Oleh: Syafiq A. Mughni
Tauhid adalah esensi ajaran agama yang diturunkan kepada nabi-nabi sejak Adam AS sampai dengan Muhammad SAW. Esensi ajaran itu tidak pernah berubah karena menyangkut hakekat kebenaran. Norma kehidupan bisa berubah sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat, tetapi keyakinan tauhid tidaklah demikian.
Dalam sejarah Islam kita mengenal beberapa pendekatan tentang tauhid. Para teolog menyatakan bahwa setiap hamba Allah wajib meyakini tiga macam bertauhid kepada Allah, yakni tauhid al-zat (keesaan zat), tauhid al-sifat (keesaan sifat) dan tauhid al-af’al (kesesaan perbuatan). Golongan Mu’tazilah ingin mempertahankan tauhid sehingga menjadikannya sebagai salah satu prinsip ajarannya yang lima (al-ushul al-khamsah). Sebagian pemikir tasawuf, misalnya Ibn ‘Arabi, juga mempertahankan kemurnian tauhid dengan bentuk kesatuan wujud (wahdat al-wujud). Ia mengatakan bahwa hanya ada satu wujud, yakni Allah. Selain Allah adalah bayangan semata dari eksistensi Allah.
Pemikir pemurnian ajaran Islam, seperti Ibn Taymiyah, menyatakan bahwa umat Islam harus bertauhid secara sungguh-sungguh. Yang pertama ialah tauhid rububiyah, yaitu meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya zat yang menciptakan dan memelihara alam ini. Tauhid seperti ini telah dimiliki oleh kaum musyrikin pada zaman Nabi Muhammad SAW. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa jika kita bertanya kepada orang-musyrikin di Makkah siapakah yang menciptakan langit dan bumi, mereka akan mengatakan Allah. Tetapi, mereka ini, kata Ibn Taymiyah, belum memilihi tauhid uluhiyah, yakni meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya zat yang patut disembah. Orang-orang musyrikin pada zaman Nabi SAW belum bertauhid pada tahap ini karena mereka masih menyembah benda-benda. Dalam al-Qur’an, Allah menyatakan bahwa mereka menyembah itu sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Mereka disebut musyrik karena belum bertauhid secara murni.
Seluruh perbincangan tentang tauhid di kalangan teolog dan filosof masa lalu itu berpusat pada keyakinan kepada tuhan dan bagaimana perilaku manusia terhadap tuhan. Perbincangan itu tidak memiliki relevansi dengan hubungan (mu’amalah) antar manusia, sehingga tidak berfungsi untuk membangun tatanan kehidupan sosial. Karena itu, pada masa kini ada gagasan tentang tauhid sosial, sebuah tauhid yang pro- kehidupan.
Bertauhid kepada Allah sesungguhnya memiliki implikasi kehidupa sosial. Islam mengajarkan persamaan (musawat) antarmanusia. Bahkan, jika ditelusuri dalam sejarah akan segera diketahui bahwa ajaran Islam tentang kesamaan itu adalah yang pertama kali sepanjang sejarah dunia. Dunia non-Muslim baru berbicara tentang persamaan itu jauh sesudahnya. Allah menyatakan seluruh manusia memiliki derajat yang sama. Allah SWT menyatakan bahwa derajat manusia hanya bisa dibedakan atas dasar ketaqwaanya. Nabi Muhammad juga menyatakan bahwa orang Arab tidak lebih tinggi daripada non-Arab. Yang membedakan hanyalah ketaqwaannya. Dengan demikian, kultus individu, taqlid dan feodalisme adalah musuh dari tauhid.
Bertauhid juga memiliki konsekuensi untuk membangun keadilan ekonomi. Jika kita diberikan rizki oleh Allah, maka kita harus berbagi sesama. Tauhid membentuk orang menjadi dermawan, tidak kikir. Orang yang menumpuk-numpuk harta benda dan tidak perduli terhadap penderitaan orang lain sesungguhnya ia adalah penyembah harta. Ia yakin harta itulah yang akan membuat hidupnya “kekal,” dan dengan demikian ia sesungguhnya telah menuhankan harta benda.
Tauhid yang pro-manusia dan pro-kehidupan tidaklah cukup menjadi kesadaran individual, melainkan juga harus menjadi keasadaran kolektif. Pada tingkat masyarakat, Muhammadiyah telah berjuang secara sistemtik melalaui gerakan-gerakan pendidikan, kesehatan dan ekonomi untuk mengangkat harkat dan martabat manusia. Ia tidak hanya berbicara tentang pentingnya memberantas takhayul, bid’ah dan khurafat pada tataran pikiran saja, tetapi juga memberi santunan kepada orang-orang fakir dan miskin. Inilah teologi al-Ma’un. Tetapi, Muhammadiyah sesungguhnya harus membangun ekonomi jama’ahnya dan pada saat yang sama juga menjadi kekuatan yang mendorong terwujudnya kekuatan pemaksa semua orang, khususnya kelompok strategis, untuk mewujudkan cita-cita keadilan ekonomi. Advokasi perlu dilakukan agar lahir kebijakan publik yang mengikat semua orang untuk keadilan itu.
Ruh tauhid harus mendorong Muhammadiyah untuk membangun struktur ekonomi dan, atau secara lebih luas, sosial yang berkeadilan. Struktur yang ada sekarang ini menimbulkan ketimpangan di dalam masyarakat sehingga semakin banyaknya fenomena kelompok marginal, seperti pengemis, gelandangan, anak jalanan dan pekerja seks komersial.
Perjuangan untuk membangun masyarakat di atas prinsip-prinsip tauhid berarti juga perjuangan untuk menentang segala bentuk kemusyrikan mental. Dalam masyarakat kontemporer banyak sekali bentuk kemusyrikan mental, seperti penyembahan terhadap jabatan, harta benda dan hawa nafsu. Jika kemusyrikan itu melanda masyarakat dan bahkan struktur masyarakat itu sendiri dibangun di atas fondasi kemusyrikan, maka keadlaliman akan semakin berjaya.
Dengan demikian, kita tidak hanya bertauhid di atas “langit,” tetapi juga bertauhid di muka “bumi,” tauhid yang pro-kemanusiaan dan pro-kehidupan.