarian aristektur etnik local (dalam bentuk konsep jati diri) ketika menghadapi serbuan karya arsitektur Barat yang hanya membuat kita terasing di negeri sendiri maka itu sungguh merupakan gagasan yang strategis. Sebab kalau dibiarkan maka kota-kota kita hanya akan berubah menjadi seragam, menyatu dalam fisik dengan kota-kota lain di dunia dengan titik-titik penting berupa mall, bank, hotel, taman, tempat hiburan.

Itu jelas sebuah konsep penataan kota yang amat berlainan dengan konsep penataan kota yang pernah dijadikan prinsip oleh para raja-raja Islam dulu di Nusantara, Arsitet Muslim yang bekerja pada kerajaan Islam itu telah memiliki konsep baku, bahwa sebuah kota itu dibentuk oleh perpaduan titik yang menyimbolkan kebutuhan hidup di dunia dan akhirat. Karya mereka memiliki pola yang mirip sama, yaitu terdiri dari titik-titik utama Kraton, masjid, makam alun-alun, pasar, ditambah kelompok pumikan berdasar pekerjaan dan keahlian penduduknya dan  untuk kota-kota pantai dilengkapi Bandar. Tidak lupa juga dibuat benteng pertahanan di sekeliling Kraton. Tempat-tempat pendidikan berada dalam kesatuan jaringan masjid di luar kota, juga di dalam kota, dalam bentuk pondok pesantren. Waktu itu, jalan raya semata-mata hanya berfungsi sebagai sarana penghubung titik-titik utama. Masih belum belum begitu ramai.

Ini yang sekarang berubah, nyaris total. Dengan berubahnya tata kota, yang merupakan karya arsitektur, menjadi sangar bersemangat duniawi maka mall menggantikan pasar tradisional, bank menggantikan masjid, hotel menjadi maklhuk baru menggantikan ruang-ruang keluarga, taman menggantikan alun-alun dan tempat hiburan menggantikan tempat pendidikan. Dalam tata kota yang baru, tempat pendidiian diletakkan di luar kota, dijauhkan dengan masyarakat dan dijadikan pusat pelayanan jasa pendidikan yang tarifnya makin lama makin mahal. Kehadirannya mirip dengan rumah sakit yang nantinya akan difugsikan sekadar sebagai pusat pelayanan jasa kesehatan semata, yang tarifnya juga mahal.

Sementara itu pelosok desa diubah menjadi pemukiman dengan arsitektur modern gaya baru, gaya Eropa atau Amerika atau lainnya yang dirancang tanpa menyertakan tempat ibadah dan makam. Sementara itu, jalan raya dan pinggir jalan raya difungsikan sebagai lokasi ekonomi maka yang kelihatan di sepanjang jalan kota-kota ini nyaris  hanya toko melulu. Trotoar pun lenyap dijadikan rempat berjualan. Disitupun dipajang karya seni rupa dan desain (kaos dan baju).

Ini semua menunjukkan bahwa karya seni rupa, desain, dan arsitektur memang dibutuhkan masyarakat dan umat untuk membentuk medan pergaulan mamusia dengan benda-benda dan makna. Da;am kehidupan yang makin modern peraulan manusia dengan benda-benda dan makna sama intensifnya denan pergaulan manusia dengan manusia lain, meski karena kesibukan dan terus berkembanganya spesialisasi kerja sering menjadikan pergaulan manusia dengan manusia lain menjadi terbatas kemungkinannya. Jika dikonsep dengan cerdik maka karya seni rupa, desain dan arsitektur itu dapat menuntun atau mengajak manusia kota untuk juga melakukan konunikasi atau ‘bergaul’ dengan Penciptanya.

