Oleh; Budi Asyhari-Afwan
Qadariyah berasal dari bahasa arab, qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan. Arti kata itu ditujukan kepada kelompok atau aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Yaitu Aliran yang berpendapat bahwa manusia adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Qadariyah adalah aliran yang memberi penekanan pada kebebasan.
Faham Qadariyah ini muncul sejak kaum muslimin mulai mempermasalahkan masalah teologi (kalam). Kaum Qadariyah berpendapat bahwa manusia itu bebas untuk berbuat atau tidak berbuat, sehingga manusia bertanggung jawab sepenuhnya atas perbuatnnya sendiri. Karena itu, menurut Qadariyah, manusia berhak menerima pujian dan pahala atas perbuatan baiknya dan menerima celaan atau hukuman atas perbuatan salah dan dosanya. Nama Qadariyah sebenarnya diberikan oleh lawan teologinya lantaran sikap dan pendapatnya yang memandang bahwa manusia memiliki kebebasasn dan kekuasaan (qudrah) untuk melakukan kehendak dan segala perbuatannya. Dalam teologi modern, faham ini dikenal dengan nama free will, freedom of willingness, atau fredom of action, ‘kebebasan berkehendak atau kebebasan untuk berbuat’.
Konon, orang yang pertama kali mengatakan Qadar adalah Ma’bad al-Juhani dan Ghailan al-Dimasyqi. Oleh karena itu, yang dianggap sebagai bapak pendiri aliran ini adalah Ma’bad yang mengembangkannya sekitar tahun 70 H/689 M. Faham ini muncul pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Ma’bad mengembangkannya di Irak dan Ghailan al-Dimasyqi, daerah Syam. Namun, ada juga yang menambahkan seorang tokoh bernama Ja’ad bin Dirham. Mereka bertiga itulah yang disebut-sebut sebagai pelopor Qadariyah.
Sebagaimana perdebatan yang terjadi pada masa itu, Qadariyah adalah aliran yang terlibat dalam perdebatan tersebut. Perdebatan mengenai iman, dosa besar, kafir, mukmin, dan seterusnya. Masih sekitar peristiwa terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan. Misalnya, Qadariyah berpendapat bahwa Orang yang berdosa besar tidak bisa dianggap kafir, tapi dan bukan juga mukmin. Orang berdosa besar adalah fasik, dan orang fasik itu masuk neraka secara kekal. Setelah peristiwa pembunuhan Khalifah Utsman, kaum Khawarij berpandangan bahwa orang yang melakukan dosa besar itu menjadi kafir. Sebaliknya, kaum Murjiah mengatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar itu tetap mukmin. Washil bin ‘Atha, seorang tokoh Qadariyah, memberikan pandangan jalan tengah. Menurutnya, yang melakukan dosa besar itu fasik dan kedudukannya antara kafir dan mukmin. Akan tetapi, kata ‘Atha, orang yang melakukan dosa besar itu kekal dalam neraka.
Sehubungan dengan itu, menurut Qadariyah, Allah SWT tidak menciptakan amal perbuatan manusia. Manusia sendirilah yang menciptakan segala amal perbuatannya, dan karena itulah manusia akan menerima balasan baik (surga) atas segala amal baiknya, dan menerima balasan buruk (siksa neraka) atas segala perbuatan salah dan dosanya. Di situlah, menurut Qadariyah, letak keadilan Allah SWT.
Qadariyah berpendapat demikian karena, menurutnya, akal manusia mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak baik. Misalnya, semua orang yang berakal menganggap menyantuni fakir miskin adalah perbuatan baik. Dan semua menganggap buruk terhadap perbuatan kufur (tidak berterima kasih) atas kebaikan yang diterima.