Oleh: Isngadi Marwah Atmadja
Alhamdulillah, mulai tahun ini Suara Muhammadyah mempunyai program “umroh karyawan”. Tahun ini ada dua orang yang telah diberangkatkan. Tahun depan insyaallah bisa lebih dari tiga.
Dari dua karyawan yang diberangkatkan awal april kemarin, saya adalah salah satunya. Oleh karena saya berangkat ke haramain dengan biaya dari Suara Muhammadiyah, maka saya merasa berkwajiban membagikan pengalaman saya di forum ini.
Jujur saja, persiapan saya untuk ke tanah suci bisa dikatakan nyaris tidak ada. Sebelum berangkat saya belum sempat membaca buku-buku tentang apa yang harus saya persiapkan. Saya juga belum mempelajari kondisi objek-objek yang bakal dikunjungi.
Singkat kata, saya nyaris tergantung sepenuhnya pada pemandu yang bakal mendampingi para jamaah dan sedikit ingatan tentang pelajaran di sekolah menengah dulu. Pelajaran yang belum pernah dipraktekkan juga belum pernah diuji-cobakan.
Di kesempatan pertama shalat di masjid nabawi saya mencoba mendekat raudhah. Namun gagal. Jamaah terlalu berjubel di sekitar tempat itu. Saya hanya bisa melongok dari atas semacam pagar plastik tebal warna putih yang dibentangkan di antara tiang-tiang yang ada. Melihat karpetnya yang bersemu kehijauan, berbeda dengan karpet di bagian masjid yang lain.
Di kesempatan berikutnya, walau datang lebih awal, saya juga kembali gagal. Saya akhirnya hanya bisa duduk beberapa shaf di belakang raudah yang ditutup pagar kain atau plastik setinggi dada itu.
Dengan sedikit iseng saya bertanya jamaah yang duduk di sebelahku, “Benarkah tempat itu raudhah?”
Dia tersenyum lalu berkata, “Ya, itu memang raudhah. Tempat di antara mimbar dan rumah Nabi. Tempat yang mustajab untuk berdo’a. Tapi bagi saya, tempat ini juga raudhah”.
Sebenarnya saya masih ingin bertanya lagi namun karena suatu sebab, semua pertanyaan itu saya simpan di hati.
Pada waktu makan, beberapa anggota rombongan ada yang bercerita tentang perjuangannya yang bisa masuk ke raudhah di waktu mustajabah. Meski terjepit dan ganti mendesak yang lain supaya bisa masuk dan bertahan di tempat itu. Jujur saja, saya hanya bisa merasa kagum dan takjub.
Tiba-tiba ada satu anggota rombongan yang bertanya ke saya, “Mas, benarkah kalau kita shalat dua rakaat di raudhah kita pasti masuk syurga. Katanya ada haditsnya?”
Belum sempat pertanyaan itu saya jawab dan saya juga belum bisa menemukan jawabannya orang itu kembali bertanya, “Kalau begitu, bagaimana nasib saudara-saudara kita yang di desa yang tidak mungkin bisa sampai ke tempat ini?”
Orang itu saya pandang dengan pandangan tidak mengerti, orang itu kemudian berkata, “Bagi saya, semua tempat itu raudhah, semua tempat itu tempat mustajab untuk berdoa, apabila kita memang tulus dalam berdoa”.
“Itu bukan pernyataan menghibur diri karena gagal masuk raudhahkan?” saya balik bertanya sambil tertawa.
Dia juga tertawa dan berkata, ”Mending saya gak masuh raudhah daripada harus saling jegal dan membuat sakit jamaah yang lain mas”.
Saya pun menjawab sambil tersenyum, “Ya sudah, nanti kita coba lagi masuk ke sana tanpa menyakiti dan disakiti yang lain”