Seni pertunjukan, baik yang disajikan di panggung maupun yang disajikan dalam bentuk rekaman pun dibutuhkan masyarakat dan umat sekarang. Kadang seni pertunjukan ini didominasi oleh unsur musiknya seperti pegelrlan musik di stadion, kadang seni pertunjukan ini didominasi oleh unsur tari seperti tari kolosal atau tidak kolosal yang hadir dalam banyak kesempatan, seperti dalam resepsi pengantin misalnya. Kadang seni pertunjukan ini didominasi oleh unsur sastra (cerita)nya sebagaimana telah disinggung di atas. Dibutuhkan ribuan jam sajian seni pertunjukan yang didominasi musik, tari atau sastra, atau yang merupakan gabngan dari itu semua (wayang, drama dan film misalnya)  dalam setahun, yang jelas kebutuhan ini belum dapat dipenuhi oleh ahli dan pelaku dakwah Islam.

Jangan lupa, masyarakat dan umat secara budaya ternyata juga masih, bahkan makin membutuhkan event, adat, atau tradisi yang menandai waktu dan diperlukan dalam mengelola waktu agar tidak dilewati tanpa kesan. Ini yang menyebabkan event HUT sebuah kota, festival, perayaan  adat yang berkaitan dengan siklus hidup manusia atau siklus masyarakat dan tradisi lama atau tradisi buatan baru uterus diminati. Dalam kaitan ini Valentine’s Day mampu menyedot pengikut dari kalangan remaja, upcara merti desa atau kegiatan berbau adat yang aneh-aneh banyak dikunjungi orang.

Karya kreatif baru yang berbasis musik, sastra, seni rupa, desain, arsitektur, seni pertunjukan, dan event  akan terus lahir dan dilahirkan orang, tidak peduli apakah umat Islam mau terjun atau tidak, memilih posisi aktif atau pasif, memilih menjadi penonton dan korban perubaha atau memiih menjadi pelaku yang mampu mempengaruhi perubahan atau tidak.Artinya, merupakan gejala budaya yang terus berdenyut, bahkan mengalir bersama waktu dan perubahan itu sendiri.

 

Upaya Transformasi Ekspresi Islam Etnik Lokal Lama

Upaya untuk memetakan potensi Ekspresi Islam yang lahir dari lingkungan etnik lokal lama, baik di Indonesia maupun di dunia telah banyak dilakukan. Dalam rangkaian Festival Isriqlal, upaya pemetaan itu telah dilakukan dan menghasilkan banyak buku tebal. Demkian juga Ismail Farouqi  bersama Isterinya telah bersuah payah menulis buku tentan Atlas Budaya islam. Lalu  peneliti antropoligi budaya, etnomusikologi, penelirti budaya lokal dan sejarahnya telah cukup banyak dan seabrek-abrek karya mereka terembinyi atau bersembunyi di perpusatakaan.

Tetapi intuk apa semua itu? Setelah kita bangga karena memiliki himpunan mutiara dan emas berlian peradaban berupa ekspresi Islam yan menyatu dengan gerak budaya etnik lokal itu?  Untuk apa himpunan mutiara dan emas berlian peradaban itu? Apakah kita hanya cukup bangga menyadari bahwa semua kekayaan budata itu ada, dan hanya difungsikan sebagai simbol kebanggaan? Apa hubungan semua potensi budaya itu dengan kehiduoan aktual kita sekarang dan masa depan? Bisakah semua itu diolah dan ditransformasikan kembali menjadi suaut karya kreatrif baru sehingga 7 kebutuhan masyarakat dan umat df atas terpenuhi dan terjawab secara benar?

Lantas bagaimana kita mentransformasikan semua yang gemerlap di masa silam itu menjadi karya kreatig baru yang juga gemerlap sehingga 7 kebutuhan di atas dapat dipenuhi? Kita dapat belajar banak dari para akticis peradaban dan kebudayaan Islam pada zaman kegemilangannya selama 7 abad sejak lahirnya Nabi Muhammad SAW. Waktu itu kahzanah peradaban lama, baik yang beradal dari Yunani, Persia, dan India ditransformasikan menjadi  ekspresi Islam yang menyentuh hamper semua segi kehidupan. Kita juga dapat belajar banyak dari orang Barat yang mampu memanfaatkan khazanah perdaban dan kebudayaan Islam untuk kemudian mereka transforamsikan menjadi karya kreatif baru sehinga hgemoni budaya Barat ini dapat berlangsung  berabad-abad sampai hari ini.

Untuk ini kita dapat membayangkan paling tidak enam langkah transformasi tersebut.

