Oleh ; Budi Asyhari-Afwan
Peristiwa politik sudah tidak lagi dominan menjadi faktor lahirnya faham teologi dalam Islam. Faktor dominannya sudah bergeser pada persoalan hubungan manusia dengan Allah, tentang qadha dan qadar. Bila Khawarij berpandangan bahwa orang Mukmin yang melakukan pembunuhan atau melakukan dosa besar adalah kafir dan masuk neraka, maka menurut Murji’ah bukan demikian. Perilaku membunuh atau dosa besar tidak serta merta menghapus keimanan seseorang, tidak pula secara otomatis masuk neraka. Untuk menentukan semua itu, menurut Murjiah, lebih baik diserahkan kepada Allah.
Dengan pandangan yang hampir sama seperti Murji’ah, meskipun sangat ekstrim, Jabariyah berpendapat bahwa manusia tidak memiliki daya sama sekali dalam melaksanakan apa pun. Allah sudah mengatur semuanya. Manusia tidak memiliki kemerdekaan menentukan kehendaknya. Allahlah yang menentukan. Oleh karena pandangannya yang seperti itulah, kelompok ini disebut Jabariyah, yang berasal dari kata jabr yang artinya paksaan. Bahwa manusia terpaksa harus melakukan perbuatan karena yang menentukan adalah Allah.
Aliran ini ditonjolkan kali pertama oleh Jahm bin Safwan (131 H), sekretaris Harits bin Suraih yang memberontak pada Bani Umayyah di Khurasan. Ada yang menyatakan bahwa sebenarnya faham ini sudah ada sejak zaman sahabat, di mana mereka sangat berserah diri pada qadha dan qadar. Tetapi, ada juga yang menyatakan bahwa faham ini juga dipengaruhi oleh faham di masyarakat Arab sebelum Islam hadir, bahkan ada yang menyebut faham ini adalah dipengaruhi oleh faham yang sebelumnya telah ada di agama Yahudi dan Kristen. Yang jelas, perdebatan mengenai qadha dan qadar dalam sejarah Islam telah melahirkan dua kelompok sekaligus: Jabariyah dan Qadariyah. Dua kelompok yang memiliki pandangan yang sangat kontras.
Jabariyah memiliki pendapat yang ekstrim tentang perbuatan manusia. Jabariyah mengatakan bahwa manusia adalah lemah, tidak berdaya, terikat dengan kekuasaan dan kehendak Tuhan, tidak mempunyai kehendak dan kemauan bebas. Seluruh tindakan dan perbuatan manusia tidak boleh lepas dari skenario dan kehendak Allah. Oleh karena itu, segala akibat baik dan buruk yang diterima oleh manusia dalam perjalanan hidupnya adalah sudah ditentukan oleh Allah.
Meskipun demikian, dalam Jabariyah ini juga terdapat pandangan yang moderat. Bahwa meski Tuhan yang menciptakan perbuatan manusia, baik itu positif atau negatif, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Artinya, manusia tidak sepenuhnya dipaksa, tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang, dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan. Akan tetapi, manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan Tuhan.
Pandangan Jabariyah moderat ini ingin mengatakan bahwa peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan adalah sudah ditentukan takdirnya oleh Allah. Pembunuhnya tidak memiliki daya kehendak untuk membunuh. Yang memiliki kehendak adalah Allah. Namun, orang yang melakukan pembunuhan tersebut tidak berarti tidak memiliki daya sama sekali. Ia diberi daya tenaga oleh Allah, yang dengan tenaga tersebut perilaku membunuh dapat terlaksana. Dengan kalimat lain, orang yang membunuh tersebut juga memiliki kontribusi dalam melakukan pembunuhan.