Fatmawati (Nenek Puan), ayahnya bernama Hassan Din dan ibunya bernama Siti Chadidjah. Ayah dan Ibu Fatmawati ini merupakan aktivis Muhammadiyah. Sebelum memasuki usia sekolah, Fatmawati kecil ini telah menempa diri dengan “ngaji” belajar agama (membaca dan menulis Al-qur’an) pada sore hari baik kepada datuknya (kakeknya), maupun kepada seorang guru agama, di samping membantu mengurus pekerjaan orang tuanya. Semangat untuk belajar agama secara ekstra terutama di Sekolah Standar Muhammadiyah masih terus dilakukan meskipun sudah mulai memasuki sekolah di HIS (Hollandsch Inlandsch School) pada tahun 1930.
Ketika ibukota Republik Indonesia berpindah dari Jakarta ke Yogyakarta, Fatmawati sering mengikuti kegiatan Aisyiyah di Kauman Yogyakarta yang berseberangan jalan ke arah Selatan dengan Gedung Agung Yogyakarta (tempat tinggal resmi Presiden). Bagi Fatmawati, kegiatan semacam ini tidak asing baginya ketika masih tinggal di Bengkulu.
Selain, Soekarno dan Fatmawati yang pernah tinggal di Kampung Muhammadiyah juga Kakek Buyutnya Hassan Din dan Siti Chadidjah. Hassan Din adalah seorang Pengurus (pemimpin) organisasi Muhammadiyah cabang Bengkulu. Di samping, juga bekerja di Borsumij (Borneo – Sumatra Maatschappij), yaitu sebuah perusahaan swasta milik orang Belanda. Akan tetapi, ketika Hassan Din dihadapkan pada salah satu alternatif pilihan, beliau memilih keluar dari Borsumij, dan lebih memusatkan diri pada Muhammadiyah yang dipimpinnya. Sepasang suami-istri ini selanjutnya terlibat aktif dalam perserikatan Muhammadiyah.
Jadi wajar, jika kemudian Puan Maharani ingin merasakan pulang kampung. Tinggal kini, bagaimana sikap penghuni kampung apakah welcome atau menolak. Jika welcome tentu akan membuat Puan atau mungkin orang yang serupa Puan betah di Kampung Muhammadiyah dan menyesuaikan diri dengan suasana kampung. Tetapi jika menolak, bisa jadi hengkang dan tidak kembali lagi. Tinggal kini pilihannya ada pada penghuni Kampung Muhammadiyah. (***)