Perpustakaan, Simbol Tradisi Membaca dalam Islam
Oleh Ajib Purnawan
SUARA MUHAMMADIYAH – Istilah perpustakaan selalu identik dengan buku yang berjajar rapi menurut klasifikasinya. Perpustakaan merupakan gudang ilmu yang terbilang murah di tengah mahalnya harga buku-buku. Memang ada perpus yang mengenakan tarif, tapi itu tidak terlalu besar dan hanya sekali bayar pada saat registrasi. Kita kenal perpus sekolah, perpus desa, perpus daerah, perpus universitas hingga perpus pribadi. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perpus kini tidak hanya dalam bentuk buku saja, namun sudah berbentuk digital. Keberadaan perpus tidak berdiri sendiri dan selalu erat dengan produksi buku-buku. Perpus yang kita kenal saat ini adalah tempat koleksi buku, tempat mencari informasi, dan sekaligus sistem peminjaman buku.
Pertumbuhan Perpustakaan
Cikal bakal lahirnya perpustakaan dalam peradaban Islam sebenarnya sudah ada semenjak aktivitas pengumpulan mushaf Al-Qur’an pada masa Khalifah Abu Bakar (2 H). Kegiatan tersebut dilanjutkan Usman bin Affan yang berhasil membukukan Al-Qur’an. Aktivitas pengumpulan dan pembukuan Hadits terjadi saat Umar bin Abdil Aziz memimpin Bani Umayyah. Namun karya-karya besar tersebut belum disimpan dalam sebuah tempat khusus atau perpus yang bisa diakses oleh umum, baru orang-orang penting yang punya hak membacanya. Hal ini dilakukan denga berbagai pertimbangan, misalnya akan terjadi pemalsuan Qur’an ataupun Hadits.
Perpus pertama dalam Islam dapat dijumpai pada masa kekhalifahan Bani Umayyah. Perpus yang terkenal pada masa itu terletak dalam masjid Agung Umayyah. Akses perpus masjid ini terbatas pada umat Islam, sedangkan umat beragama lain tidak bisa mengaksesnya.
Perpus besar Islam pertama adalah Baitul Hikmah yang didirikan pada awal abad IX M oleh Khalifah Harun. Suatu lembaga menyerupai universitas yang bertujuan untuk membantu perkembangan belajar, mendorong penelitian, dan mengurusi terjemahan teks-teks penting, semisal karya-karya Yunani klasik. Baitul Hikmah telah mendatangkan efek yang penting bagi kehidupan intelektual waktu itu serta menjadi referensi umum. Selain Baitul hikmah, masjid-masjid di kota Baghdad dilengkapi dengan perpustakaan. Di Shiraz juga terdapat perpus yang mulai menggunakan klasifikasi buku berdasarkan tempat asalnya. Riwayat perpustakaan di Baghdad menurut keterangan para sejarawan berakhir setelah bangsa Tartar menyerang Baghdad.
Dalam waktu yang hampir bersamaan, di Mesir juga berdiri perpustakaan Bani Fathimiyah. Begitu juga di Spanyol yang waktu itu berada di bawah kekhalifahan Umayyah Barat. Dengan demikian, tiga Dinasti Islam (Abbasiyah, Umayyah Andalusia, dan Fathimiyah) merupkan generasi awal umat Islam yang memiliki perpus besar.
Dalam perkembangannya, perpus dibagi menjadi dua jenis, yaitu perpus umum dan perpus khusus. Sejarah peradaban Islam mencatat sedikitnya ada lima perpus umum dan perpus khusus yang memiliki nilai sejarah.
Perpustakaan Umum
Perpustakaan Baitul Hikmah di Baghdad, didirikan oleh Harun Ar-Rasyid dan mencapai kemajuan pada masa Al-Makmun. Perpus ini lebih menyerupai sebuah universitas yang di dalamnya banyak terdapat buku. Sebagaimana fungsi perpus pada umumnya, di perpus ini orang-orang berkumpul untuk berdiskusi, muthala’ah dan menyalin buku. Di situ terdapat penyalin dan penerjemah buku-buku yang diperoleh Ar-Rasyid dan Al-Makmun dalam penaklukan atas Ankara, Amuria, dan Cyprus.
Ibnu Nadim bercerita bahwa telah terjadi surat-menyurat (korespondensi) antara Al-Makmun dan raja Romawi yang pernah dikalahkan dalam peperangan. Di antara syarat perdamaiannya, salah satunya adalah agar raja Romawi memperbolehkan buku-bukunya diterjemahkan oleh para ulama yang dikirim Al-Makmun. Al-Makmun memandang bahwa harga kemenangannya tidak lebih mahal dari buku-buku ilmu pengetahuan yang diwariskannya kepada putera-putera umat dan negerinya.
Perpustakaan Khalifah Dinasti Fatimiyah di Kairo, merupakan perpus umum yang paling terkenal. Perpus ini berisi mushaf-mushaf dan buku-buku yang sangat berharga. Jumlah koleksinya mencapai 2.000.000 eksemplar. Perpus Darul Hikmah di Kairo, didirikan oleh Al-Hakim Biamrillah. Mulai dibuka pada 10 Jumadil Akhir tahun 395 Hijriah. Koleksinya berupa buku-buku yang dikoleksi oleh raja sensiri. Perpus ini punya 40 lemari, bahkan ada salah satu lemari yang memuat 18.000 buku tentang ilmu-ilmu warisan Mesir Kuno.
