Oleh: Sudarnoto Abdul Hakim, Wakil Ketua Majelis Dikti Litbang PP Muhammad dan Ketua Dewan Pakar Kornas Fokal IMM
Pekan ketiga Februari yang lalu Centre for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Jakarta bekerjasama dengan Konrad Adenauer Stiftung (KAS) menyelenggarakan workshop internasional di Tunis (Tunisia) dengan topik Religion and Democracy: Indonesian-Tunisian Exchange. Penulis diminta menjelaskan tentang Muhammadiyah dan peran pendidikan yang dikembangkan selama ini dalam kaitannya dengan nilai-nilai demokrasi.
Asumsi kuatnya, sebagai organisasi civil society Islam moderat tertua di Indonesia, Muhammadiyah berpengalaman panjang membangun dan memperkokoh nilai-nilai luhur seperti kejujuran, keadilan, kebersamaan, tolong menolong, keadaban, perdamaian, menjunjung tinggi martabat bersama, menghargai perbedaan dan sebagainya. Nilai-nilai atau prinsip tersebut sangatlah penting bagi upaya membangun sebuah masyarakat bangsa yang baik dan ideal dalam pengertian yang seluas-luasnya.
Nomenklatur yang biasa digunakan, sebagaimana yang disebut-sebut dalam Al-Qur’an, ialah Baldatun Thoyibatun wa Robbun Ghofur. Model idealnya tentu saja masyarakat dan negara Madinah saat dipimpin oleh Muhammad Rasulullah.
Sebagaimana banyak sarjana menyebut, sebetulnya tidak saja Muhammadiyah akan tetapi banyak gerakan Islam, aktivis dan pemikir Muslim yang menempatkan Madinah sebaga role model atau ideal type masyarakat dan negara muslim.
Bagi mereka Madinah adalah contoh sebuah masyarakat dan bangsa yang sangat progresif dalan pengertian menjangkau masa depan antara lain karena titik tekannya pada menghargai kemanusiaan dan ini merupakan bagian atau ekspresi historis dari kesadaran beragama.
Tak sedikit praktek kehidupan sehari-hari dan bahkan bernegara yang ternyata justru menghancurkan kemanusiaan dengan berbagai alasan atau motif. Contoh bangsa dan negara yang atas nama modernisasi, atas nama demokrasi dan bahkan atas nama agama dan tuhan yang ternyata malah melakukan kriminalisasi/viktimisasi juga jelas bisa ditemukan dalam sejarah. Ini adalah paradoks.
Modernisasi seharusnya berbasis kepada gagasan besar menciptkan kemajuan, kesejahteraan bersama dan keadilan dengan tetap menjunjung tinggi prinsip ajaran agama. Ini Theistic Modernization, tidak sekular, tidak hedonis materialistik dan apalagi kemudian diskriminatif dan memiskinkan banyak elemen masyarakat. Yang terjadi, banyak orang yang tersingkir dan terkorbankan secara sangat menyedihkan oleh kekuatan negara demi modernisasi. Tidak sedikit segmen masyarakat tertentu yang kemudian justru termarjinalkan atau teralienasi selama modernisasi berlangsung.
Sementara, tidak sedikit juga kalangan yang berkeyakinan bahwa modernisasi telah menjadi ideologi baru dan bahkan mengganti agama untuk menyelesaikan banyak masalah dan mengarahkan masa depan.
Demokrasi seharusnya juga bersemangat sama antara lain memberi ruang yang fair, yang sama, yang adil kepada masyarakat seluas-luasnya sehingga mereka benar-benar menjadi bagian penting dari masa depan, bisa menikmati kehidupan yang baik secara apapun, tidak terdiskriminasi.
Tingkat partisipasi masyarakat dalam mekanisme dan proses-proses politik memang harus maksimal, akan tetapi kehidupan dan kesejahteraan mereka harus memperoleh jaminan. Tingkat pendidikan mereka harus baik, hak-hak ekonomi mereka juga terpenuhi secara adil, hak-hak sosial masyarakat juga harus terlindungi.
Realitasnya, tak sedikit masyarakat yang tidak bisa menikmati kehidupan secara layak karena tak sedikit kalangan di parlemen dan birokrasi dan bahkan di berbagai lembaga yang tersedia tidak membela kepentingan bersama yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Demokrasi politik atau demokrasi prosedural menjadi alat penting untuk korupsi yang ekstensif dan kesewenang-wenangan.
Kemudian agama juga diturunkan bukan untuk tuhan tapi untuk umat manusia. Karena itu missi agama selalu untuk menyelamatkan umat manusia, untuk harmoni dan kedamaian. Nilai-nilai luhur disediakan agar umat secara universal tercerahkan. Namun realitasnya, banyak yang telah membajak keluhuran agama untuk berbagai kepentingan politik, ekonomi, kehormatan etnis dan dengan cara-cara brutal yang tidak bisa dipahami oleh nalar dan nurani waras.
Semua ini paradoks-paradoks yang harus dikikis dan dihentikan; masyarakat dan juga penyelenggara negara/pemerintah harus diingatkan agar tugas mulia memanusiakan manusia (humanize human) tetap ditegakkan.
Dalam tradisi pemikiran Islam, cita-cita atau keharusan membela kemanusiaan dan mengangkat derajat manusia memperoleh perhatian. Pembebasan budak yang dilakukan oleh Muhammad Rasulullah pada era formatif kerasulannya merupakan gambaran nyata (1) pentingnya kesederajatan (2) pembelaannya terhadap kedaulatan dan martabat manusia dan (3) keharusannya untuk memperkuat kohesifitas sosial melalui kebiasaan solidarity, empati, kepedulian.
Kemudian, dalam peperangan, misalnya, ada larangan keras membunuh perempuan, anak-anak dan kaum renta. Bahkan juga ada larangan menghancurkan sarana ibadah antara lain karena ini adalah tempat utama menunaikan ibadah sebagai salah satu prinsip penting HAM dan tempat berkumpul atau bertemunya banyak orang.
Menghancurkan tempat ibadah sama saja menghancurkan prinsip HAM dan kemanusiaan. Poverty reduction juga salah satu isu penting dalam pemikiran Islam, ekonomi dan politik yang memperoleh perhatian banyak sarjana dan juga aktivis dan praktisi.
Bahkan saat ini pemikiran Islam kontemporer tentang kesejahteraan (welfare) dan keadilan (equity, justice) sudah berkembang seiring dengan perkembangan dan dinamika masyarakat mendialogkan berbagai tradisi dan madzhab pemikiran yang ada. Intinya liberasi merupakan bagian fundamental dari Islam.
Seluruh nilai dan prinsip-prinsip di atas haruslah benar-benar menjadi kepedulian seluruh penyelenggara negara. Negara/pemerintah memang dibangun untuk itu. Puncak dedikasi dan kesadaran negara adalah kemanusiaan yang adil dan beradab, begitu salah satu sila dari Pancasila.
Sangat jelas missi kemanusiaan yang harus diemban oleh negara/pemerintah dengan tetap tidak mengabaikan peran strategis organisasi/gerakan civil society.