Jihad Perang dan Jihad Damai

Jihad

Foto Dok Ilustrasi

Oleh Prof Muh. Zuhri

Divisi Fatwa MTT PWM Jawa Tengah

Hadits Jihad dan Perang

Jihad itu artinya berjuang dengan kesungguhan dan semangat tinggi dalam rangka membela penegakan ajaran Ilahi. Dan perjuangan itu sering kali mengambil bentuk perang. Malahan sepertinya memperjuangkan Islam tanpa perang kurang menunjukkan keseriusan. Dalam situasi umat Islam dituntut untuk ini, Al-Qur’an pernah menegur orang yang bermalas-malas berangkat perang:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَا لَكُمْ إِذَا قِيلَ لَكُمُ انْفِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ اثَّاقَلْتُمْ إِلَى الْأَرْضِ أَرَضِيتُمْ بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا مِنَ الْآخِرَةِ فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا قَلِيلٌ(38)

“Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu: “Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah” kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? padahal keni`matan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit” (Qs. At-Taubah [9]: 38).

Ayat tersebut menyebut perang dengan istilah “berangkat fi sabilillah.” Karena itu, tidak mengherankan bila jihad fi sabilillah diidentikkan dengan perang. Ada banyak hadits shahih menunjukkan wujud jihad fi sabilillah mengambil bentuk perang, misalnya:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّه عَنْه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَصَامَ رَمَضَانَ كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ … فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلا نُبَشِّرُ النَّاسَ قَالَ إِنَّ فِي الْجَنَّةِ مِائَةَ دَرَجَةٍ أَعَدَّهَا اللَّهُ لِلْمُجَاهِدِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ مَا بَيْنَ الدَّرَجَتَيْنِ كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ فَإِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ فَاسْأَلُوهُ الْفِرْدَوْسَ فَإِنَّهُ أَوْسَطُ الْجَنَّةِ وَأَعْلَى الْجَنَّةِ أُرَاهُ فَوْقَهُ عَرْشُ الرَّحْمَنِ وَمِنْهُ تَفَجَّرُ أَنْهَارُ الْجَنَّةِ * (رواه أحمد والبخارى)

Dari Abu Hurairah ra. katanya, Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa beriman kepada Allah dan Rasulnya, mendirikan shalat, dan berpuasa Ramadhan, maka Allah sungguh akan memasukkannya ke surga…. Mereka bertanya, “Apa tidak seyogyanya kami memberi khabar gembira kepada orang banyak?” Beliau menyatakan, “Sesungguhnya di surga terdapat seratus derajat yang disediakan oleh Allah bagi orang-orang yang berjihad di jalan Allah. Antara dua derajat itu seperti antara langit dengan bumi. Bia kalian memohon kepada Allah, mohonlah (mendapatkan) Firdaus karena ia surga pertengahan. Dan (derajat) surga tertinggi yang ditunjukkan di atasnya adalah ‘Arasy Allah Yang Maha Rahman; dari sana mengalir sungai-sungai surga.” (HR. Imam Ahmad dan Al-Bukhari).

Hadits ini membangun kesan pikiran bahwa perang fi sabilillah itu kegiatan keagamaan yang nilainya paling tinggi, mendapatkan balasan surga derajat tinggi. Hadits lain yang menunjukkan keistimewaan perang adalah:

عَنْ سَالِمٍ أَبِي النَّضْرِ مَوْلَى عُمَرَ بْنِ عُبَيْدِاللَّهِ وَكَانَ كَاتِبَهُ قَالَ كَتَبَ إِلَيْهِ عَبْدُاللَّهِ بْنُ أَبِي أَوْفَى رَضِي اللَّه عَنْه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَاعْلَمُوا أَنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ ظِلا لِ السُّيُوفِ … (رواه البخارى ومسلم وابو داود)

Dari Salim Abu al-Nadhr, hamba Umar ibn Ubaidullah, dulu juru tulisnya, berkata: Abdullah ibn Abu Aufa mengirim tulisan kepadanya bahwa Rasulullah saw bersabda, “Ketahuilah oleh kalian sesungguhnya surga itu terletak di bawah naungan kilatan pedang…. (HR. Al-Bukhari, Muslim, dan Abu Daud).

Hadits ini menegaskan betapa mulia orang berperang fi sabilillah yang tempo dulu dengan pedang, barang kali juga dengan tombak atau alat tradisional lainnya. Tiada jaminan kecuali surga yang akan menyambut mereka. Hadits ini merangsang umat Islam untuk dengan ringan melangkahkan kaki menuju medan perang. Kematian bukan sesuatu yang menakutkan, tetapi menggembirakan. Hadits lain yang tidak kalah penting lagi adalah:

عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِي اللَّه عَنْه قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ الرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِلْمَغْنَمِ وَالرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِلذِّكْرِ وَالرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِيُرَى مَكَانُهُ فَمَنْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ *(رواه احمد والبخارى ومسلم وابو داود وابن ماجه والترمذى)

Dari Abu Musa ra berkata, telah datang seorang pria kepada Nabi saw. dengan mengajukan pertanyaan, ”Ada orang berperang untuk mendapat rampasan perang, ada lagi yang berperang agar namanya disebut-sebut, dan ada lagi orang yang berperang agar diketahui posisi (penting) nya. Maka, siapa yang tergolong fi sabilillah?” Rasulullah menjawab, ”Barang siapa berperang dalam rangka menegakkan kalimah Allah Yang Maha Tinggi, maka ia masuk fi sabilillah” (HR. Ahmad, Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan At-Turmudzi).

