Persambungan dan Perubahan

Persambungan dan Perubahan

Bagian ketujuh dari tujuh tulisan: Muhammadiyah dan Matarantai Pembaruan Islam

Oleh Dr H. Haedar Nashir, M.Si.

Pasca Abduh dan di luar Mesir bertumbuhan pembaru di dunia Islam dengan corak masing-masing. Benang merahnya sama, bagaimana Islam sebagai ajaran mampu menjawab tantangan zaman dan umat Islam sebagai pemeluknya hidup dalam kemajuan.

Di Mesir selain Muhammad Abduh muncul Muhammad Rasyid Ridla, murid dan kawan Abduh yang meneruskan gagasan-gagasannya. Ridla lahir tahun 1865 di Lebanon tetapi sebagian besar hidupnya dihabiskan di Mesir hingga wafat tahun 1935. Perjumpaan dengan Al-Afghani dan Abduh membuat dirinya menyerap pikiran-pikiran pembaruan. Pada mulanya tertarik pada politik sebagaimana Afghani, tetapi atas nasihat Abduh akhirnya Ridla tidak mengambil jalan politik dan menekuni dunia pemikiran di bidang pembaruan keagamaan, pendidikan, dan sosial sebagaimana Abduh.

Namun berbeda dengan Abduh, Ridla masih percaya pada konsep negara Islam berupa kekhalifahan sebagai kekuatan pemersatu umat, kendati dia mengeritik keras dan kecewa terhadap praktik absolutisme kekhalifahan Islam kala itu. Abduh di ujung hayatnya, kecewa dan gagal mengajak khalifah Turki Usmani dan kerajaan Arab Saudi untuk tidak kerjasama dengan Inggris dan Perancis yang menjajah dunia Islam kala itu.

Ridla memelopori terbitnya majalah Al-Manar yang memuat pikiran-pikiran pembaruan, lebih-lebih pemikiran Muhammad Abduh. Dia bahkan mengajak umat Islam untuk membarui tafsir atau pemahanan tentang Al-Quran, tidak jumud sebagaimana ulma-ulama tradisional. Karena itu, Ridla mengusulkan dan kemudian disetujui gurunya (Abduh) untuk menyusun tafsir Al-Quran yang kemudian dimuat secara rutin dalam Al-Manar.

Lahirlah Tafsir Al-Manar yang memuat tafsir Abduh tentang ayat-ayat Al-Quran, tetapi karena Abduh wafat terhenti sampai ayat ke-125 surat An-Nisa, yakni jilid III Tafsir Al-Manar. Selebihnya, Tafsir Al-Manar merupakan karya Rasyid Ridla baik berdasarkan pelajaran atau tafsir Muhammad Abduh sewaktu memberikan ulasan di Al-Azhar maupun murni tafsir Ridla sendiri. Dalam sejumlah hal Ridla berbeda tafsir dengan Abduh, jika Abduh lebih “liberal” sedangkan Ridla cenderung “tekstual” dalam memahami ayat-ayat yang memerlukan penafsiran.

Rasyid Ridla sebagaimana Abduh mengeritik umat Islam yang jumud dan mengajak untuk kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya, yang tidak tercemar oleh praktik syirik, bid’ah, dan khurafat. Dia juga mengeritik paham tasawuf yang membuat hidup umat Islam terjebak pada fatalisme. Ridla juga sepaham dengan Abduh untuk memajukan pemikiran melalui ijtihad dan kerja akal. Tetapi berbeda dengan Abduh, Ridla lebih terbatas dalam memberi ruang pada akal dan masih terikat kuat pada pemikiran Ibn Hanbal, Ibn Taimiyyah, dan Muhammad bin Abdil Wahhab.

Ridla tidak sebagaimana Abduh juga lebih terbatas dalam menerima pemikiran Barat, kendati mengakui pentingnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern sebagaimana negeri-negeri Barat. Sikap lebih keras terhadap Barat tampak pada pemikiran Ridla. Pmikiran pembaruan Rasyid Ridla tidak se-berani dan se-maju pemikiran Muhammad Abduh.

Pemikiran pembaruan di Mesir pasca Abduh dan Ridla dikembangkan oleh Farid Wajdi, Tantawi Jauhari, Qasim Amin, Sa’ad Zaglul, Ahmad Luthfi al-Sayyid, Ali Abdul Raziq, dan Taha Husain (Nasution, ibid: 69). Dua nama yang disebut belakangan, Raziq dan Taha bahkan lebih liberal ketimbang Abduh. Sebagian kalangan seperti Munawwir Sadjzali bahkan mengkategorisasikan Raziq dan Taha ke dalam aliran “sekuler” karena pandangannya yang sangat pro-modern Barat dan menganut paham “pemisahan” agama dari negara.

Pemikiran serupa juga berkembang di Turki, yang melahirkan gerakan Turki Muda, terutama di kemudian hari pada pemikiran Mustafa Kamal At-Taturk yang dikenal dengan tokoh “sekularisasi” Islam di Turki. Pemikiran Mustafa Kamal sebenarnya bukan membuang agama dari kehidupan politik-kenegaraan, tetapi mengeliminasi atau menghilangkan kekuasaan agama dari ranah politik-kenegaraan. Islam sebagai agama tidak sama dan sebangun dengan institusi negara.

