Oleh: Prof Dr H Abdul Munir Mulkhan
Mungkin perlu diklarifikasi lebih dahulu, Islam yang apa dan yang mana yang kita maksud dengan Islam Autentik, Islam Murni, Islam Kaffah atau lainnya? Apakah itu ialah Islam yang ada di dalam kitab-kitab fikih, kalam atau akidah dan sufi seperti dipelajari di IAIN/ UIN/ atau STAIN dan perguruan tinggi Islam (PTM)? Ketika kita menyebut nama Islam sebagai agama atau Islam yang selalu tersembunyi dalam bingkai sejarah selama lebih 15 abad?
Selama ini yang kita bicarakan mengenai Islam yang mutlak benar dan sempurna itu ialah yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut yang diklaim sebagai bersumber dari Alquran dan Sunnah. Sementara kitab-kitab ditulis oleh para ahli (ulama) lebih seribu tahun lalu beberapa abad setelah Nabi wafat. Lalu muncul pertanyaan tentang apa yang menjadi ukuran untuk bisa menetapkan bahwa komentar (tafsir) para ulama (ahli) tersebut memang mewaklii atau mencerminkan Islam 100% persis seperti aslinya Islam yang mutlak benar dan sempurna serta kaffatan?
Pertanyaan bagaimana memenuhi ajaran Islam dalam bentangan sejarah selalu mengundang perdebatan yang kadang sengit di antara pemeluk Islam sendiri. Tidak jarang hal itu berakibat konflik berdarah. Salah satu di antara penyebab ialah faktor-faktor luar yang bersifat fisik dan faktor dalam berupa pemahaman atau cara mamahami dan niat pengamalan itu sendiri.
Penerapan Islam sesuai uswah Rasulul memang disepakati oleh umumnya pemeluk Islam. Namun bagaimana memahami dan menempatkan uswah Rasul tersebut, ternyata melahirkan dua pandangan dasar di kalangan umat. Sebagian memandang bahwa Islam (uswah Rasul) harus diterapkan sesuai apa yang dilakukan Rasul secara harfiah (seperti soal jenggot; tapi ketika panjang rambut Rasul sebahu, jarang kita lihat laki-laki Muslim yang mencotoh seperti itu. Sementara yang lain menempatkan uswah Rasul itu bukan secara harfiah tapi maknawi atau etis hakikiahnya, sehingga bentuk penerapan (paling kurang untuk hal-hal tertentu) bisa berbeda dengan perilaku Rasul secara fisik.
Model pertama lebih berkaitan dengan sikap hitam-putih melihat kehidupan sosial yang beku dan statis, tapi lebih istiqamah dan stabil. Sementara model kedua lebih lentur dan dinamis tapi bisa tanpa nilai, relatifis dan kaos. Muncul usulan bagaimana menjaga istiqamah tapi tetap dinamis dan kreatif, maka muncul kompromi dengan menetapkan apa yang secara hakikiah bersifat baku (secara nilai) dan apa yang bisa berubah bentuk. Sementara orang menyebut Islam demikian sebagai Islam profetik yang selalu terlibat dalam setiap upaya menemukan alternatif pemecahan masalah.
Perdebatan di antara dua model pola hidupan pemeluk Islam demikian itu sudah berlangsung sejak Islam diwahyukan dan terus berkembang hingga saat ini. Persoalan ini merupakan konsekuensi wahyu ketika bersentuhan dengan manusia yang hidup di dalam bentangan sejarah yang terus bergerak dinamis. Kini, jumlah penduduk dunia sudah berkembang beberapa kali lipat dari saat wahyu turun di masa Nabi Muhammad Saw. Amerika belum ditemukan karena Colombus, sang penemu, belum lagi lahir.
Pertanyaan berikut yang penting ialah: “Islam murni itu yang mana dan apa yang dimaksud?” Demikian pula doktrin “kembali kepada Alquran dan Sunnah itu pada periode mana, pada masa Rasul hidup atau pada masa fukaha dan mutakallimin?”
Jika kita konsisten mestinya itu berkaitan dengan periode kenabian tanpa intervensi fuqaha dan mutakallim yang baru muncul sesudah sekitar 1 abad pasca wafat nabi. Islam pada periode kenabian inilah yang harus bisa kita baca secara jernih dengan “membuang lebih dahulu segala informasi yang selama ini kita peroleh dari buku-buku kalam dan fikih atau aqidah” agar kita bisa membaca Islam yang dipraktekkan nabi itu tanpa beban. Sekurangnya ketika kita membaca paparan fuqaha atau mutakallim hendaknya diletakkan dalam perspektif masa kenabian sebelum fuqaha dan mutakallim itu muncul dalam belantara sejarah.
Dari sini kita bisa meletakkan tafsir kreatif Kiai Ahmad Dahlan dengan Al-Maa’uun menjadi panti asuhan, rumah sakit serta sekolah yang belum ada dalam khasanah pemikiran Islam pada masa itu. Demikian pula kelahiran Muhammadiyah sebagai organisasi bagaimana Kiai ketika menafsirkan ” …waltakum minkum ummatun …” menjadi referensi pembentukan organisasi modern dengan struktur dan pola rekrutmen seperti sekarang ini.
Muhammadiyah pada awalnya selalu melahirkan kontraversi di kalangan anggota dan umat Islam pada umumnya. Dari soal sekolahan, salat-hari raya di lapangan terbuka, tarwih, managemen kurban, fitrah, khutbah berbahasa jawa dan melayu, penerjemahan Alquran dan banyak lagi, Semua itu menjadi terbuka ketika yang kita jadikan pathokan ialah Islam autentik. Itulah menurut saya apa yang dimaksud Islam autentik yang bisa mengatasi atau melampaui Islam Konservatif di sisi paling kanan dan Islam Progresif atau Liberal di sisi paling kiri.
Islam autentik memungkinkan dinamitas kreatif untuk menemukan kembali fungsi dan peran Islam dalam menjawab persoalan umat dalam rentang sejarah tanpa henti. Dan, sebaliknya akan melahirkan kebekuan yang mendorong penyimpangan yang antara lain melahirkan berbagai sempalan. Gejala ini sudah muncul sejak abad-abad pertama sejarah Islam yang seringkali memunculkan tragedi kemanusiaan. Islam memang baku dan standar, namun perlu yang dijernihkan apakah yang dikaji dalam kitab-kitab yang selama ini kita jadikan referensi atau yang selalu tersembunyi di dalam sejarah?