Oleh; M Muchlas Abror
SITI WALIDAH, demikian nama yang diberikan oleh KH Muhammad Fadhil (ayahnya), Penghulu Kraton Yogyakarta, kepadanya. Ia anak ke-4 dari tujuh bersaudara. Seorang adiknya, KH Ibrahim pernah mengemban amanah menjadi Ketua PP Muhammadiyah (1923–1932). Puteri itu dinikahkan oleh ayahnya dengan Muhammad Darwisy bin KH Abubakar, tahun 1889. Yang kemudian ia kita kenal dengan nama KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Mereka masih saudara sepupu. Sebab, ibu Muhammad Darwisy bernama Siti Aminah dan KH Fadhil adalah saudara sekandung. Pernikahan mereka, dari segi umur, hanya berbeda empat tahun. Sebab, KH Ahmad Dahlan lahir tahun 1868. Sedangkan Siti Walidah lahir tahun 1872.
Siti Walidah taat beragama Islam. Karena sejak anak-anak ia telah mendapat pendidikan agama Islam dari orangtuanya. Setelah berkeluarga, karena bimbingan dan pembinaan dari suami, ia merasa mendapatkan pencerahan, kemajuan, kemantapan, pemahaman, dan dorongan pengamalan Islam. Hal itu terus mengalami peningkatan. Karena dapat bimbingan dan pembinaan yang baik dan tulus dari suami. Meski ia tidak belajar di sekolah formal. Tetapi, ia tidak merasa malu belajar dan menulis Latin bersama peserta pengajian perempuan. Apa yang didapat itu manfaat, menambah bekal, dan sangat berarti baginya dalam mengelola pengajian yang dirintisnya mendampingi suami dalam mencetak kader. Sebagai pendidik, ia piawai dalam memberi motivasi dan berhasil membina para siswi di asrama puteri.
Muhammadiyah memiliki organisasi perempuan. ‘Aisyiyah namanya, lahir 27 Rajab 1330 H atau 1917 M. Pada waktu itu, kepemimpinan Muhammadiyah masih berada di tangan KH Ahmad Dahlan. Nah, Nyai Walidah atau Nyai Ahmad Dahlan pernah menjadi Ketua PP ‘Aisyiyah beberapa kali. Ia memahami dalam memimpin Aisyiyah mestilah membawa panji Islam yang berkemajuan. Aisyiyah harus menaruh perhatian besar dan membawa kemajuan kaum perempuan dalam arti positif. Mereka mendapat kesempatan sama untuk mengenyam pendidikan formal dan menjalankan peran kemasyarakatan, serta berdakwah secara aktif di ruang publik. Mereka berpribadi utuh, tidak sekadar swarga nunut neraka katut.
Nyai Walidah adalah seorang pemimpin perempuan yang handal, berwibawa, disegani, dan dihormati. Tahun 1926 berlangsung Kongres (Muktamar) ke-15 tahun 1926 di Surabaya. Sidang-sidangnya di gedung Bioskop Kranggan. Para utusan ‘Aisyiyah berkerudung datang tertib memadati gedung itu. Bahkan, sampai meluap keluar. Nyai Walidah, sudah berumur setengah abad lebih, memimpin sidang dengan lancar, tertib, dan memiliki keberanian. Hal itu menimbulkan kekaguman dan dipandang luar biasa. Kongres itu diberitakan berbagai surat kabar, misal, Sin Tit Po, harian kaum Tionghwa. Bahkan, Sin Tit Po dalam laporannya berharap agar kaum perempuan Tionghwa mau mengambil contoh yang baik dari Kongres ‘Aisyiyah itu.
Pada masa kepemimpinannya, Nyai Walidah meneruskan perintisan sebelumnya membuka pondok atau asrama untuk anak-anak perempuan. Dimulai dari rumahnya, terutama untuk menampung pelajar Mu’allimat Muhammadiyah. Selain itu, mengadakan kursus-kursus pelajaran Islam dan pemberantasan buta huruf bagi kaum perempuan. Juga gerakan pendirian rumah-rumah miskin dan anak yatim perempuan, dll. Sebagai pemimpin dan sekaligus muballighat, ia tidak hanya di belakang meja, tapi aktif terjun di masyarakat. Telah banyak kota, baik di Jawa maupun luar Jawa, yang dikunjungi. Padahal, alat transportasi dan jalan yang dilalui, masih serba sulit, belum seperti sekarang. Ketika, ia mengunjungi Batur, Banjarnegara, yang medannya sulit harus melalui Dieng, ia dikawal dan naik kuda. PCM dan PCA Batur merupakan salah satu Cabang yang maju di Kabupaten Banjarnegara sampai sekarang.• (suaramuhammadiyah.com)