Oleh; Mustofa W Hasyim*
Selama masih ada manusia yang percaya pada keabadian, maka buku masih akan terus ditulis dan dibaca
Selama masih ada manusia yang percaya pada harapan, maka buku akan masih terus ditulis dan terus dibaca
Selama masih ada manusia yang percaya dan mampu menikmati imajinasi, maka buku akan masih terus ditulis dan dibaca
Selama masih ada manusia yang percaya dan mau memperjuangkan kebenaran, kebaikan dan keindahan maka buku akan terus ditulis dan terus dibaca.
Selama masih ada manusia yang percaya, mau memperjuangkan dan menikmati cinta, maka buku-buku akan terus ditulis dan dibaca.
Itulah soalnya. Selalu ada optimisme dalam menulis dan membaca buku.
Ini ada pengalaman menariknya. Suatu hari penulis bertemu dengan Buya Ahmad Syafii Maarif yang dikenal jago mengritik kahanan atau keadaan dunia ini. Kritiknya amat tajam dan dalam serta terus terang, sampai-sampai terkesan kalau beliau ini bersikap pesimis menghadapi hidup. Penulis langsung mengimbangi pesimisme bahwa kehidupan ini sudah amat sangat bobrok dengan kadar kebobrokan nyaris sempurna ini dengan memberikan kisah segar. “Buya, beberapa tahun ini saya ketemu dengan anak-anak muda berbagai kota yang minta dilatih menulis. Mereka bersemangat dan memang kemudian mampu menulis. Nah, selama masih ada anak muda yang mau menulis saya tetap optimis, kehidupan ini dapat diselamatkan dan ditolong,” kata penulis. Buya pun mengangguk-angguk, membenarkan.
Ya, buku adalah teks, dan watak dasar serta ‘kesaktian dasar’ sebuah teks adalah mampu melompati dan melampaui waktu. Inilah rahasia kenapa inti ajaran agama manifestasinya berupa kitab suci, berupa teks-teks suci. Teks-teks suci yang kandungannya mampu mengatasi kesementaraan, mampu melompati titik-titik kefanaan manusia untuk membentuk peta gaib dan peta kesadaran pada kehidupan yang abadi. Dan para penulis buku, mulanya dan dulunya adalah ingin ‘meniru’ atau membuat bayang-bayang penjelas dari teks-teks suci itu. Inilah mengapa Imam Al Ghazali menulis kitab Ihya’ ulumuddin, yang menurit riwayat kitab itu ditulis saat beliau berada pada puncak kesadaran dan pengalaman spiritualnya, yang ketika mengangkat wajahnya tampak masa depan kehidupan ini, dan ketka menundukkan wajah tampaklah masa silam kehidupan ini. Dengan menggabungkan pengalaman mengangkat wajah dan menundukkan wajah maka dibuatlah adonan teks berupa kitab Ihya’ yang sampai hari ini masih terus dipelajari dan digali makna-maknanya.
Ya, buku adalah simbol paling otentik dari masih adanya harapan manusia. Proses penulisan sebuah buku menyiratkan akan hal itu. Paling tidak, ketika seseorang menulis ia punya harapan besar, bukunya dibaca orang lain. Ia masih punya harapan dan percaya kalau orang lain masih mau diajak berkomunikasi lewat karya tulisnya. Ia berpengharapan agar apa yang ia tulis itu sampai kepada pembacanya. Inilah mengapa Tuhan dalam sebuah ayatnya mengatakan bahwa orang yang berilmu akan ditinggikan terajatnya. Tentu saja derajat itu kan makin tinggi dan awet derajat ketinggian ilmunya kalau orang yang berilmu mau menulis. Menulis buku. Dan pengalaman hari ini membuktikan, ketinggian derajat dan ilmu seseorang antara lain diukur dari berapa banyak buku yang ditulisnya.
