Oleh: Isngadi Marwah Atmadja
Minggu-minggu terakhir ini kita disibukkan dengan berita otopsi jenazah Siyono. Terduga teroris yang terbunuh saat dalam “pengamanan” polisi. Karena dimintai tolong istri Siyono untuk mencari penjelasan ikhwal kematian suaminya, Muhammadiyah menurunkan tim dokter forensik untuk memeriksa jenazah Siyono. Mencari tahu sebab kematian ayah dari lima orang anak ini.
Apakah dia meninggal karena kepalanya terpaksa terbentur body mobil saat dia menyerang angota polisi seperti yang dikisahkan polisi ataukah karena ada sebab lain. Kemarin, hasil otopsi sudah keluar. Siyono ternyata tewas karena luka-luka di dadanya. Beberapa tulang dada patah. Hasil lengkap otopsi dapat dibaca di Hasil Otopsi Siyono, Tidak Ada Tanda Perlawanan oleh Korban dan Hasil Akhir Otopsi Siyono Tunjukan 4 Hal Penting .
Kisah pencarian sebab kematian Siyono ini mengingatkan pada kisah yang dituturkan guru ngaji saya saat mengulas surat Al-Baqarah ayat 73. Saat Bani Israel berbantahan tentang pembunuhan yang terjadi di antara mereka.
Konon, saat itu mereka saling bantah dan saling tuduh untuk menentukan pihak yang harus bertanggungjawab pada kematian seseorang. Masyarakat gaduh, saat itu saksi palsu bermunculan dan pengakuan palsu juga bertebaran.
Saat Nabi Musa dilibatkan untuk menengahi masalah ini, banyak orang kuat yang mencoba menghalangi keterlibatan Musa. Mereka berupaya menghalangi setiap upaya pengungkapan kebenaran yang ada. Mereka inilah yang akan dirugikan ketika kebenaran itu disingkap. Namun, karena kehendak massa tidak terbendung, Nabi Musa tetap dilibatkan untuk mengungkap kebenaran yang ada.
Saat Nabi Musa meminta syarat, yaitu mereka diminta menyembelih seekor sapi betina. Mereka mencoba menghalanginya lagi yaitu dengan menanyakan syarat-syarat sapi yang harus disembelih. Akhirnya sapi betina dengan kriteria yang rumit harus mereka sediakan.
Setelah sapi itu disembelih, dipukulkanlah bagian dari tubuh sapi itu ke jasad korban. Mayat itu kemudian bangkit dan menceritakan siapa pembunuhnya dan mengapa dia dibunuh. Di Al-Qur’an tidak disebut siapa pembunuhnya. Apakah pembunuhnya itu seorang pejabat atau rakyat biasa. Apakah korban itu orang baik atau orang jahat juga tidak diceritakan. Guru ngaji saya juga tidak menerangkan kelanjutan dari kisah itu.
Hanya saja, saat itu guru saya menyatakan kalau apa yang dilakukan Nabi Musa itu, saat ini juga hampir bisa dilakukan oleh para dokter Belanda (maklumlah guru ngaji saya itu besar di zaman akhir penjajahan Belanda). Dengan menyetrum tubuh mayat, dokter belanda bisa menghidupkannya untuk ditanya siapa pembunuhnya.
Setelah dewasa saya akhirnya tahu kalau dongeng dokter belanda yang bisa menghidupkan mayat itu ternyata kurang benar. Dokter Belanda (dan dokter yang lain) hanya bisa mencari penyebab kematian korban sebagai langkah awal mencari pelaku dan motifnya.
Semoga dengan ditindaklanjutnya hasil otopsi ini, kebenaran itu akan tersingkap dan kecerobohan demi kecerobohan yang tidak seharusnya terjadi tidak akan kembali terulang.