Alternatif pertama, menjadikan ekspresi Islam dalam lingkungan lokal etnik lama itu sebagai sumber insipirasi. Artinya, yan diambil adalah spiritnya. Yang sudah ada biarlah ada, silakan jalan terus dan dilestarikan. Akan tetapi ini semua belum cukup. Masih terus dibutuhkan arikulasi budaya yang baru, konstruksi budaya yang baru, tafsir baru dan karya kreatif baru yang lahir dari padanya.

Alternatif kedua, menjadikan strategi budaya di balik lahirnya ekspresi Islam dalam budaa lokal etnik itu sebagai srrategi budaya baru dalam upaya pemenuhan 7 jenis karya kreatif baru. Ini yang masih perlu terus didalami. Mengapa para pendakwah dulu berhasil melakukan Islamisasi hamper menuyeluruh di Nusantara justru pada saatr berada di bawah bayang-bayang kekuatan colonial Barat yang bukan Islam agamanya?

Alternatif ketiga, mengadopsi teknik-teknik ekspresi Islam lama itu untuk mengekspresikan tema-tema baru. Ini relatif mudah dilakukan manakala tersedia dokumentasi lengkap tentang khazanah lama berupa ekspresi Islam dalam budaya local etnik itu.

Alternatif keempat, memilih sebagian unsur dari ekspresi Islam lama itu untuk diperunakan dalam melahirkan karya kreatif baru. Jui juga relative mudah dilakukan jika dokumentasi khazanah lama memang lenakap dan energi kreatif kita melimpah dan terjaga.

Alternatif kelima, memberi makna baru, tafsir baru dan konstruksi baru bagi ekspresi Islam lama itu sehingga mampu terus-menerus dihadirkan dalam kehidupan aktual seakrang dam masa dating. Ini menjadi agak berat atau sangat berat karena tradisi berfikir secara mendalam dengan keberanian mel;akukan aneka macam penjelajahan kemungkinan dan membuka ruang-ruang makna baru dalam kepala kita sudah agak memudar. Yang tumbuh subur di kalangan umat dan masyarakat adalah tradisi berfikir pragamatis di satu pihak, dilengkapi dengan tradisi berfiklr yang dogmatic dan doktriner yang linier di pihak lain. Masih diperlukan pergumulan pemikiran yang dahsyat dan meletihkan karena sering berisiko memunculkan salah paham dan semacam fitnah di kalangan internal umat Islam sendiri.

Alternatif keenam, dengan memperluas tema-tema dengan tema-teman baru yang aktua dan menambah teknik berekspresi baru yang relevan sehingga mampu melahirkan karya-karya transformative yang mampu berbicara dengan anak cucu kita sekarang dan nanti Ini dapat dilakukan manakala kita mampu membaca dan  mampu menggenggam makna dari semua khazanah ekspresi Islam lama, sekaligus mampu membaca dan menggenggam makna dari semua khazanah ekspresi budaya baru yang sekarang telah bersliweran di sekitar kita. Para aktivis cultural studies telah memberi sumbangan yang banyak dalam hal ini.

Mungkin masih ada alternatif ketujuh, ke delapan dan seterusnya,. Tetapi gambaran adanya  6 alernatif upaya transformasi ini  akan dapat menjadikan karya ekspresi Islam lokal etnik lama menjadi bahan atau apa sehingga kemudian lahir karya kreatif baru strategis yang amat dibutuhkan kehadirannya oleh masyarakat dan umat Islam sekarang ini.

Semoga demikianlah adanya.

Yogyakarta, 2016

 

*) Wartawan, novelis, penulis puisi, cerpen, esai, pendamping pengembangan seni dan sastra, Wakil Ketua Dewan Pengarah Yayasan PUSDOK (Pusat Studi, Dokumentasi dan Pengembangan Budaya Kotagede, Ketua Studio Pertunjukan Sastra Yogyakarta, Anggota Divisi Sastra Lembaga Seni Buidaya dan Olah Raga PP Muhammadiyah, Ketua Forum Musyawarah Seniman Budayawan Muslim Yogyakarta dan  Anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta..

Exit mobile version