YOGYAKARTA. suaramuhammadiyah.com -Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta menggelar seminar keagamaan dengan tema “Kenaikan Yesus Kristus Perspektif Al-Quran dan Alkitab”. Acara yang dilangsungkan pada Rabu (4/5) itu mendapat respon positif dari banyak kalangan, terutama para pengkaji isu-isu Teologi dan kerukunan umat beragama.
Kegiatan yang menghadirkan Dr Martinus Sardi dan Muryana, MHum sebagai pembicara, dilaksanakan dalam rangka mencari titik temu antara doktrin Islam dan Kristen tentang Yesus. “Kelihatan, perayaan Kenaikan Yesus Kristus tidak dianggap penting sebagaimana halnya kelahiran, kematian, dan terlebih kebangkitannya. Yang familiar adalah tentang kebangkitan Nabi Isa. Di Indonesia, Kenaikan Yesus masih diperingati dan dijadikan hari libur nasional. Sementara di Singapura dan banyak tempat lainnya, peringatan Kenaikan Yesus justru sepi dan bahkan dianggap sebagai dongeng bikinan gereja mula-mula. Nah menyikapi berbagai perbedaan ini, kiranya perlu untuk kita saling memahami,” ujar ketua panitia.
Dalam paparannya, Martinus Sardi yang juga sebagai mantan pendeta menjelaskan tentang beberapa doktrin Kristen terkait dengan kenaikan Yesus. Menurutnya, dalam ajaran Kristen, kebanyakan peristiwa harus dipahami dalam konteks bukan secara inderawi atau secara fisik, tetapi sebagai suatu simbol dan bahasa kiasan. “Misalkan kenaikan Yesus ke Surga. Naik tidak bisa dipahami secara fisik, naik seperti apa. Naik itu ya berarti ke tempat yang tinggi. Surga itu tak bisa dilihat secara inderawi, dipahami sebagai tempat yang penuh kedamaian,” ulas aktivis HAM dan dosen UMY ini.
Sementara pembicara kedua, Muryana menguraikan bahwa dalam Al-Qur’an sendiri, Yesus atau Nabi Isa begitu dimuliakan. Banyak ayat-ayat yang menjelaskan tentang kelahiran hingga kematian Nabi Isa, bahkan tentang perbedaan pandangan umat tentang Nabi Isa juga disebut dalam Qur’an. Beberapa sifat Nabi Isa misalkan disebut dalam Surat An-Nisa ayat 171. “Dalam Islam, Isa sebagai Rasul atau utusan Allah. Kelahirannya tidak mengalami proses sebagaimana manusia umumnya yaitu melalui hubungan seksual, tetapi melalui firman Allah, kun. Ruhnya dari Allah, sebagai manusia yang menonjol sisi keruhaniannya dan suci jiwanya. Hal ini menjauhkan Allah dari sifat kekurangan dan kejelekan. Adapun dalam pandangan Nasrani, Isa dipahami bahwa Allah mengutusnya untuk menyelamatkan umat manusia dan Trinitas sebagai suatu misteri atau doktrin teologi,” ujarnya.
Di bagian lain, Muryana dan Martinus Sardi sepakat dengan ungkapan Mukti Ali dalam rangka mencapai persatuan, bahwa, “Agama-agama lain mengandung kebenaran. Namun agama sayalah yang paling benar”. Martinus juga menjelaskan bahwa dalam kasus tertentu, ada gereja yang melaksankan kegiatan murni kemanusiaan, seperti di Semarang yang membina dan menanggung biaya pendidikan anak-anak muslim, tanpa memaksa mereka menjadi Katolik. Hal ini sama dengan yang dilakukan oleh Muhammadiyah di daerah Indonesia Timur. Banyak sekolah dan universitas Muhammadiyah yang 75 persen murid dan mahasiswanya justru non-muslim, tanpa pernah memaksa mereka menjadi muslim. Dedikasi tanpa melihat perbedaan agama ini ditulis dalam buku Kristen-Muhammadiyah oleh sekum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti.
Pada intinya seminar ini dimaksudkan untuk menguatkan kerukunan serta belajar tentang perbedaan dan persamaan sekaligus. “Bahwa perbedaan itu harus didialogkan, tidak cukup sekedar didiamkan. Seorang akademisi tidak hanya melihat perbedaan secara pasif, namun mendialogkan secara aktif. Dalam hal ini bukan belajar mencari-cari kesalahan, namun belajar memahami perbedaan,” ujar Ketua IMM Ushuluddin UIN. (Ribas)