Bagi sebagian warga Muhammadiyah, judul di atas tidak asing lagi. Terutama bagi mereka yang pada tahun 1962, sempat menghadiri dan menyaksikan Muktamar Muhammadiyah ke-35 di Jakarta. Muktamar ini cukup istimewa, karena bertepatan dengan lima puluh tahun atau setengah abad Muhammadiyah. Sehingga, Muktamar Muhammadiyah ke-35 ini disebut juga dengan Muktamar setengah abad Muhammadiyah. Konon menurut informasi, Muktamar ini dihadiri sekitar 2.500 utusan Cabang dari seluruh pelosok tanah air. Dan dikunjungi sekitar 18.000 warga Muhammadiyah (semacam penggembira untuk saat ini).
Muktamar yang penting dan istimewa ini, dihadiri Presiden Soekarno yang sekaligus memberikan amanat dalam penutupan. Sambutan dan amanat Presiden Soekarno itu diberi judul “Makin Lama Makin Cinta”. Sehingga, istilah itu menjadi sangat populer dikalangan warga Muhammadiyah. Pidato itu sekaligus berisi pengakuan Bung Karno yang mengatakan ‘kian lama semakin mencintai Muhammadiyah’.
Momentum Muktamar Muhammadiyah setengah abad ini, menjadi salah satu momentum yang cukup penting juga bagi Muhammadiyah dalam rangka memasuki era baru dalam perjalanan Muhammadiyh ke depannya. Dua era telah dilalui saat itu, yaitu era atau masa penjajahan Belanda dan masa pasca awal kemerdekaan. Dalam kurun waktu 1962 itu situasi politik Indonesia sedang dalam masa konflik nasional pasca pembubaran Konstituante tahun 1959 dan tampilnya Soekarno sebagai kekuatan tunggal yang dominan. Hubungan Soekarno dengan kekuatan Muslim modernis kala itu terutama dari barisan Masyumi mulai panas-dingin.
Namun yang menarik, menurut Haedar Nashir dalam kata pengantarnya untuk buku ‘Makin Lama makin Cinta’ kendati suasana politik memanas, Muhammadiyah tetap mampu menjaga hubungan yang baik dengan pemerintah, khususnya Presiden Soekarno, sehingga tokoh Indonesia yang dikenal kharismatik ini hadir dan bersemangat memberikan amanat dalam penutupan Muktamar Setengah Abad di Jakarta.
Panorama ini menunjukkan, betapa para tokoh puncak Muhammadiyah kala itu mampu memainkan peran yang cerdas dan arif, sehingga tidak terseret dan menyeretkan Muhammadiyah pada konflik kekuasaan yang merugikan kedua belah pihak. Dengan tetap kritis sebagaimana ciri dari pemimpin-pemimpin Muhammadiyah saat itu, para elit Muhammadiyah itu tetap mampu menjaga posisi Muhammadiyah dalam sikap moderat. Kepentingan organisasi yang lebih besar menjadi utama dan diletakkan di atas segalanya, sehingga mampu menjaga keseimbangan dalam situasi politik yang sulit sekalipun.
Dalam transisi politik seperti itu, Muktamar Setengah Abad ini, melahirkan suatu keputusan yang sangat monumental dan bersejarah, yakni lahirnya ‘Kepribadian Muhammadiyah’. Lahirnya Kepribadian Muhammadiyah ini, dilatarbelakangi dengan mulai masuknya pemikiran dan cara-cara politik dalam mengelola atau menggerakkan Muhammadiyah setelah Masyumi dibubarkan dan orang-orang Muhammadiyah yang berkecimpung di Partai Politik tersebut kembali ke Muhammadiyah. Cara-cara politik yang demikian dipandang tidak cocok dengan Muhammadiyah sebagai gerakan keagamaan yang berkiprah dalam kemasyarakatan dan tidak bergerak dilapangan politik-praktis.
Menurut Haedar Nashir, agar cara-cara dan watak politik ala partai politik itu tidak merusak nada dan irama gerak Muhammadiyah, maka diperlukan bingkai yang menuntun dan menjadi acuan bagaimana warga menggerakkan organisasi ini dengan cara Muhammadiyah, bukan dengan cara partai atau cara politik. Cara Muhammadiyah itu bertumpu pada ‘Kepribadian Muhammadiyah’ sebagai gerakan Islam yang menempuh jalan pembentukan masyarakat, bukan dengan jalan politik, bukan dengan jalan ketatanegaraan.
‘Kepribadian Muhammadiyah’ itu sebagai salah satu keputusan Muktamar Setengah Abad, terbagi dalam empat bagian. Bagian I berjudul; Apakah Muhammadiyah Itu? Bagian II tentang ‘Dasar Amal Usaha Muhammadiyah’, Bagian III tentang ‘Pedoman Amal Usaha Muhammadiyah dan Perjuangan Muhammadiyah, sedangkan Bagian IV berisi tentang ‘Sifat Muhammadiyah’ yang diawali dengan, Menilik: a) Apa Muhammadiyah itu?, b)Dasar amal usaha Muhammadiyah, dan c) Pedoman amal usaha dan perjuangan Muhammadiyah, maka Muhammadiyah memiliki dan wajib memelihara sifat-sifatnya yang terjalin di bawah ini: 1) Beramal dan berjuang untuk perdamaian dan kesejahteraan, 2) Memperbanyak kawan serta mempersubur rasa ukhuwah dan kasih sayang, 3) Lapang dada dan luas pandangan dengan memegang teguh ajaran Islam, 4) Bersifat keagamaan dan kemasyarakatan, 5) Mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan-peraturan, serta dasar dan falsafah negara yang sah, 6) Amar ma’ruf nahi munkar dalam segala lapangan serta menjadi contoh teladan yang baik, 7) Aktif dalam arus perkembangan masyarakat dengan maksud ishlah dan pembangunan sesuai dengan ajaran Islam, 8) Bekerjasama dengan golongan Islam mana pun juga dalam usaha menyiarkan dan mengamalkan agama Islam dan membela kepentingannya, 9) Bekerjasama dengan segala golongan serta membantu pemerintah dalam memelihara dan membangun negara untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur yang diridhoi Allah, 10) Bersifat adil dan korektif ke dalam dan ke luar dengan kebijaksanaan. Itulah salah satu keputusan Muktamar Muhammadiyah setengah abad, yang monumental.
Persoalannya sekarang adalah, setelah Muhammadiyah berusia satu abad, apakah masih ada warga Muhammadiyah yang tahu dan paham tentang ‘Kepribadian Muhammadiyah’ itu. Mengingat, warga Muhammadiyah yang aktif saat ini —kemungkinan besar— adalah kelahiran tahun 1960-an. Yang ketika itu, masih usia anak-anak. Untuk itu, perlu digalakkan kembali pemberian dan pendalaman materi tentang ‘Kepribadian Muhammadiyah’ ini dalam setiap kegiatan pengajian, pengkaderan atau pelatihan-pelatihan yang dilakukan Muhammadiyah. Jangan sampai warga Muhammadiyah, terutama pimpinannya tidak tahu dan tidak paham tentang ‘Kepribadian Muhammadiyah’.(imron nasri)
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 15 Tahun 2015