SUARA MUHAMMADIYAH—Membangun perguruan tinggi berkelas internasional di Indonesia tidaklah mudah. Halangannya, menurut Prof Dr Azyumardi Azra dari UIN Jakarta, selain internal institusi juga kebijakan pemerintah yang sering menghambat jalan menuju ke arah perguruan tinggi yang unggul atau excellence. Karenanya, jika Muhammadiyah menginginkan membangun perguruan tinggi yang demikian diperlukan pimpinan perguruan tinggi yang berpikir out of the box.
Hal ini dibenarkan oleh Prof Dr Syafri Sairin pengajar di Universitas Malaya Malaysia. Menurutnya, banyak MoU kerjasama internasional yang telah ditandatangani oleh institusi gagal terlaksana karena tidak adanya individu yang mengeksekusi, termasuk di perguruan tinggi negeri ternama di Indonesia. Karenanya, selain hubungan antar institusi juga harus ada hubungan individu antar institusi tersebut.
Sejumlah perguruan tinggi Muhammadiyah yang maju saat ini memang dipimpin oleh orang-orang yang berpikir out of the box tidak terkungkung oleh lingkungan dan aturan. Orang sering mengatakan pimpinan yang “gila”. “Saya dulu sering dikatakan “gila”, ketika membuat terobosan-terobosan saat memimpin perguruan tinggi,” kata Azyumardi Azra.
Pimpinan-pimpinan yang demikian mampu membuat terobosan-terobosan baru tetapi tanpa melanggar aturan yang ada. “Pemimpin yang mampu membaca momentum dan memanfaatkan momentum terebut,” kata Prof Malik Fadjar, mantan Menteri Agama dan Menteri Pendidikan.
Menurut Malik Fadjar, Muhammadiyah punya potensi untuk berbuat yang demikian. Kiai Dahlan sejak lama mengajarkan untuk terus beramal. Ini berarti pimpinan amal usaha, termasuk perguruan tinggi Muhammadiyah, harus terus bekerja untuk menjadikan amal usaha yang dipimpinnya menjadi unggul. Tetapi Malik Fadjar mengingatkan agar tetap melalui prosedur yang ada.
Tetapi ini tentu tidak mudah, mengingat peringkat perguruan tinggi Muhammadiyah tidak semua mendukung langkah-langkah untuk menjadi unggul ini. Ini bisa dilihat dari 1096 program studi yang dimiliki Muhammadiyah baru 69 (6,3 persen) yang terakreditasi A. Lainnya, 550 atau 50,2 persen terakreditasi B dan 477 atau 43,5 persen terakreditasi C.
Umumnya, kendala untuk menjadi perguruan tinggi, termasuk perguruan tinggi Muhammadiyah, yang unggul ini kendalanya adalah sumber daya manusia (SDM) yang tidak memadai, baik dari segi jumlah maupun kuantitas. Terutama di luar Jawa. Ini dibenarkan oleh Prof Dr S M Widiastuti dari BAN PT bahwa ada kesenjangan antara perguruan tinggi di Jawa dengan luar Jawa.
Karenanya, menurut Wakil Ketua Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) PP Muhammadiyah Prof Dr Edy Suandi Hamid, majelis akan berusaha meningkatkan sumber daya manusia yang dimiliki perguruan tinggi Muhammadiyah. Majelis akan melayani PTM dan perguruan tinggi ‘Aisyiyah (PTA) agar PTM/PTA menjadi perguruan tinggi yang unggul.
Aksi pembinaan dan pengembangan SDM ini, menurut Suandi Hamid, untuk meningkatkan kualitas dosen dan tenaga kependidikan pada aspek tingkat pendidikan dan jabatan akademik. Majelis akan mengusahakan studi lanjut ke jenjang S3 bagi dosen-dosen PTM/PTA ke luar maupun dalam negeri. Selain itu, majelis juga mengusahakan studi lanjut S2 bagi aktivis Muhammadiyah untuk meningkatkan kuantitas atau jumlah dosen PTM/PTA yang masih kurang pada saat ini.