Hadits ini semakin memperjelas betapa mulia orang berperang fi sabilillah, menegakkan kebenaran, berjuang untuk kebahagiaan generasi penerus, bukan untuk kesenangan sendiri yang sesaat dan duniawi. Sebaliknya, orang yang lari menghindari perang mendapat kutukan keras karena tidak mau tahu dengan perjuangan agama dan tidak berpikir tentang kesenangan abadi di akhirat. Mereka lebih senang mengejar kesenangan duniawi dan pribadi. Rasanya, tidak terlalu sulit sekarang ini mendapatkan orang seperti itu. Demi kebahagiaan yang hanya sesaat ini mereka mau mengambil cara tidak halal.

Mengapa Perang?

Di kala Rasulullah saw menyiarkan Islam pada periode Makkah sebenarnya sudah mendapat penolakan dan perlawanan yang hebat kecuali oleh sedikit orang yang akhirnya menjadi pengikut setianya. Tetapi, beliau menghindari perlawanan fisik. Segala bentuk kekerasan yang dihadapinya disingkiri agar tidak terjadi bentrok fisik yang tidak menguntungkan. Rasulullah tidak melakukan perang sebelum ada izin atau perintah Allah yang turun pada periode Madinah. Kendati demikian, perang itu bersifat defensif. Sebagaimana diketahui bahwa perang yang pertama terjadi itu di kampung Badar (tahun 2 H) dan di Uhud (tahun 3 H). Dari segi lokasi kita tahu bahwa perang ini terjadi antara penyerang yang berasal dari kaum musyrik Makkah terhadap pihak Rasulullah di Madinah. Untuk menjangkau Badar, orang Makkah harus menempuh jarak 300 km., sementara orang Madinah sekitar 90 km. Apalagi Uhud, berada di luar kota Madinah berjarak kurang dari 10 km. Adapun perang yang kemudian dilakukan generasi berikutnya adalah dalam rangka melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Para ahli sejarah menuturkan bahwa rakyat yang pernah dikuasai kerajaan Romawi dan kerajaan Persia akhirnya lebih memilih berada di dalam kekuasaan tentara muslim karena tentara yang disebut terakhir ini lebih manusiawi dan membangkitkan semangat hidup sebagai orang merdeka lagi.

Defensif maksudnya, perang itu tidak dilakukan kecuali dalam keadaan terpaksa. Perang tidak boleh dilakukan dengan awut-awutan. Tidak boleh membunuh orang yang tidak menjadi tentara musuh, seperti, orang tua, wanita, anak-anak dan orang-orang yang masuk dalam tempat peribadatan. Perang tidak boleh menimbulkan kerusakan, seperti tempat ibadah dan tempat pelayanan umum lain.

Lapangan Jihad itu Luas, Bisa Jihad Damai

Para ulama berpendapat bahwa jihad bukan hanya berhadapan dengan non muslim, tetapi, berjuang untuk perbaikan dalam tubuh umat Islam termasuk jihad. Maka, jihad itu dapat berupa harta, jiwa, tenaga, dan pikiran. Membangun sarana pendidikan dan menyelenggarakannya, membangun sarana transportasi, bahkan berbakti kepada orang tua masing-masing disebut jihad.

Mari kita perhatikan sebuah hadits:

… قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَاللَّهِ بْنَ عَمْرٍو رَضِي اللَّه عَنْهمَا يَقُولُ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَأْذَنَهُ فِي الْجِهَادِ فَقَالَ أَحَيٌّ وَالِدَاكَ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ * (رواه البخارى ومسلم والنسائى وأحمد)

”….ada orang berkata, saya mendengar Abdullah bin Amr ra berkata. Seorang pria telah datang menghadap Rasulullah memohon ijin (untuk meninggalkan) ”jihad”. Rasulullah bertanya ”Apakah kedua orang tuamu masih hidup? Ia menjawab ”Ya.” Rasulullah bersabda, ”Berjihadlah untuk (mengurusi keperluan) kedua orang tuamu” (HR. Al-Bukhari, Muslim, An-Nasai, dan Ahmad).

 

Dalam sebuah riwayat, ada yang menyatakan bahwa orang tua yang diurusi oleh puteranya itu dalam keadaan sakit keras, sehingga harus dirawat. Tetapi, ada riwayat lain menyatakan, keperluan orang tuanya adalah melaksanakan ibadah haji yang harus diantar oleh puteranya. Jadi, lapangan jihad itu luas, ada jihad damai dan ada jihad perang.