Di Kordova terdapat perpustakaan Al-Hikmah. Perpustakaan ini merupakan perpus yang sangat luas dan besar untuk ukuran di zamannya. Koleksi bukunya mencapai 400.000 buah. Katalog-katalog buku di perpus ini sangat teratur dan teliti, sehingga sebuah katalog khusus diwan-diwan syi’ir yang ada di perpus ini mencapai 44 bagian, selain itu terdapat juga para penyalin buku dan penjilid-penjilid buku yang mahir.
Perpustakaan Bani Ammar di Tripoli, merupakan salah satu lambang keagungan dan kebesaran. Terdapat 180 penyalin yang menyalin buku-buku, mereka bekerja secara bergiliran siang dan malam supaya penyalinannya tidak terhenti. Begitu gemarnya Bani Ammar mengoleksi buku-buku langka dan baru, sehingga mereka mempekerjakan orang-orang pandai dan pedagang-pedagang untuk menjelajah negeri-negeri dan mengumpulkan buku-buku bermutu dari wilayah asing. Jumlah koleksinya kurang lebih satu juta buah.
Perpustakaan Khusus
Perpustakaan khusus, atau perpus-perpus pribadi, berada di setiap negeri di kawasan Timur dan Barat dunia Islam. Amat jarang didapati seorang ulama yang tidak punya perpustakaan berisi koleksi buku. Perpus pada masa peradaban Islam dahulu, antara lain Perpustakaan Al-Fath bin Khaqan (terbunuh pada 247 H). Al-Fath memiliki perpusyang begitu luas, beliau mengamanatkan pengumpulan buku-bukunya kepada seorang ulama dan sastrawan pilihan pada masanya, yaitu Ali bin Yahya Al-Munjim. Di perpustakaannya terkumpul buku-buku hikmah yang sama sekali belum pernah dihimpun di perpus hikmah sendiri.
Kemudian Perpustakaan Ibnu Khasyab. Ibnu Khasyab (wafat tahun 567 H) ialah orang paling ahli terhadap nahwu (gramatika Arab). Pengetahuannya tentang tafsir hadits, logika (manthiq) dan filsafat amat luas. Kegemarannya ini memaksanya menempuh jalan tidak terpuji dalam mengumpulkan buku.
Perpus Jamaludin Al-Qifthi (wafat tahun 646 H), Beliau mengumpulkan buku-buku yang tidak bisa digambarkan, perpustakaannya selalu dituju orang-orang dari berbagai penjuru, karena mengharapkan kedermawanannya. Beliau tidak mencintai dunia selain buku-bukunya. Beliau mewakafkan dirinya untuk buku-buku, dan mewasiatkan perpustakaannya yang bernilai lima puluh dinar kepada An-Nashir.
Perpus Bani Jaradah Al-Ulama di Haleb, salah seorang dari bani tersebut Abu Hasan bin Abi Jaradah (548 H) menulis dengan khatnya buku-buku berharga sebanyak tiga lemari. Satu lemari untuk anaknya, Abu Barakat, dan satu lemari untuk anaknya, Abdullah.
Berita mengenai perpus pada masa kebudayaan Islam Klasik di atas sampai kepada generasi sekarang melalui buku. Sehingga perpus mempunyai fungsi sebagai pelestari dan sumber informasi kebudayaan pada masa lampau. Para pemimpin pada masa itu memberikan perhatian secara khusus kepada orang orang yang mempunyai kemampuan menulis dan kegemaran membaca. Mereka diberikan kebebasan berekspresi melalui karya-karyanya. Sehingga waktu itu lahir tokoh tokoh terkenal seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Sina dan empat orang imam madzhab. Para Khalifah amat memperhatikan keberadaan sebuah buku. Meskipun saat itu terdapat buku yang kontroversial, namun tidak ada kisah yang menyatakan bahwa khalifah pernah membakar buku. Karena mereka menyadari bahwa dengan bukulah pendidikan bisa dijalankan.
Untuk mengembangkan perpus, fasilitas penelitian dan penerbitan juga diperhatikan. Jangan dibayangkan buku yang ada di perpustakaan masa lalu itu sama dengan sekarang. Bentuk buku pada waktu itu belum sepraktis seperti sekarang. Meskipun kertas sudah ditemukan, ada yang meriwayatkan masih ada beberapa buku dibuat dari lontar. Dengan demikian, keberadaan perpus dan aktivitas penulisan mengharuskan khalifah mengembangkan teknologi pengolahan kertas.
Keberadaan perpus Islam pada masa lalu baru dikembangkan kembali pada abad 20. Terutama yang menyangkut klasifikasi, gerakan penulisan, dan pengumpulan koleksi-koleksi dari umat Islam yang pernah hilang. Beberapa di antaranya dapat ditemukan di perpustakaan-perpustakaan Barat, seperti di Universitas Leiden. Aktivitas seperti itu perlu kita dukung demi mengembalikan kejayaan tradisi membaca di kalangan umat Islam.
Ajib Purnawan, Kabid Keilmuan DPD IMM DIY