Keangkuhan Ahli Ibadah

Keangkuhan Ahli Ibadah

Foto Dok Ilustrasi

Syeikh Sa’adi berkisah tentang dirinya yang merasa paling zuhud dalam beribadah. Ketika masih muda, suatu malam dia membaca Al-Quran dan mengerjakan shalat malam di hadapan ayahnya. Malam itu orang-orang di sekitarnya tertidur lelap. Sa’adi lalu berguman dengan bangga, “Tidak seorang pun di antara orang-orang itu yang memgangkat kepalanya untuk shalat. Mereka terlalu cepat terlelap dalam tidur seolah mereka mati”.

Ayahnya mendengar ucapan Sa’adi. Dengan penuh kasih dan edukasi, sang ayah menasihati Sa’adi, “Wahai anakku, lebih baik engkau juga tidur bila tidak ada lagi yang dapat engkau kerjakan selain mencari kesalahan orang lain”.

Sa’adi menyadari, betapa dirinya terlalu bersemangat salam beragama, sambil menganggap orang lain tidak seperti dirinya. Inilah kisah teladan untuk menjadi ibrah, yang dituliskan oleh Ibrahim Khan dalam Annecdots From Islam.

Sungguh baik dan berpahala muslim yang taat melaksanakan shalat wajib, menunaikan shalat malam hingga rajin berpuasa sunnah seperti puasa Daud dan Senin-Kamis. Hal itu menunjukkan spirit ber-Islam yang tinggi.

Namun bersamaan dengan itu penghayatan atas nilai, makna, dan fungsi ibadah yang berintensitas tinggi itu sama pentingnya. Setiap ibadah itu esensinya membawa si pelaku untuk bertaqarrub kepada Allah. Semakin tinggi frekuensi ibadahnya  kian dekat dengan-Nya. Kedekatan dengan Allah itu justru harus melahirkan kesalihan yang melampaui, bukan sekadar formalitas dan rukun belaka.

Mereka yang taat beribadah dan senantiasa taqarrub kepada Allah akan menjadi pribadi-pribadi yang jujur, terpercaya, baik, tawadhu’, kata sejalan tindakan, dan berakhlak mulia dalam keadaan apapun. Sebaliknya tidak menjadi pribadi yang kasar, suka meneror, pendusta, sembarangan, menghalalkan segala cara, dan perilaku yang madhmumah atau tercela. Termasuk tidak sombong diri dan merasa paling suci atau paling Islami seperti dikisahkan oleh Syeikh Sa’adi.

Orang-orang yang rajin beribadah juga harus menyebarkan amal kebajikan yang rahmatan lil-‘alamin di muka bumi. Nabi membawa misi Islam sebagai rahmat bagi semesta alam (QS Al-Anbiya: 107). Mereka yang merasa rajin beribadah harus lurus dan bersih amal shalehnya. Kalau menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar harus dengan cara yang ma’ruf dan tidak boleh dengan cara yang munkar. Perbuatan kekerasan termasuk menyebar teror dan tindakan teror, meski atasnama agama, tidak mencerminkan pribadi yang membawa rahmat bagi semesta alam.

Jangan merasa seolah hanya diri satu-satunya yang memiliki dan dekat dengan Allah, lalu dengan mudah menganggap orang lain jauh dari Allah. Kalau rajin bertahajud, tidak perlu memamerkan diri sebagai ahli tahajud. Kalau rajin sahalat berjamaah tak perlu menampak-tampak diri sebagai ahli shalat jamaah. Bila rajin berpuasa tak perlu menunjukkan sebagai ahli puasa. Lebih-lebih merasa diri paling dekat dengan Allah, paling shaleh, dan paling berislam.

Kalau mengajak orang lain taat beribadah pun tak perlu dengan perasaan diri sebagai ahli ibadah dan memandang orang lain dengan sikap takabur hati. Allah berfirman, yang artinya: “Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An-Najm: 32).

Nabi Muhammad memberi contoh teladan terbaik  (QS Al-Ahzab: 21) dan beliau sungguh berakhlak agung (QS Al-Qalam: 4). Nabi akhir zaman bersabda, yang artinya: “Akan keluar dari umatku beberapa kaum yang keras lagi kasar, lisan-lisan mereka fasih membaca Al-Quran, namun tidak sampai ke tenggorokan mereka.” (HR. Ahmad). Semoga para ahli ibadah tetap rendah hati dan menjadi sosok shaleh yang sejati. **A Nuha

Exit mobile version