Jihad: Ada Hidup Damai Fi Sabilillah, Ada Mati Fi Sabilillah

Kembali ke perang. Dengan etika perang seperti di atas, sebenarnya dalam menyiarkan dakwah Islam tidak memulainya dengan ancaman, kekerasan apalagi perang. Islam adalah agama dakwah. Sesuai dengan karakter agama dakwah, Islam harus ditampilkan simpatik, bukan tampilan serem. Rasulullah sebagai uswah dan qudwah hasanah tampil simpatik, tidak serem. Menyiarkan agama dengan cara-cara teror tidak ada sunnahnya. Rasulullah tidak memberi contoh dakwah dengan teror, kekerasan dan anarkisme lainnya. Dakwah adalah kegiatan memperkenalkan Islam secara benar, kemudian mengajak orang agar menjalankan agama. Menyiarkan agama dengan teror dan kekerasan lainnya hanya akan mencoreng Islam itu sendiri, dan menunjukkan kepada orang bahwa Islam agama seram, bahaya, dan membahayakan. Islam tidak lagi ditunjukkan sebagaimana aslinya yang damai, sejuk, dan sejahtera.

Itu sebabnya, untuk berjuang dalam Islam diperlukan kesungguhan, keuletan dan ketulusan, menyediakan jiwa, harta dan pikiran. Dalam bahasa agama disebut Jihad. Tujuan jihad tiada lain menuju hidup damai dan sejahtera di Jalan Allah. Karena pada dasarnya dakwah itu harus tampil simpati, maka jihad damai menjadi dasar perjuangan. Di muka disebutkan bahwa dakwah harus penuh semangat. Ini tidak boleh kelewat semangat sehingga mendahulukan kekerasan dari kedamaian. Pendekatan diplomatik lebih didahulukan dalam berdakwah ketimbang kekerasan.

Sebuah ayat Al-Qur’an menyatakan:

 

وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ وَقُولُوا ءَامَنَّا بِالَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَأُنْزِلَ إِلَيْكُمْ وَإِلَهُنَا وَإِلَهُكُمْ وَاحِدٌ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ(46)

 

”Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan katakanlah: “Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri” (Qs. Al-Ankabut [29]: 46).

Bagaimana bila orang yang diajak ke jalan yang benar malah menolak, setidaknya belum bisa menerima? Mungkin saja cara dakwah kita belum tepat sehingga perlu kesabaran. Dakwah dengan cara memaki-maki orang lain hanya membuka pintu permusuhan saja. Rasulullah sendiri diingatkan, ”Sesungguhnya tugasmu hanya mengingatkan (berdakwah), bukan memaksa orang untuk harus menerima dakwah.” (Qs. Al-Ghasyiyah [88]: 21-22).

Dakwah memang tidak sesederhana itu. Ada kalanya orang sengaja melakukan kesalahan dan kejahatan. Amar ma’ruf Nahi munkar yang diajarkan Islam melengkapi sarana dakwah. Semua lembaga, perseorangan, kelompok bahkan lembaga pemerintah memiliki tugas amar ma’ruf nahi munkar ini, sesuai dengan kapasitasnya. Termasuk dakwah yang dilakukan pihak pemerintah adalah penegakan hukum. Pihak di luar pemerintah tidak boleh mengambilalih tugas kedinasan. Tindakan memotong tangan terhadap pencuri, misalnya, hanya dilakukan oleh pemerintah, pemegang otoritas. Pihak di luar pemerintah hanya boleh membantu dan mendesak agar penegakan hukum berjalan, bukan mengambil alih tugas. Dengan cara ini, dakwah damai dapat terwujud, dengan tujuan hidup fi sabilillah dengan damai. Kalau ternyata kita berhadapan dengan musuh, maka opsi berikutnya adalah tidak gentar melawan dan memerangi musuh, meski harus mati; di sini baru mati fi sabilillah. Yang hendak ditegaskan di sini adalah menyemangati hidup fi sabilillah dengan mati fi sabilillah secara proporsional dan seimbang.

Mengapa ini penting?

Ajakan hidup fi sabilillah secara damai direspon oleh musuh, seperti Israel menyerang hunian sipil warga Palestina dengan dalih menghabisi kelompok Hamas. Dunia internasional menyebut aksi militer Israel sebagai anti kemanusiaan yang tidak dapat ditolerir lagi. Tetapi, tidak pihak super power tertentu tidak menunjukkan itikad agar aksi ini segera berakhir. Maka, tindakan penting dari pihak luar Israel, khususnya kaum Muslimin perlu segera diambil demi terwujudnya kedamaian abadi. Jihad fi sabillah menghadapi Israel dan pihak-pihak di belakangnya dalam bentuk perang menjadi keharusan. Betapa banyak kaum ibu Palestina tidak bersedih, bahkan merasa bangga dan bersyukur karena puteranya mati syahid, bagai bunga agama yang menebar aroma wangi melebihi parfum apapun.

Exit mobile version