Oleh; H.M. Amien Rais
Muhammadiyah itu tetap dan masih pantas untuk mengklaim dirinya sebagai gerakan tajdid. Namun dengan syarat, yaitu tidak malas berfikir dan selalu bersedia berubah sesuai dengan tuntutan zaman lewat sebuah ijtihad yang serius berhubung masalah-masalah yang muncul pada zaman Muhammadiyah lahir, seabad yang lalu, kini sudah berubah, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Sekarang ini, dunia, termasuk dunia Islam, menghadapi masalah-masalah yang sebad lalu tidak terbayangkan. Yaitu pertama, masalah climate change atau perubahan iklim yang sangat mendasar. Kedua, kehancuran ekologi yang juga sepertinya tidak dapat dihentikan. Ketiga, krisis pangan dan sekaligus juga krisis energi. Tidak kalah pentingnya harus disebutkan krisis akhlak, krisis moral, krisis kemanusiaan, di mana pada awal abad ke 21 ini, dunia menyaksikan begitu murahnya nyawa manusia.
Nah, masalahnya Islam itu menyuruh umatnya untuk berada di depan, menjadi umat pertengahan, menjadi umat referensi, menjadi umat rujukan, untuk memecahkan masalah-maalah peradaban yang demikian pelik itu. Sekarang, Muhammadiyah kadang-kadang sudah nampak ketinggalan langkah, untuk tidak mengatakan ketinggalan zaman, namun tradisi ijtihad di Muhammadiyah, tradisi pembaruan, keadrengan untuk tetap berada di depan sebagai lokomotif perubahan, insya Allah masih bersemanyam di banyak kalangan pimpinan Muhammadiyah. Oleh karena itu Muhammadiyah masih boleh mengatakan dirinya sebagai gerakan tajdid, tetapi dengan syarat, yaitu terus melakukan ijtihad, jangan malas berfikir, jangan mandeg, dan juga harus responsif terhadap perubahan-perubahan yang diperlukan.
Sekarng ini ada masalah yang sangat strategis. Kalau Muhammadiyah ingin menjadi pelopor membangun peradaban utama, maka kunci-kunci peradaban masa depan harus di tangan Muhammadiyah. Terus terang, dengan rendah hati harus dikatakan, bahwa kunci-kunci strategis, kunci-kunci utama itu, tidak berada di tangan Muhammadiyah. Selama ini, Muhammadiyah lebih banyak berada di belakang. Muhammadiyah kadang-kadang sering menjadi penonton yang patuh.
Yang dimaksud adalah bahwa kunci-kunci ekonomi, finansial, perbankan, kehutanan, pertanian, pertambangan, bahkan kunci-kunci pendidikan, teknologi, dan lain-lain, tidak berada di tangan Muhammadiyah. Dengan kata lain, Muhammadiyah tidak ikut memegang kunci-kunci itu bersama anak bangsa yang lain. Bagaimana eksploitasi kekayaan nasional yang seolah-olah tak terbatas itu sama sekali di luar tangan umat Islam dan Muhamamdiyah. Umumnya berada di tangan orang-orang asing. Umumnya berada di kelompok-kelompok lain, bahkan kadang-kadang dikuasai kelompok-kelompok yang tidak suka dengan kegiatan dakwah Muhammadiyah.
Kita perlu sedikit melek dan sedikit terjaga dari tidur kita yang selama ini sudah lumayan lelap. Maksudnya, jangan sampai kita bicara terlalu muluk, bicara di alam mimpi, sementara kenyataannya kita ini mengalami marginalisasi atau proses peminggiran, baik secara sosial, ekonomi, iptek, dan dimensi kehidupan modern yang lain.
Karena itu, sesungguhnya, para pimpinan Muhammadiyah, kaum cendekiawan, para ulama, para tokoh yang mampu membaca tanda-tanda zaman, sebaiknya duduk bersama-sama untuk melakukan beberapa hal penting. Pertama, tokoh-tokoh Muhammadiyah, kalau perlu ditambah dengan para ahli dari luar, mencoba melakukan identifikasi permasalahan-permasalahan fundamental pada abad 21 ini. Kedua, apa dampak permasalahan-permasalahan global itu bagi bangsa Indonesia yang menghuni nusantara ini. Ketiga, bagaimana nasib rakyat Indonesia, termasuk umat Islam, dalam menghadapi perubahan-perubahan global yang demikian cepat, yang kadang-kadang kita ini sekedar menjadi obyek dan tidak berhasil sama sekali menjadi subyek.
Dari potret yang lebih kurang obyektif itu, maka kemudian kita mencari peran apa yang bisa kita lakukan sebagai anak bangsa, bersama anak bangsa yang lain, untuk membangun masa depan negeri ini. Kalau identifikasi masalah relatif sudah tergambar, kemudian kita ukur kekuatan Muhammadiyah secara obyektif, maka baru disusun semacam langkah-langkah stretegis maupun langkah-langkah taktis untuk menggapai tujuan Muhammadiyah. Dengan cara demikian, kita punya roadmap atau “peta jalan” guna menyongsong masa depan yang penuh tantangan itu. Tidak boleh kita hanya berfikir normatif, berfikir global, berfikir garis besar saja, kemudian mampu melakukan anticipation of change atau antisipasi perubahan tetapi gagal dalam menemukan management of change atau manajemen perubahan.
Alangkah baiknya, lewat pertukaran pemikiran yang intens itu, kemudian ada semacam blueprint atau “cetakbiru” bagi pimpinan Muhammadiyah yang akan datang, untuk secara bertahap melakukan pembaruan-pembaruan pada tingkat praksis atau kerja nyata. Jadi, inilah yang saya inginkan. Kita tidak perlu sedikitpun untuk merasa rendah diri, karena kita pernah menjadi kelompok pioner, kelompok pelopor pembaruan di negeri ini, maka kita punya modalitas atau bahan-bahan yang cukup untuk tegak kembali mencari posisi di depan, dalam rangka menggerakkan umat dan bangsa ini, ke arah masa depan yang diridlai Allah subahanu wa ta’ala. (rif)