Oleh Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, Lc., M.Ag.
Masalah yang saya kemukakan dalam tulisan ini adalah tentang penafsiran Al-Qur’an. Tepatnya bagaimana menafsirkan Al-Qur’an secara tepat sehingga Al-Qur’an dapat betul-betul efektif berfungsi sebagai hudan, petunjuk dan pedoman dalam mengarungi samudera kehidupan ini.
Secara etimologis tafsir berarti keterangan dan penjelasan (al-idhâh wa at-tabyîn). Secara terminologis tafsir adalah keterangan dan penjelasan tentang arti dan maksud ayat-ayat Al-Qur’an sebatas kemampuan manusia. (Adz-Dzahabi I, 1976: 13-15).
Dalam menafsirkan Al-Qur’an, di samping dibatasi oleh kemampuan masing-masing sebagai manusia, para mufasir juga dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan dan sosial budaya yang berbeda-beda, sehingga bentuk, metode dan corak penafsiran mereka juga berbeda-beda. Sejauh ini dikenal ada dua bentuk penafsiran, yaitu at-tafsîr bi al- ma’tsûr dan at–tafsîr bi- ar-ra’yi; dan empat metode, yaitu ijmâli, tahlîli, muqârin dan maudhû’i. Sedangkan dari segi corak lebih beragam, ada yang bercorak sastra bahasa, fiqh, teologi, filsafat, tasawuf, ilmiyah dan corak sastra budaya kemasyarakatan.
Usaha menafsirkan Al-Qur’an sudah dimulai semenjak zaman para sahabat Nabi sendiri. ‘Ali ibn Abi Thâlib (w. 40 H), ‘Abdullah ibn ‘Abbâs (w. 68 H), ‘Abdullah Ibn Mas’ûd (w. 32 H) dan Ubay ibn Ka’ab (w. 32 H) adalah di antara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang lain. (As-Suyûthi, t.t.: 187).
Tafsir bil-Ma’tsur dan bi ar-Ra’yi
Sesudah masa sahabat dan tabi’in datanglah masa kodifikasi (tadwîn) hadits di mana riwayat-riwayat berisi tafsir dikelompokkan menjadi satu bab sendiri, walaupun tetap belum sistematis seperti susunan Al-Qur’an. Dalam perkembangan selanjutnya tafsir dipisahkan dari kandungan kitab hadits dan menjadi kitab sendiri. Para ulama seperti Ibn Mâjah (w. 273 H), Ibn Jarîr at-Thabari (w. 310 H), Abû Bakar ibn Al-Munzir an-Naisabûri (w. 318 H) dan lain-lain mengumpulkan riwayat-riwayat yang berisi tafsir dari Nabi, sahabat dan tabi’in dalam kitab sendiri. Riwayat-riwayat yang dikumpulkan itu sudah mencakup keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an dan disusun sesuai dengan sistematika mushaf. Bentuk penafsiran yang dirintis Ibn Jarîr dan mufasir lain pada masa awal pembukuan tafsir inilah yang kemudian di kenal dengan bentuk at-tafsîr bi al- ma’tsûr.
Ringkasnya, at-tafsîr bi al-ma’tsûr adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan Sunnah Nabi dan Al-Qur’an dengan pendapat atau penafsiran para sahabat Nabi dan tabi’in. Dinamai dengan bi al- ma’tsûr (dari kata atsar yang berarti sunnah, hadits, jejak, peninggalan) karena dalam menafsirkan Al-Qur’an seorang mufasir menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya terus sampai kepada Nabi Muhammad SAW.
Contoh kitab-kitab tafsir yang menggunakan bentuk at-tafsîr bi al- ma’tsûr ini antara lain adalah: (1) Muhammad Ibn Jarîr ath-Thabari (w. 310 H), Jâmi’ al-Bayân fî Tafsîr Al-Qur’ân; (2) Abu al-Laits Nâshir ibn Muhammad as-Samarqandi (w.373 H), Bahr al-‘Ulûm; (3) Abu Ishaq Ahmad ibn Ibrâhim ats-Tsa’labi (w. 427 H), al-Kasysyâf wal al-Bayân ‘an Tafsîr Al-Qur’ân; (4) Abu Muhammad al-Husain ibn Mas’ûd al-Baghawi (w. 510 H), Ma’âlim at-Tanzîl fi at-Tafsîr; (5 Abu Muhammad ‘Abd al-Haq ibn Ghâlib ibn ‘Athiyah (w. 546 H), al-Muharrir al-Wajîz fi Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz; (6) Abu al-Fadâ’ Ismâ’îl ibn ‘Amr ibn Katsîr (w. 774 H), Tafsîr Al-Qur’ân al-‘Azhîm; (7) Abu Zaid ‘Abd ar-Rahman ibn Muhammad ats-Tsa’labi (w. 876 H), al-Jawâhir al-Hassân fi Tafsîr Al-Qur’ân; dan (8) Jalâl ad-Dîn as-Suyûthi (w. 911 H), Ad-Durr al-Mantsûr fî at-Tafsîr al-Ma’tsûr. (Adz-Dzahabi I, hlm. 141-142)
Sementara itu, setelah ilmu pengetahuan tumbuh dan berkembang pesat pada masa Daulah ’Abbasiyah, para mufasir tidak puas hanya dengan bentuk bi al- ma’tsûr, karena perubahan dan perkembangan zaman menghendaki pengembangan bentuk tafsir dengan memperluas dan memperbesar peran ra’yu atau ijtihad dibandingkan dengan penggunaannya pada bentuk bi al- ma’tsûr. Tafsir dengan bentuk ini kemudian dikenal dengan at-tafsîr bi- ar-ra’yi.