Upaya ini adalah untuk memenuhi rasio dosen dan mahasiswa sesuai ketentuan aturan. Jumlah dosen yang kurang ini yang membuat sejumlah prodi terakreditasi C. “Majelis mentargetkan tahun 2017 rasio dosen dan mahasiswa ini dapat dipenuhi,” kata Suandi Hamid.
Selain rasio dosen dan mahasiswa memenuhi syarat, untuk menjadi unggul perguruan tinggi juga membutuhkan guru besar. Guru besar di PTM dan PTA ini masih kurang. “Majelis akan mengusahakan hingga tahun 2020 mendatang jumlah guru besar minimal 10 persen dari jumlah dosen di PTM,” kata Suandi Hamid.
Untuk pengembangan perguruan tinggi, juga memerlukan dana. Untuk itu, menurut Rektor Universitas Muhammadiyah Prof Dr Bambang Setiaji, PTM atau PTA harus memiliki sumber dana tersendiri, selain SPP mahasiswa. “PTM harus punya bisnis untuk menunjang keberlangsungan perguruan tingginya,” kata Bambang.
Hal yang sama disampaikan Prof Edy Suandi Hamid. Saat ini, pesaing kita bukan perguruan tinggi yang lama tetapi perguruan tinggi baru yang didirikan oleh konglomerat. Perguruan tinggi ini lahir langsung berkualitas internasional, karena dana yang tersedia tak terbatas untuk biaya sarana dan prasarana serta pengadaan SDM.
Namun demikian tak perlu khawatir, Muhammadiyah masih dipercaya oleh masyarakat untuk mendidik anak-anaknya. Mereka masih berminat menyekolahkan anaknya ke Muhammadiyah karena nilai Islam yang berkemajuan yang ditanamkan kepada mahasiswanya. Tinggal bagaimana Muhammadiyah berbenah.
Kepercayaan ini memang betul-betul ada. Menurut Bambang Setiaji, Universitas Muhammadiyah Surakarta ditawari oleh seorang pengembang untuk mendirikan perguruan tinggi Muhammadiyah antar bangsa di Bandung. Di lingkungan tersebut telah ada kampus ITB, UNPAD dan IPDN. UMS tinggal menyediakan SDM dan sistem penunjangnya saja.
Pengembang tersebut meminta mutu perguruan tinggi yang didirikan sama dengan UMS. Sistem ini dinamakan sistem kloning. Menurut Bambang Setiaji, pendirian PTM sudah saatnya dibangun secara kloning. Sehingga mutu PTM yang baru langsung tinggi, SDM bisa ditunjang bersama-sama oleh PTM yang telah maju.
Sistem kloning ini nampaknya yang akan dilakukan oleh Muhammadiyah yang akan mendirikan perguruan tinggi Muhammadiyah di Merauke Papua dan Kalimantan Utara. Di dua tempat ini, menurut Ketua Majelis Diktilitbang Prof Lincolin Arsyad, sangat mendesak diselenggarakan, mengingat potensinya sangat besar dan sangat diperlukan masyarakat.
Pembentukan perguruan tinggi baru Muhammadiyah selama ini terabaikan. Sehingga membuat angka partisipasi Muhammadiyah dalam mendidik anak usia kuliah menjadi turun. “Semula 10 persen saat ini tinggal 5,5 persen saja,” kata Suandi Hamid.
Ini tugas PTM-PTM yang telah maju untuk membuat PTM yang baru yang mempunyai kualitas yang sama dengan induknya, selain membantu PTM yang sudah lama dan pertumbuhannya perlu didorong. Pendirian model baru seperti ini, menurut Bambang Setiaji, sangat memungkinkan, karena aturan pemerintah yang mendukung tentang ini sudah ada. Tinggal kini Muhammadiyah di semua jajaran mau mendukung atau tidak.
Langkah-langkah ini jika dilakukan, paling tidak akan mendukung penyebaran paham Islam berkemajuan di masyarakat. Pengalaman Universitas Muhammadiyah Malang, menurut Ketua PP Muhammadiyah Prof Dr Muhajir Effendi, mereka yang tak aktif di ortom Muhammadiyah di kampus setelah keluar kampus banyak berhikmat di Muhammadiyah. Minimal mereka hormat kepada Muhammadiyah.• (tulisan dan bahan eff)