Oleh: Lutfi Effendi
Kondisi umat Islam di era KHA Dahlan memang sangat memprihatinkan. Menurut Kyai Suja’, pada masa itu keadaan umat Islam/kaum muslimin sungguh amat menyedihkan, karena keadaan umat Islam di Yogyakarta pada umumnya sangat dhaif dan jiwanya diliputi minderwaardehuid complicx. Dan Islamnya memang sudah sejak lama dicampuri dengan animism yang sebesar-besarnya. Sehingga animisme itulah yang dipandang amalan Islam dan ditambah takhayul dan khurafat. Hanya salat 5 waktu dan puasa yang masih merupakan sifat agama Islam yang asli.
Kondisi yang demikian menjadikan keprihatinan tersendiri bagi Kyai Dahlan. Kyai Dahlan pun mencari penyebabnya. Kondisi di lapangan ini dicocokkan dengan prediksi-prediksi yang dilakukan oleh para ulama yang peduli akan hal ini.
Diantara yang menjadi perhatian adalah ajaran Imam Ghazali. Imam Al Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulum al Din menuliskan fasad al ra’iyyah min fasad al-muluk, wa fasad al muluk min al ‘ulama’ al-su’. Yang maksudnya rusaknya rakyat adalah dari rusaknya para raja-raja, dan rusaknya raja-raja itu dari ulama yang suk (buruk).
Kalimat ini setelah dipikirkan oleh Kyai Dahlan dengan pikiran yang sehat, lalu ditafsirkan dengan tafsiran-tafsiran keadaan masyarakat yang realitasnya sudah bejat dan bobrok, hukum halal haram sudah lenyap, apalagi wajib – sunat sudah musnah. Tetapi para ulama masih tega nongkrong di atas singasana ulama saleh. Sifat suk buat lempar melempar di antara para ulama satu sama lain. Pendek kata mereka masih mengingkari kata Imam Ghazali tersebut.
Kemudian Kyai Dahlan juga memperhatikan tulisan Syekh Muhammad Abduh, ketemu satu kalimat yang sangat jitu, ialah al-Islam mahjubun bi al muslimun. Yang maksudnya agama Islam ini tertutup dengan orang muslimin. Kalimat yang kecil itu memang sungguh tepat sekali ditafsirkan dengan keadaan kaum muslimin Indonesia pada umumnya, dan Tanah Jawa pada khususnya. Apalagi kalua ditambah dengan katanya, laysya al-Islam illa ismuhu wa laysa al-Qur’an illa rasmuhu, yang maksudnya tiada ada agama Islam kecuali tinggal namanya dan tiada ada kitab al-Qur’an kecuali tinggal tulisannya.
Selanjutnya, Kyai Dahlan juga memperhatikan tulisan pujangga Islam modern Syekh Thanthawi Jawhari , terdapat kalimat dalam kitabnya, Al Qur’an wa al Ulum al-Ashriyyah yang berbunyi idza dhallat al’ulama wa al-umara ‘an al sawa’ al sabil laa yahtadu al ilm al muta’alim. Yang maksudnya , apabila sudah sesat para ulama dan umara (pemerintah) daripada jalan yang benar, maka tidak orang alim dapat menunjukkan jalan yang benar kepada murid -muridnya.Dari Thanthawi Jawhari ini dapat dimengerti bahwa pokok sumber masyarakat itu baik dan buruknya adalah 2 golongan, para guru dan wakil-wakil pemerintah yang mengembala rakyat .
Tentu saja K.H.A. Dahlan menelaah kitab-kitab yang bertamadun itu tidak hanya itu saja,tetapi lazimnya tentu banyak kitab-kitab yang mendorongkan jiwa beliau menjadi hangat untuk bergerak.
Maka kemudian, Kyai Dahlan bergerak. Ia tidak hanya mengajarkan kepada mereka yang datang kepadanya untuk menimba ilmu tetapi juga mendatangi mereka yang membutuhkan ilmunya. Karenanya, kemudian ia mengajar agama di beberapa sekolah yang menghasilkan guru dan pamong praja. Ia mengajar agama di Sekolah Guru (kweekschool) di Jetis Yogyakarta dan mengajar agama di OSVIA (sekolah pamong praja di Magelang. Ia pun mengubah pesantren yang ia asuh menjadi sekolah sebagai sebuah tempat pendidikan yang formal.
Pada 1 Desember 1911 KH Ahmad Dahlan meresmikan dan memberi nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah di Kauman Yogyakarta. Ketika diresmikan, sekolah itu mempunyai 29 orang siswa dan enam bulan kemudian dilaporkan bahwa terdapat 62 orang siswa yang belajar di sekolah itu. Di kemudian hari sekolah ini berkembang baik dam sebagian dipindah di Suranatan Yogyakarta. Pendirian-pendirian sekolah serupa terus berlanjut, kemudian mendirikan sekolah di Karangkajen pada tahun 1913, mendirikan sekolah di Lempuyangan pada tahun 1915, dan mendirikan sekolah di Pasar Gede (Kotagede)
Pada tahun 1918 Kyai Dahlan mendirikan sekolah dengan nama “Qismul Arqa” di Kampung Kauman Yogyakarta. Sekolah ini untuk menampung lulusan-lulusan sekolah di atas. Sepanjang sejarahnya, Madrasah al-Qismu al-Arqo mengalami beberapa kali perubahan nama. Secara kronologis, perubahan nama ini dimulai dari Madrasah al-Qismu al-Arqo kemudian Hogere Moehammadijah School, kemudian Kweekschool Islam dan menjadi Kweekschool Moehammadijah. Kweekschool Muhammadijah kemudian hari menjadi Madrasah Mualimin dan Muallimat Muhammadiyah.
Dalam hal pendidikan non formal, Kyai Dahlan membentuk kelompok-kelompok pengajian baik di Yogyakarta dan luar Yogyakarta. Perkumpulan-perkumpulan dan Jama’ah-jama’ah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah di Yogyakarta, diantaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta’awanu alal birri, Ta’ruf bima kanu wal- Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi.
Sedangkan kelompok pengajian di luar Yogyakarta, misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir di Ujung Pandang, Ahmadiyah di Garut. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF).
Gerakan seperti inilah yang kemudian berkembang menjadi gerakan pendidikan, baik formal maupun non formal, Saat ini berkembang sekolah-sekolah Muhammadiyah dari TK hingga perguruan tinggi. Demikian pula berkembang pula pengajian-pengajian, bahkan ruh Cabang dan Ranting Muhammadiyah adalah pengajian. (***)