Dengan at-tafsîr bi- ar-ra’yi seorang mufasir menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan menggunakan kemampuan ijtihad atau pemikiran tanpa meninggalkan tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an atau dengan hadits dan tidak pula meninggalkan sama sekali penafsiran para sahabat dan tabi’in. Bentuk ini mengembangkan penafsiran dengan bantuan bermacam-macam ilmu pengetahuan seperti ilmu bahasa Arab, ilmu qirâah, ilmu-ilmu Al-Qur’an, ilmu hadits, ushul fiqh, ilmu sejarah, dan lain-lain sebagainya. Dinamai dengan at-tafsîr bi- ar-ra’yi karena yang dominan memang penalaran atau ijtihad mufasir itu sendiri.
Contoh kitab-kitab at-tafsîr bi- ar-ra’yi antara lain adalah: (1) Abû al-Qâsim Jârullah Mahmûd ibn ‘Umar az-Zamakhsyari al-Khawârizmi (w. 538 H), Al-Kasysyâf ‘an Haqâiz at-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwil fi Wujûh at-Ta’wîl; (2) Abû‘Abdillah Muhammad ibn ‘Umar ar-Râzi (w. 606 H), Mafâtih al-Ghaib; (3) Nâshir ad-Dîn Abû Khair ‘Abdullah ibn ‘Umar al-Baidhâwi (w. 685 H), Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl; (4) Abû al-Barakât ‘Abdullah ibn Ahmad an-Nasafi (w. 701 H), Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta’wîl; (5) Abû al-Fadhl Syihâb ad-Dîn as-Sayyid Mahmûd al-Alûsi al-Baghdâdi (w. 1270 H), Rûh al-Ma’âni fî Tafsîr Al-Qur’ân al-‘Azhîm wa as-Sab’i al-Matsâni. (Ibid. I: 289).
Metode Penafsiran
Dari segi metode sejauh ini dikenal ada empat metode penafsiran yaitu ijmâli, tahlîli, muqârin dan maudhû’i. Metode ijmâli adalah motode yang paling awal muncul karena sudah digunakan sejak Nabi dan para sahabat. Nabi dan para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an tidak memberikan rincian yang detail, hanya secara ijmâli atau global. (Baidan, 2000: 3).
Dengan metode ijmâli, seorang mufasir menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas, mulai dari ayat pertama sampai ayat terakhir sesuai dengan susunan ayat dan surat di dalam mushaf dengan bahasa yang populer dan mudah dimengerti. Makna yang diungkapkan biasanya diletakkan di dalam rangkaian ayat-ayat dengan menggunakan lafazh bahasa yang mirip bahkan sama dengan lafazh Al-Qur’an, sehingga pembaca akan merasa bahwa uraiannya tersebut tidak jauh dari gaya bahasa Al-Quran itu sendiri. (Al-Farmawi, 1994: 29).
Penjelasan mufasir dalam metode ini sangat singkat. Kosa kata yang dianggap sulit dijelaskan dengan mencari padanan katanya, atau dengan penjelasan singkat maksudnya. Kadang-kadang juga dijelaskan kedudukan kata perkata dalam struktur bahasa Arab (‘irâb), mana mubtadâ, khabar, hâl dan sebagainya. Biasanya ayat yang ditafsirkan diletakkan dalam dua tanda kurung, setelah kurung penutup langsung diberi penjelasan ringkas. Contoh terbaik untuk kitab tafsir yang menggunakan metode ini antara lain (1) Muhammad Farîd Wajdi, Tafsîr Al-Qur’ân Al-Karîm; (2) Jalâl ad-Dîn Abû al-Fadhl ‘Abd ar-Rahmân ibn Abî Bakr as-Suyûthi (w. 911 H) dan Jalâl ad-Dîn Muhammad ibn Ahmad al-Muhalli (w. 864 H), Tafsîr al-Jalâlain.
Setelah metode ijmâli, dikenal metode tahlîli. Dengan menggunakan metode ini, seorang mufasir berusaha menjelaskan kandungan ayat ayat Al-Qur’an dari berbagai aspek, mulai dari aspek bahasa, asbâb an-nuzûl, munâsabah dan aspek lain yang memungkinkan sesuai dengan minat dan kecenderungan mufasir sendiri. Penafsiran dilakukan dengan menggunakan sistematika mushaf Al-Qur’an, urut dari awal sampai akhir ayat demi ayat. (Ibid. : 12).
