Oleh: Lutfi Effendi
“Saya merasa seperti pulang kembali ke kampung halaman keluarga besar Muhammadiyah”, kata Puan Maharani saat berbicara dalam acara Dialog Kebangsaan yang diselenggarakan Pimpinan Pusat (PP) ‘Aisyiyah di Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta (UNISA) Jumat (22/4/2016). Menurutnya, pertemuan itu dapat menyambung kembali hubungan kekeluargaan yang dahulu pernah terjalin.
Baca: Puan Maharani: Saya Rindu Muhammadiyah
Ketika seorang pulang kampung, ada yang senang dan ada pula yang tidak. Demikian pula ketika Puan Maharani yang juga Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) pulang kampong ke kampong Muhammadiyah.
Yang senang, menyambut gembira ternyata Puan masih ingat kampong leluhurnya. Yang nggak senang, sinis karena masih membawa budaya luar (cara berkerudungnya, misalnya) meski sudah berusaha menyesuaikan diri.
Padahal pesan terirat untuk pergi dan kembali ke kampung Muhammadiyah ini pernah secara khusus disampaikan kepada anak-anak muda Muhammadiyah oleh KHA Dahlan. Pesan tersebut adalah: “Muhammadiyah pada masa sekarang ini berbeda dengan Muhammadiyah pada masa mendatang. Karena itu hendaklah warga muda-mudi Muhammadiyah hendaklah terus menjalani dan menempuh pendidikan serta menuntut ilmu pengetahuan (dan teknologi) di mana dan ke mana saja. Menjadilah dokter sesudah itu kembalilah kepada Muhammadiyah. Jadilah master, insinyur, dan (propesional) lalu kembalilah kepada Muhammadiyah sesudah itu.”
Lalu adakah leluhur Puan yang dulu pernah menghuni Kampung Muhammadiyah? Yang paling dekat adalah kakek dan neneknya ( Ir Soekarno dan Fatmawati).
Sukarno sendiri merupakan murid pengajian Kyai Ahmad Dahlan. Ia mulai mengikuti pengajian KHA Dahlan pada umur 15 tahun. Tetapi resmi menjadi anggota Muhammadiyah baru ketika usia 38 tahun dan sempat menjadi pimpinan Muhammadiyah di Bengkulu. Meski sudah tidak aktif di kepengurusan Muhammadiyah dan kadang berseberangan dengan kebijakan Muhammadiyah tetapi ia minta jangan dipecat dari Muhammadiyah.
Bahkan Sukarno mempunyai keinginan ketika meninggal dihiasi dengan bendera Muhammadiyah. Pada tahun 1962 ia berkata, ”moga-moga saya diberi umur panjang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan jikalau saya meninggal, supaya saya dikubur dengan membawa nama Muhammadiyah atas kain kafan saya”.
Baca: Kala Soekarno Bertemu Kyai Dahlan
Fatmawati (Nenek Puan), ayahnya bernama Hassan Din dan ibunya bernama Siti Chadidjah. Ayah dan Ibu Fatmawati ini merupakan aktivis Muhammadiyah. Sebelum memasuki usia sekolah, Fatmawati kecil ini telah menempa diri dengan “ngaji” belajar agama (membaca dan menulis Al-qur’an) pada sore hari baik kepada datuknya (kakeknya), maupun kepada seorang guru agama, di samping membantu mengurus pekerjaan orang tuanya. Semangat untuk belajar agama secara ekstra terutama di Sekolah Standar Muhammadiyah masih terus dilakukan meskipun sudah mulai memasuki sekolah di HIS (Hollandsch Inlandsch School) pada tahun 1930.
Ketika ibukota Republik Indonesia berpindah dari Jakarta ke Yogyakarta, Fatmawati sering mengikuti kegiatan Aisyiyah di Kauman Yogyakarta yang berseberangan jalan ke arah Selatan dengan Gedung Agung Yogyakarta (tempat tinggal resmi Presiden). Bagi Fatmawati, kegiatan semacam ini tidak asing baginya ketika masih tinggal di Bengkulu.
Selain, Soekarno dan Fatmawati yang pernah tinggal di Kampung Muhammadiyah juga Kakek Buyutnya Hassan Din dan Siti Chadidjah. Hassan Din adalah seorang Pengurus (pemimpin) organisasi Muhammadiyah cabang Bengkulu. Di samping, juga bekerja di Borsumij (Borneo – Sumatra Maatschappij), yaitu sebuah perusahaan swasta milik orang Belanda. Akan tetapi, ketika Hassan Din dihadapkan pada salah satu alternatif pilihan, beliau memilih keluar dari Borsumij, dan lebih memusatkan diri pada Muhammadiyah yang dipimpinnya. Sepasang suami-istri ini selanjutnya terlibat aktif dalam perserikatan Muhammadiyah.
Jadi wajar, jika kemudian Puan Maharani ingin merasakan pulang kampung. Tinggal kini, bagaimana sikap penghuni kampung apakah welcome atau menolak. Jika welcome tentu akan membuat Puan atau mungkin orang yang serupa Puan betah di Kampung Muhammadiyah dan menyesuaikan diri dengan suasana kampung. Tetapi jika menolak, bisa jadi hengkang dan tidak kembali lagi. Tinggal kini pilihannya ada pada penghuni Kampung Muhammadiyah. (***)