Buku juga memiliki ‘kesaktian dasar’, membebaskan manusia dari kehidupan sehari-hari yang sumpek, menyesakkan dan menyebalkan ini. Caranya, buku bermain pada wilayah imajinasi manusia. Buku tercipta dan menciptakan sebuah dunia alternatif dari kehidupan sehari-hari, karena buku berangkat dari konstruksi imajinair. Memang basis materi buku adalah realitas atau fakta-fakta hidup dan kehidupan, tetapi realitas atau fakta saja tidak mencukupi. Diperlukan konstruksi imajinair untuk mengolah dan menulis fakta-fakta itu menjadi kata, kalimat, paragraf, bab, dan buku, lengkap dengan segala asesories visual dan verbalnya. Tentu saja konstruksi imajinair itu tidak hanya berlaku pada penulisan sastra saja. Untuk menulis buku nonfiksi pun gairah berimajinasi, tetapi imajinasi rasional atau semacamnya tetap diperlukan. Yang penting, buku akan terus dihadiirkan selama manusia membutuhkan dunia alternatif semacam itu.
Ini semua erat kaitannya pada hakikat ‘kesaktian dasar’ buku yang berikutnya. Yaitu, buku mampu menghantarkan manusia untuk memasuki alam kebenaran (betapapun kebenaran itu relatif, menuju pada kebenaran mutlak), buku juga mampu menghantar manusia memasuki alam kebaikan (gugus-gugus kebajikan manusia dapat disebarkan oleh sebuah buku dan banyak buku), dan buku pun mampu menghantarkan manusia pada dunia keindahan (termasuk keindahan dari kebenaran dan keindahan dari kebaikan). Ketiga perlengkapan nilai-nilai luhur kehidupan inilah yang diharapkan berfungsi ketika manusia menulis dan membaca buku, kemudian mengapresiasi manusia lain, masyarakat, bangsa, negara dan dunia. Dengan demikian, manusia yang menulis dan membaca buku diharapkan sekaligus mampu memproduksi kebenaran, kebaikan dan keindahan hidup itu sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Karena kita masih percaya pada hakikat, manfaat dan pentingnya makna kebenaran, kebaikan dan keindahan dalam hidup maka hampir dipastikan akan selalu ada manusia yang menulis dan membaca buku.
‘Kesaktian dasar’ penting lain dari sebuah buku adalah buku itu dapat menjadi sumber cinta, medium cinta, produk cinta, ekspresi cinta dan buku dapat merupakan bayangan cinta atau malah gizi cinta itu sendiri. Termasuk cinta pada kehidupan, Tuhan, sesama manusia, keluarga, tetangga, masyarakat, bangsa dan negara. Kebanyakan buku ditulis dengan dasar semangat untuk mencintai kehidupan, bukan semangat untuk membenci kehidupan. Ketika muncul dialektika, bahwa buku mencipakan penulis dan penulis menciptakan buku lalu berproses bolak-balik seterusnya, maka pada hakekatnya di tengah dialektika itu yang dominan berengaruh adalah cinta. Mirip dalam rumah tangga, dialektika suami menciptakan isteri dan isteri menciptakan suami, suami isteri menciptakan anak-anak dan anak-anak menciptakan suami-isteri pun unsur atau ruh cinta sangat dominan..Dan sebagai sumber cinta, medium cinta, produk cinta, ekspresi cinta, bayangan cinta dan gizi cinta maka bagi penulis dan pembacanya buku pun dapat memperpanjang umur. Umur manusia, bangsa, juga umur negara dan masyarakat.
Jadi selama dalam tubuh bangsa dan masyarakat masih ada yang suka menulis dan membaca buku maka bangsa dan masyarakat itu masih ada harapan akan hidup lama. Kalau dalam tubuh bangsa dan tubuh masyarakat sudah tidak ada lagi yang mau menulis dan membaca maka pada hakektnya jatah umur bangsa dan masyarakat pun telah habis. Karena itu berterimakasihlah pada penulis buku, pembaca buku, penerbit, penjual buku. Jangan campakkan mereka meski kita sibuk hidup dan mempertahankan hidup di tengah industrialisasi global dan globalisasi industri yang menakutkan ini.
——————————————————–
* Anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta, penulis dan editor bukum Anggota Divisi Sastra Lembaga Seni Buaya dan Olah Raga PP Muhammadiyah..