Oleh: Isngadi Marwah Atmadja
Waktu Bilal Bin Rabbah sudah memilih disiksa melampui batas untuk mempertahankan kalimat tauhid apa yang telah dilakukan Umar Bin Khattab? Umar masih menikmati tradisi jahiliyah, membunuh anak perempuanya sendiri.
Waktu Ali Bin Thalib sudah berani menggantikan Nabi di tempat tidur saat rumah Rasulullah SAW dikepung kafir Quraisy di malam hijrah, apa yang telah dilakukan Muawaiyah dan juga Abu Sufyan ayahnya itu untuk tegaknya kalimat tauhid?
Tapi, mengapa Umar Bin Khatab yang dijadikan khalifah menggantikan Abu Bakar? Mengapa Usman Bin Affan yang merupakan kerabat Abu Sufyan yang ditunjuk meneruskan kepemimpinan Umar? Mengapa pula harus menyodorkan nama Muawiyah yang tidak merasakan pahit-getirnya kesengasaraan perintisan Islam untuk menjadi Khalifah?
Sebagai bagian dari umat Islam yang dididik untuk menghormati dan menghargai para sahabat Rasulullah, kita tentu sangat jengkel mendapat pertanyaan-pertanyaan subversif yang sangat jelas tujuannya itu.
Fakta sejarah yang diajukan untuk membangun dasar pertanyaan itu mungkin benar. Namun, bagi kita yang secara jernih mau melihat fakta sejarah dalam konteksnya yang tepat, dengan mudah akan tahu, kalau kebenaran yang diajukan itu hanyalah dikemukakan dengan tujuan menutupi kebenaran yang lain.
Amirul Mukminin Umar Bin Khatab memang bukan seperti Ali Bin Thalib, Abu Bakar, maupun Khadijah yang merupakan sahabat yang berada di deretan paling awal yang masuk Islam. Umar bin Khatab bahkan termasuk orang yang pernah menentang dakwah Rasul. Demikian juga dengan Abu Sufyan ayah Muawiyah yang bahkan baru masuk Islam setelah fathu makkah.
Namun, setelah bergabung dalam barisan umat Islam, loyalitas dan totalitas Umar dalam membela Islam tidak ada yang bisa meragukannya. Demikian juga totalitas Umar dalam membela dan mencintai Nabi juga tidak bisa ditawar lagi. Iblis pun takut melihat kegigihan Umar dalam membela agama Allah.
Usman Bin Affan memang mempunyai tali kekerabatan dengan klan Abu Sufyan, namun jelas bukan karena hal itu yang dijadikan alasan tim “formatur” untuk memilih Usman sebagai pengganti Umar.
Usman adalah Dzun Nurain, pemilik dua cahaya. Hanya Usman, satu-satunya manusia di dunia ini yang telah menikahi dua puteri Rasul SAW. Ruqayah dan Ummu Kaltsum. Ya, dua puteri kesayangan Rasulullah dinikahkan dengan dia.
Tentu bukan orang sembarangan yang diberi kesempatan dua kali oleh Rasulullah untuk menjadi menantunya. Di samping itu, Usman juga dikenal sebagai dermawan tanpa tanding yang mempunyai banyak kemuliaan yang lain.
Demikian juga dengan Muawiyah. Walau tidak melimpah, cukup banyak catatan sejarah yang memuat jasa-jasa Muawiyah sebelum dia dinobatkan menjadi Khalifah.
Melecehkan Umar maupun Muawiyah dengan membandingkan tanggal keislamannya dengan Bilal Bin Rabbah jelas merupakan tindakan tidak bisa dibenarkan. Demikian juga halnya mengerdilkan Usman hanya karena dia berasal dari klan Umayyah. Semua itu jelas hanya alasan yang dicari-cari orang yang penuh dengki. Tampaknya semua pasti akan sepakat akan hal ini.
Ali Bin Thalib maupun Bilal Bin Rabbah pasti tidak pernah menyuruh kita untuk menyanjungnya seraya melecehkan para sahabat yang lain. Karena semua sahabat Rasul mempunyai keistimewaan dan kemuliaan sendiri-sendiri.
Keistimewaan dan kemuliaan itu bukan untuk diperbandingkan apalagi dipertandingkan antara satu dengan yang lain. Semua keistimewaan para sahabat itu akan selalu tepat apabila didudukan pada posisi yang seharusnya. Bukan dipreteli dari konteks zamannya untuk dimaknai sesuai kepentingan “politik” kita.
Tampaknya, demikian pula halnya kita harus memaknai jasa para pendiri bangsa Indonesia ini. Tjut Nyak Dien, Dewi Sartika, Nyi Ageng Serang, Nyai Walidah, Laksamana Malahayati, Diponegoro, maupun Kartini, Ki Hajar Dewantara, dan Kiai Ahmad Dahlan, jelas mempunyai jasa mereka sendiri-sendiri.
Jujur saja, dulu saat masih muda, waktu ada orang yang mempertanyakan perbandingan Bilal Bin Rabbah dengan Umar Bin Khattab seperti di awal tulisan ini, tangan saya terasa gatal ingin menggampar mulut orang itu.
Itu adalah pernyataan yang penuh dengki yang hanya bisa dilontarkan oleh orang syiah rafidah yang ultra ghuluw. Kalau pertanyan subversif itu terdengar Ali Bin Thalib, lidah lancang itu mungkin akan dipenggalnya. Demikian teman saya menyimpulkan.
Hari-hari ini, hati ini merasa aneh ketika membaca tulisan-tulisan yang seakan-akan menganggap Kartini maupun Ki Hajar Dewantara itu tidak berbuat apa-apa bagi bangsa ini. Walau sambil “melecehkan” para pahlawan itu, mereka menyanjung para tokoh yang lebih saya hormati dan lebih saya cintai seperti Kiai Dahlan maupun Nyai Walidah.
Mungkin niatnya menyanjung, tapi mempertandingkan Kiai Dahlan dengan Suwardi Suryoniningrat, atapun Kartini dengan Nyai Dahlan, terasa kurang tepat, apalagi disertai niat untuk mengerdilkan bahkan melecehkan yang lain. Perbandingan antara tokoh-tokoh itu dan dengan cara seperti itu, menurut rasa di hati saya seperti perbandingan Bilal dan Umar seperti di awal tulisan ini.
Mungkin hati sayalah yang salah. Hati dari orang yang sudah terlanjur ikut penataran P4 (Pe Empat) pada masa orde baru.