SUARA MUHAMMADIYAH—Jihad secara bahasa memiliki arti bersungguh-sungguh. Namun dalam penerapannya, kadang sulit dipahami. Ada kalanya sekelompok orang yang mengatasnamakan Tuhan, kemudian melakukan tindakan kekerasan terhadap yang berbeda keyakinan. Hal ini kemudian dimaknai sebagai aktivitas dalam kerangka jihad. Mereka yang melakukan kekerasan demikian, sering bersandar pada ayat tentang peperangan dalam Al-Qur’an. Hanya saja sering muncul standar ganda, di mana ketika umat Islam berkeyakinan melakukan jihad, kemudian dipahami sebagai tindakan teror. “Oleh karena itu, kita perlu perjelas kembali definisi jihad dan teror ini,” kata Prof. Azyumardi Azra ketika mengawali diskusi Fiqih Anti Terorisme, Selasa (3/5).
Guna membingkai pembahasan jihad dan teror ini, Prof. Azyumardi Azra mengambil contoh pemikiran ulama kontemporer Yusuf Qaradhawi. Mengutip pendapat ulama’ Mesir tersebut, sekurangnya ada 3 poin tentang arti jihad yang sesungguhnya. Yang pertama adalah jihad bisa diartikan sebagai perang fisik dengan catatan menjadi benteng pertahanan terakhir umat Islam. Namun bukan untuk menyerang musuh guna merebut kekuasaan. Kedua, tujuan jihad dengan jalan perang ditujukan untuk memperjuangkan keadilan. Diawali dengan deklarasi yang dilakukan oleh amirul mukminin, karena bangsa dalam kondisi terpuruk dan terancam oleh serangan negara lain, seperti kondisi bangsa pada masa penjajahan dahulu.
“Lalu siapa yang disebut dengan amirul mukminin?” Rektor UIN Syarif Hidayatullah ke sepuluh itu menyebutkan bahwa Presiden yang sedang berkuasa sebagai sosok amirul mukminin. Sementara poin ketiga, jihad dengan jalan perang. Menurutnya, tidak dibenarkan peperangan untuk menyerang anak kecil, orang tua, rumah ibadah, hingga makam.
Pembahasan Fiqih Anti Terorisme sendiri merupakan program kerjasama antara Ma’arif Institute dengan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah. Digelar di Universitas Muhammadiyah Semarang (UNIMUS), acara tersebut akan berlangsung mulai dari tanggal 3 hingga 5 Mei 2016. (GR)