Oleh: Lutfi Effendi
Berdirinya rumah sakit-rumah sakit Muhammadiyah atau rumah sakit PKU Muhammadiyah di saentero Nusantara tak lain bibitnya adalah sebuah poliklinik yang dokternya dr. Somowidagdo asli Malang. Poliklinik kecil di Yogyakarta ini, berkembang menjadi gerakan kesehatan yang merupakan pilar gerakan Muhammadiyah selain gerakan pendidikan.
Pencetus poliklinik ini adalah Bahagian (sekarang Majelis) PKU (Penolong Kesengsaraan Umum) HB Muhammadiyah dibawah pimpinan Kyai Syuja’. Langkah ini termasuk dalam perencanaan tatkala Bahagian ini dibentuk pada tahun 1920, meski saat perencanaan adalah hospital (rumah sakit). Sebelum poliklinik berdiri, dokter Somowidagdo bertemu dengan Kyai Dahlan terlebih dahulu sebelum diijinkan menangani poliklinik kesehatan pertama milik Muhammadiyah.
Saat dikukuhkannya Bahagian PKU oleh Kyai Dahlan bersama Bahagian Sekolahan, Bahagian Tabligh dan Bahagian Taman Pustaka pada 17 Juni 1920, Kyai Syuja’ sebagai Ketua memprogramkan membangun hospital (rumah sakit), armenhuis (rumah miskin) dan weeshuis (rumah yatim) sebagai tafsir amali surat Al Maun.
Armenhuis dan poliklinik berhasil didirikan sebelum KHA Dahlan wafat, meski Kyai Dahlan tidak sempat menghadiri saat pembukaan kedua amal usaha tersebut karena sakit mejelang wafatnya. Paling tidak Kyai Dahlan sudah dapat membangun pondasi di bidang pendidikan dan di bidang kesehatan yang saat ini merupakan trademark Muhammadiyah.
Tentu menjadi kewajiban Kyai Suja’ untuk meneruskan bangunan gerakan kesehatan setelah Kyia Dahlan wafat pada tahun 1923. Padahal Kyai Suja’ sempat ditertawakan ketika Bahagian PKU ingin membangun Hospital, Armenhuis dan Weeshuis bahkan.
Untuk pembelaan diri atas tertawaan tersebut, Kyai Suja’ mengatakan bahwa dalam Al Qur’an masih tercantum surat Al Maun. Setiap hari surat ini menjadi bacaan di kala shalat, namun sampai saat itu belum ada umat Islam mengambil peran dalam mengamalkan intisari surat Al Maun.
Padahal, kata Kyai Syuja’, banyak orang di luar Islam (bukan orang Islam) yang sudah berbuat menyelenggarakan rumah-rumah panti ashuan untuk memelihara mereka si fakir miskin dan kanak-kanak yatim yang terlantar karena dorongan kemanusian. “Kalau mereka dapat berbuat karena berdasarkan kemanusiaan saja, maka saya heran sekali kalau umat Islam tidak dapat berbuat. Padahal agama Islam adalah agama untuk manusia, bukan untuk yang lain,” katanya, sambil menambahkan kalau mereka dapat berbuat kenapa kita tidak dapat berbuat?
Upaya untuk membangun impiannya terus dialakukan Kyai Syuja’, tahun 1924 Kyai Syuja’ menghadiri pembukaan poliklinik Muhammafiyah di Surabaya. Dokter yang menggiatkan poliklinik ini dokter Soetomo yang juga pendiri Budi Utomo.
Atas usaha PKU dibawah pimpinan Kyai Sujak, maka tahun 1938 telah berdiri RS PKU Muhammadiyah di jalan Ngabean (saat ini jalan KHA Dahlan), Panti Asuhan bagi putra di Lowano dan Panti Asuhan Putri di jalan Ngabean serta rumah miskin di Serangan Yogyakarta.
Meskipun telah berdiri rumah sakit Muhammadiyah, tetapi ternyata rumah sakit yang ada belum mampu menangani penyakit yang dideritanya. Ia harus dirawat di rumah sakit Katolik. Saat itu (tahun 1962) ia mempertanyakan: “Apakah kita orang Islam tidap dapat membuat rumah sakit sebesar ini?”
Saat ini, sejumlah rumah sakit Muhammadiyah telah berkembang menjadi kebanggaan masyarakat. Bahkan RS PKU Surakarta, tahun ini mendapat kepercayaan melahirkan keluarga Presiden Jokowi di tengah perkembangan rumah sakit lain yang modern di Kota Solo,
Rumah Sakit Muhammadiyah memang belum yang menjadi yang terbaik di Indonesia, tetapi sudah dipercaya oleh masyarakat. Mampukah impian Kyia Sujak untuk menjadikan rumah sakit Muhammadiyah sebagai tempat pengobatan segala penyakit yang ada di masyarakat? Tentu jawabannya ada pada penerus gerakan kesehatan saat ini, terlebih perkembangan teknologi kesehatan sangatlah pesat. Mampukah kita? (***)