Oleh: Dra. Hj Shoimah Kastolani
Atas nasehat Haji Mochtar koempoelan “Sopo Tresno” yg didirikan Kyai Dahlan dibantu Nyai Walidah berubah menjadi ‘AISYIYAH pada peringatan Isro’ Mi’roj 27 Rojab 1335 bertepatan tgl 19 Mei 1917, kini sudah 102 tahun dalam perhitungan hijriyah. Meski Nyai Walidah sebagai istri Kyai Dahlan, namun ketika 1918 ‘Aisyiyah ditetapkan sebagai Bahagian Wanita Muhammadiyah, tidak serta merta Nyai Dahlan menjadi Ketua, karena akses kepemimpinan diserahkan kepada Siti Bariyah kader handal yang cerdas lulusan normal school waktu itu.
Baru ketika 1921 Nyai Walidah memimpin ‘Aisyiyah dengan tekad memajukan perempuan. Mushola ‘Aisyiyah dijadikan pusat penggemblengan perempuan dengan latihan pidato, dan tempat sekolah perempuan yang bernama ‘Aisyiyah Maghribi School (AMS). bahkan ketika ‘Aisyiyah melakukan pemberantasan buta huruf, Nyai Walidah pun belajar baca tulis kepada Tjitro Soebono redaktur Suara ‘Aisyiyah (SA).
Pandangan berkemajuan Nyai Walidah dapat dirunut dalam ucapannya :”Orang laki-laki Islam wajib membantu kemajuan perempuan Islam, harus memberi ijin perempuan untuk mencari ilmu. Dulu dikatakan perempuan itu ‘suwargo nunut neroko katut’, hal itu sekali-kali tidak setuju dengan alqur’an. Perempuan harus seilmu dengan laki-laki. Perempuan wajib juga amar makruf nahi munkar. Dunia Islam tidak akan menjadi baik kalau yang maju hanya laki-lakinya saja. Perempuanpun harus maju juga”.
Dalam semangatnya berilmu, Nyai Walidah mewakili Muhammadiyah menghadiri musyawarah Alim Ulama di Masjid Gede Solo, yang kala itu belum lazim ulama perempuan. Setelah Kyai Dahlan wafat, perjuangan Nyai Walidah tidak surut, bahkan tahun 1926 memimpin konggres Muhammadiyah ke 15 di Surabaya. Nyai Walidah perempuan pertama yg memimpin konggres diliput secara luas oleh koran pewarta seperti Sin Tit Po (Munir Mulkhan).
Sejak itu pengaruh perempuan masuk ‘Aisyiyah semakin besar. Oleh karenanya sangat tepat apabila dalam Muktamar ‘Aisyiyah ke-47/Satu Abad ‘Aisyiyiyah dicanangkan “Gerakan Keilmuan dan Pemikiran, yang harus mengembangkan budaya baca tulis”. Semoga dakam miladnya yang je 102 ini, ‘Aisyiyah sebagai Gerakan berkemajuan dapat menjawab tantangan jaman dan memberikan solusi terhadap persoalan bangsa. Termasuk care terhadap perempuan dan anak dengan Gerakan ‘Aisyiyah Cinta Anak (GACA).
Perempuan dan anak saat ini rentan terhadap kekerasan, korban penyayatan di Jogja semua perempuan, korban mahasiswi FMIPA UGM sampai ananda Yuyun di Rejang Lebong Bengkuli menjafi bukti. Tak cukup kata sekedar mengutuk kepada para pelaku, namun Program Santunan Keluarga, Gerakan ‘Aisyiyah Peduli harus berjalan secara masif. Giatkan terus keshalihan sosial wahai teman-teman seperjuangan.(suaramuhammadiyah.com)