Pemurtadan itu Dosa Kita Semua

Pemurtadan itu Dosa Kita Semua

Oleh Isngadi Marwah Atmadja

Ada seorang keluarga Muslim yang cukup taat namun miskin. Pada suatu hari salah seorang anggota keluarga itu sakit keras dan harus dirawat di rumah sakit dan memerlukan dana cepat dalam jumlah yang sangat besar, apabila dana itu tidak ada, keselamatan jiwa si sakit akan terancam. Dia sudah pusing mencari bantuan ke saudara-saudaranya sesama Muslim. Namun, bantuan itu tidak didapat.

Akhirnya, datang bantuan dari lembaga gereja, tanpa syarat dan tidak perlu dikembalikan. Bahkan, dia dan keluarga juga dibina ekonominya. Akhirnya, sebagai orang timur dia cukup tahu diri. Dia minta dibaptis menjadi anggota gereja.

Kita mungkin bisa mengatakan mereka telah berdosa karena tidak kuat menahan cobaan dari Allah SwT. Tetapi benarkah kita juga tidak akan dituntut tangungjawab yang sama atas terjadinya peristiwa ini?

Kalau memakai kacamata fardlu kifayah, kita semua (seluruh umat Islam) harus menanggung dosa yang sama, apabila peristiwa seperti itu harus terjadi.

Mengurus jenazah orang Muslim dihukumi sebagai fardlu kifayah karena orang muslim yang sudah menjadi jenazah itu tidak lagi bisa mengurus dirinya sendiri. Beban pengurusan jenasah juga tidak dibebankan hanya pada keluarga mayat, tetapi kepada seluruh Muslim. Keluarga yang terpaksa murtad itu mungkin dapat dikatakan dalam kondisi yang juga sudah tidak dapat mengurus diri mereka sendiri juga.

Sebagai agama, Islam banyak mengajarkan kepada pemeluknya untuk peduli pada sesama. Memanglah tepat kalau Islam dikatakan sebagai agama yang diturunkan oleh Allah untuk menjawab budaya jahiliyah.

Peradaban jahiliyah yang menyandarkan dirinya kepada hukum rimba yang serba mengandalkan kekuatan dan kekuasaan fisik yang serba kasar dan buas, mendapat imbangan dari ajaran Islam yang menyandarkan diri pada kekuatan iman yang aplikatif.

Di dalam Al-Qur’an hampir tidak ada penyebutan iman yang tidak diikuti dengan kata amal shalih

Saat ini di kalangan umat Islam kepedulian sesama ini dapat dikatakan mulai agak memudar. Kita sudah merasa cukup beramal dan merasa sudah menjadi dermawan dengan memasukkan uang pecahan paling kecil yang ada di dompet kita dalam kota amal masjid setiap shalat jum’at.

Namun, kenyataannya kita semua lebih suka menuding lembaga gereja itu kaya dan mampu melakukan amal karena didanai oleh donatur atau lembaga luar negeri.

Tetapi apakah kita pernah berderma secara layak. Kalau benar dana itu dari luar negeri itu juga berasal dari sumbangan-sumbangan pribadi dari pemeluk agama itu. Lantas kalau mereka bisa menyumbang mengapa kita yang menjadi mayoritas di negeri ini tidak bisa? Jangan-jangan uang kita malah lebih ringan kita gunakan untuk membuat spanduk partai atau menyuap petugas haji agar kita bisa berangkat ke tanah suci tanpa harus antri.

 

Exit mobile version