Di belahan dunia yang lain, di India lahir pula pembaruan yang dipelopori oleh Syah Waliyullah al-Dehlawi (1703–1781 M) dan Sir Sayyid Ahmad Khan (1817–1898 M). Waliyullah dan juga Ahmad Khan sebagaimana pembaru Islam lainnya prinsip pemikirannya sama untuk kembali pada Islam yang murni, membebaskan umat dari kebekuan dan masalah internal, serta menghadapi penjajahan. Waliyullah lebih melihat pada persoalan internal umat ketimbang ke luar, dia memadukan pemikiran pemurnian dengan tasawuf, sehingga gerakan pemurniannya lebih lentur dan berbeda dengan Abdil Wahhab.Waliyullah menghendaki masyarakat Islam yang kuat dan kejayaan Islam sebagaimana zaman dinasti Monggul di India.

Adapun Ahmad Khan lebih maju lagi pemikirannya. Sebagaimana Abduh Khan menghargai akal sebagai alat untuk menafsirkan ajaran Islam sesuai dengan kemajuan zaman, hingga baik Abduh maupun Ahmad Khan sering dituding penganut Mu’tazilah. Ahmad Khan juga memandang pentingnya pembaruan sosial dalam kehidupan umat Islam, menghilangkan perbudakan, dan diperbolehkannya wanita untuk ke luar ranah publik dan tidak setuju dengan cadar bagi perempuan muslimah sebagaimana ditemukan di neger-negeri Arab.

Khan memandang Islamisasi tidak harus total dalam arti lebih menekankan pada aspek-aspek yang belum Islam untuk di-Islamkan, sehingga pendekatannya lebih adaftif atau akomodatif dan tidak frontal sebagaimana Wahhabiah. Ahmad Khan juga menganjurkan umat Islam bebas dari taklid dan meniru kemajuan modern Barat, bahkan dia memilih pendekatan akomodatif terhadap Inggris ketimbang konfrontatif. Khan juga membolehkan umat Islam bergaul dengan pemeluk agama lain, termasuk Kristen.

Dia menganjurkan toleransi sesama umat beragama, bahkan memandang Bible sebagaimana Al-Quran juga mengajarkan moralitas kemanusiaan, dan memandang agama sebagai urusan pribadi yang tidak boleh diganggu gugat. Bagi Ahmad Khan, Islam merupakan ajaran yang sesuai dengan pemikiran dan keperluan kemajuan zaman modern. Kita masih dapat mencatat pembaru Islam lainnya di belahan dunia Islam, termasuk Muhammad Iqbal dari Pakistan. Pemikir dan pujangga Islam dari Pakistan yang dulu pecahan dari India itu menawarkan rekonstruksi pemikiran Islam di dunia muslim.

Api pembaruan Islam yang mengalir bagaikan air bah yang tak terbendung itu merambah dan masuk pula ke Indonesia. Waktu itu Indonesia masih merupakan negeri Nusantara dan berada dalam kungkungan penjajahan Belanda. Melalui persentuhan ibadah haji, kontak pemikiran secara langsung, dan bacaan-bacaan pemikiran pembaruan di dunia Arab kala itu, lahirlah para pembaru dan gerakan pembaruan Islam di Indonesia dengan berbagai ragam orientasi dan karakter pemikiran. Terdapat persambungan (kontinyuitas) antara pembaruan Islam di Indonesia dengan di dunia Islam sebelumnya, tetapi juga terdapat perbedaan atau perubahan (diskontinyuitas) yang menampilkan corak yang khas.

Sebagian ahli seperti Abubakar Atjeh (1970: 5) menyebutnya sebagai Gerakan Salafiyah di Indonesia dengan konotasi gerakan pemurnian (Salafiyah) plus “pembaruan dalam Islam” atau “tajdid fi al-Islam”, “Reformisme”, atau “Aliran Kebangkitan Dalam Islam”, “Gerakan Kaum Muda”, dan sebagainya. Sedangkan pakar lainnya seperti Deliar Noer dan para peneliti asing menyebutnya sebagai Gerakan Modern Islam atau “Modernisme Islam”. Spirit dasarnya sama, yakni memurnikan ajaran Islam sesuai dengan sumbernya yang aseli (Al-Quran dan Sunnah Nabi), dan mengembangkan ijtihad dalam berbagai aspek dan orientasi pemikiran atau pembaruan Islam.

Tokoh-tokoh pembaruan Islam di Indonesia antara lain Haji Rasul, Abdul Karim Amrullah,  Djamil Djambek, dan sebelumnya para tokoh Paderi dengan gerakan pemurniannya di ranah Minangkabau, termasuk Palimo Kayo yang mendirikan  Sumatra Thawalib. Di pulau Jawa dalam kurun lebih akhir di era awal abad ke-20 lahir Cokroaminoto yang melahirkan Syarikat Islam, Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah, A. Hassan dengan Persatuan Islam-nya, Achmad Surkati yang membentuk Al-Irsyad, dan lain-lain.

Kyai Haji Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah yang didirikannya memiliki tempat yang spesifik dalam matarantai gerakan pembaruan di dunia Islam itu. Di satu pihak Kyai dari Kauman Yogyakarta itu menyerap dan berinteraksi dengan pikiran-pikiran besar para pembaru seperti Ibn Taimiyyah, Muhammad bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridla; tetapi pada saat yang sama melakukan kreasi dan menampilkan corak pembaruan Islam yang lebih berwajah kultural dan moderat; sehingga Muhammadiyah yang lahir tahun 1912 itu mampu bertahan dan meluas bukan hanya sebagai alam pikiran namun sekaligus sebagai organisasi gerakan pembaruan Islam yang melembaga dan mengakar kuat di bumi Indonesia.

Exit mobile version