Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPD IMM) DIY melalui Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan mengadakan workshop keilmuan. Acara yang dihelat di Wisma Djazman Al-Kindi, Kaliurang yang telah berlangsung sejak tanggal Sabtu hingga hari Minggu (2-3 April 2016) ini mengangkat tema Revitalisasi Gerakan Intelektual Transformatif di Era Masyarakat Ilmu. Workshop Keilmuan ini diikuti oleh 25 peserta yang terdiri dari aktivis IMM Se-DIY yang memiliki concern dalam dunia pengembangan wacana dan aktivitas penelitian.
Workshop keilmuan ini membahas beberapa topik penting yang menemukan urgensi untuk dibahas. Yakni topik diseputar reposisi peran gerakan mahasiswa, membaca tantangan dan peluang bangsa dalam memasuki era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), konservatisme agama yang sedang mengemuka, hingga dorongan untuk mengembangkan dakwah berbasis komunitas khusus dan marginal.
Berangkat dari pertanyaan, mengapa gerakan mahasiswa pada masa lalu begitu dielu-elukan, dengan strategi, isu, dan taktik yang sama, saat ini malah mendapatkan cemooh dari masyarakat? Fadel Basrianto, peserta workshop keilmuan dari IMM Cabang BSKM memaparkan adanya ketidaksensitivan gerakan mahasiswa dalam membaca perubahan konteks. Jika dulu strategi ekstra-parlementer sebagai pilihan utama dalam mengartikulasikan suara masyarakat, taktik yang sama tersebut jika diterapkan di zaman saat ini sudah tidak relevan dan tidak mendapatkan simpati masyarakat. Strategi ekstra-parlementer kala itu menjadi pilihan yang tepat karena saluran politik formal tertutup dan kebebasan pers dibungkam. Sekarang dengan iklim kebebasan berpendapat yang disertai dengan dukungan kemajuan teknologi informasi, saluran artikulasi begitu terbuka lebar. Maka dari itu sudah tidak tepat lagi menggunakan strategi ekstra-parlemeter sebagai pilihan utama dalam mengartikulasikan suara masyarakat.
Begitu juga dengan perubahan konteks politik dari tatanan otoriter ke demokratis dan dari relasi pemerintahan dari yang sentralistik ke desentralisasi juga patut diperhatikan oleh gerakan mahasiswa. Jika dulu menjadikan presiden sebagai musuh bersama, sah-sah saja. Tetapi di iklim yang demokratis dan desentralisasi ini sudah tidak relevan rasanya jika ingin mempertahankan cara pandang seperti itu. Mengingat dengan skema desentralisasi lokus kekuasaan telah bergeser dari pusat ke daerah. Dalam aspek tertentu, Kepala Daerah memiliki kewenangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan presiden. Misalnya penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah, pemberian izin pembangunan, pertambangan, dan sebagainya yang kadang merugikan warga sekitar. Oleh karena itu yang perlu dikritisi adalah kebijakan-kebijakan kepala daerah setempat. Bentuk strategi, taktik, dan isu setiap daerah pasti berbeda. Maka dari itu agar eksistensi gerakan mahasiswa kembali bermakna bagi masyarakat, harus jeli terhadap konteks atau wacana yang ada di masyarakat.
Di tingkatan Global, Muhammad Riffan mengangkat tema mengenai strategi taktis yang dapat dilakukan oleh aktivis IMM dalam membantu masyarakat untuk menghadapi kompetisi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Dengan memetakan tantangan dan peluang yang dimiliki oleh bangsa Indonesia dalam menghadapi MEA, Riffan mendorong untuk lebih memperkuat sektor UMKM. Yang mana sektor UMKM ini disatu sisi memiliki kontribusi yang luar biasa berkaitan dengan ketahanan ekonomi nasional, tetapi disisi yang lain UMKM ini lemah dalam hal akses terhadap pasar. Maka, dengan segenap kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki oleh mahasiswa, Riffan mendorong aktivis IMM untuk ikut membantu menciptakan branding produk-produk UMKM tersebut agar dapat bersaing di kancah global.
Dalam topik agama, Fauzi Islah Kepala Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan DPD IMM DIY memaparkan adanya arus konservatisme agama, terutama konservatisme Islam yang begitu kuat menerpa anak muda di Indonesia. Kuatnya arus konservatisme agama ini, yang menjadi semakin mengkhawatirkan adalah ketika hal ini berujung pada budaya takfiri (saling mengkafirkan). Menganggap paham yang dimilikinya paling benar dan yang lain salah. Untuk menangkal perkembangan budaya takfiri agar tidak semakin menjadi-jadi, Fauzi mendorong untuk mempromosikan tiga kompetensi dasar yang dimiliki oleh aktivis IMM kepada anak muda pada umumnya. Yakni dalam sebuah pengambilan keputusan yang tidak sesuai dengan faham keagamaan kita, maka dalam mengambil keputusan tidak selalu berdasarkan aspek teologisnya semata, namun lebih jauh melibatkan aspek humanitas dan intelektualitas. Sehingga, budaya saling mengkafirkan dapat dihentikan.
Selain membahas tema-tema di atas, beberapa peserta seperti Fikry Fachrurrizal dan Muhammad Qomar melalui presentasinya mendorong Muhammadiyah untuk menggarap dakwah pemberdayaan yang berbasis pada komunitas marginal. Entah itu marginal dalam aspek ekonomi maupun marginal dalam aspek politik. Dakwah pemberdayaan ini harus mampu disentuh oleh Muhammadiyah ketika pihak-pihak yang lain mengabaikannya. Acara workshop keilmuan ini kemudian ditutup pada jam 12.30 dengan merumuskan strategi tindak lanjut yang akan dijalankan oleh intelektual muda Muhammadiyah Yogyakarta. (Fdl)