Jika mengambil bentuk at-tafsîr bi al- ma’tsûr maka sumber penafsiran metode tahlîli ini adalah Al-Qur’an, hadits Nabi dan penafsiran para sahabat dan tabi’in. Akan tetapi jika menggunakan bentuk at-tafsîr bi- ar-ra’yi, sumber penafsiran ditambah dengan ijtihad mufasir sendiri, baik secara orisinal maupun mengutip pemikiran sumber lain. Setelah metode ijmâli dan tahlîli, muncul metode muqârin atau perbandingan. Dengan motode ini seorang mufasir melakukan perbandingan antara (1) teks ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama; (2) ayat-ayat Al-Qur’an dengan hadits yang pada lahirnya terlihat bertentangan; dan (3) berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan Al-Qur’an. (Baidan, 2000: 65).
Kajian perbandingan ayat dengan ayat tidak hanya terbatas pada analisis kebahasaan, tetapi juga mencakup kandungan makna dan perbedaan kasus yang dibicarakan. Dalam membahas perbedaan-perbedaan itu, seorang mufasir harus meninjau berbagai aspek yang menyebabkan timbulnya perbedaan, seperti asbâb an-nuzûl yang berbeda, pemakaian kata dan susunannya di dalam ayat berlainan dan juga konteks masing-masing ayat serta situasi dan kondisi umat ketika ayat tersebut turun. Dalam menganalisis perbedaan-perbedaan tersebut, mufasir harus pula menelaah pendapat yang telah dikemukakan oleh mufasir lainnya. (Ibid.: 65-67). Contoh kitab tafsir dengan metode ini antara lain (1) al-Khathîb al-Iskâfi (w. 240 H), Durrah at-Tanzîl wa Ghurrah at-Ta’wîl; dan (2) Tâj al-Qurrâ’ al-Karmâni (w. 505 H), al-Burhân fî Taujîh Mutasyâbah Al-Qur’an.
Yang terakhir adalah metode maudhû’i atau tematik. Berbeda dengan metode ijmâli dan tahlîli yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara kronologis sesuai dengan urutan ayat dan surat yang terdapat dalam mushaf, maka metode maudhû’i ini membahas ayat-ayat yang terdapat dalam berbagai surat yang telah diklasifikasikan dalam tema-tema tertentu. Dengan metode ini seorang mufasir menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa, mengkompromikan antara pengertian yang ‘âm dan khâsh, antara yang muthlaq dan yang muqayyad, mensinkronkan ayat-ayat yang lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan ayat nâsikh dan mansûkh, sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terahadap sebagian ayat kepada makna-makna yang sebenarnya tidak tepat. (Al-Farmawi, 1994: 36 & 46).
Beberapa contoh kitab tafsir maudhû’i adalah: (1) ‘Abbas al-‘Aqqâd, al-Mar’ah fî Al-Qur’ân; (2) Abû al-‘Ala al-Maudûdi, ar-Ribâ fî Al-Qur’ân al-Karîm; (3 Muhammad Abû Zahrah, al-‘Aqîdah fî Al-Qur’ân al-Karîm; (4) Muhammad as-Samahi, al-Ulûhiyyah wa ar-Risâlah fî Al-Qur’ân al-Karîm; dan (5) Ibrahim Mahna, al-Insân fî Al-Qur’ân al-Karîm.
Corak Penafsiran
Di samping bentuk dan metode yang sudah dijelaskan di atas, dikenal juga corak penafsiran. Karena yang dominan dalam at-tafsîr bi- ar-ra’yi adalah pemikiran mufasir, baik yang orisinal dari yang bersangkutan atau mengutip dari sumber-sumber lain, maka tentu saja hasil penafsiran mereka beragam sesuai dengan latar belakang pengetahuan, sosial budaya dan kecenderungan masing-masing. Dalam ilmu-ilmu Al-Qur’an keragaman itu diistilahkan dengan al-laun yang secara harfiah berarti warna. (Adz-Dzahabi I: 140).
Padanan istilah al-laun dalam bahasa Indonesia oleh M. Quraish Shihab (1992: 72) digunakan istilah corak. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990: 173), arti corak antara lain berjenis-jenis warna pada warna dasar, faham, macam, bentuk. Menurut hemat saya, kata corak lebih tepat digunakan dibanding warna. Warna dasarnya adalah at-tafsîr bi- ar-ra’yi, di atas warna dasar itu ada warna-warni lain yang beragam, dan itulah corak. Corak itu sekaligus menunjukkan paham penulisnya, macam atau bentuk tafsirnya. Sejauh ini corak penafsiran yang dikenal antara lain: corak sastra bahasa, fiqih atau hukum, teologi atau filsafat, tasawuf, ilmiah, dan sastra budaya kemasyarakatan. (Bersambung).