Puasa Ramadhan dan Beberapa Aspek Hukumnya (2); Sural Al-Baqarah Ayat 183-187

ramadhan

Ilustrasi

Dalam pengertian terminologi syariah puasa (as-siyam) adalah tidak makan, tidak minum, dan tidak berhubungan suami-isteri serta tidak melakukan hal-hal lain yang membatalkan puasa sejak terbit fajar hingga terbenam matahari dengan niat melaksanakan perintah Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. (Rida, Tafsir al-Manar (Tafsir al-Qur’an al-Hakim), edisi Ibrahim Syamsuddin (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1426/2005), II: 114-115; Al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi (al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an), diedit oleh Salim Mustafa al-Badri (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2010), II: 183; dan az-Zuhaili, Mausu‘at al-Fiqh al-Islami wa al-Qadaya al-Mu‘asirah (Damaskus: Dar al-Fikr, 1431/2010), II: 498). Perlu dicatat bahwa dalam al-Qur’an kata as-Siyam selalu digunakan dalam pengertian menurut terminologi syariah di atas seperti dalam Qs. 2: 183, 187, 196; 4: 92, 95; 5: 89; dan 58: 4. Sedangkan kata saum dipakai untuk menunjukkan arti diam (tidak berbicara).

Baca  juga: Puasa Ramadhan dan Beberapa Aspek Hukumnya (1) ; Surat Al Baqarah Ayat 183 – 187

Puasa, yang pelaksanaannya pada bulan Ramadhan sebagaimana akan dijelaskan di belakang, menjadi salah satu dari rukun Islam yang lima seperti ditegaskan dalam hadits Nabi saw sebagai berikut,

Dari Ibn ‘Umar ra (diriwayat bahwa) ia berkata: Telah bersabda Rasulullah saw: Islam ditegakkan atas lima dasar, yaitu kesaksian bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, mengerjakan haji, dan berpuasa Ramadhan [Hadits disepakati al-Bukhari dan Muslim]. (Al-Bukhari, sahih al-Bukhari (Beirut: dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1425/2004), h. 17, hadits no. 8, “Kitab al-Iman”; Muslim, sahih Muslim, edisi Muhammad Fu’ad asbd al-Baqi (Beirut: Dar al-Fikr li at-Tiba‘ah wa an-Nasyr wa at-Tauzi‘, 1412/1992), I: 32, hadits no. 16 [21], “Kitab al-Iman”).


Ayat tersebut selanjutnya menegaskan bahwa puasa juga telah diwajibkan di kalangan orang-orang sebelum Islam. Penyebutan bahwa puasa diwajibkan kepada umat terdahulu adalah untuk memberi penekanan arti penting puasa dan sekaligus memberi dorongan psikologis untuk mengamalkannya. Hal itu karena puasa itu adalah suatu ibadah yang berat sehingga dengan menyebutkan bahwa ibadah itu juga telah dilaksanakan oleh umat-umat terdahulu dimaksudkan akan memberikan efek psikologis bagi penerima perintah puasa bahwa puasa tersebut bukan suatu yang berat dan bukan suatu yang tidak lazim karena ia telah dipraktikkan juga oleh umat-umat lain terdahulu.  (Al-Maragi, Tafsīr al-Mara­gi (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1365/1946), II: 68).
Memang puasa merupakan sebuah institusi yang tua dalam peradaban manusia. Dikatakan bahwa puasa telah dikenal sejak zaman purba yang tidak diketahui permulaannya. Puasa telah dipraktikkan oleh orang-orang shalih dari Timur dan dari berbagai peradaban. Mereka melakukannya tidak hanya untuk memulihkan kesehatan dan menjaga kebugaran fisik, tetapi juga untuk mencapai iluminasi spiritual. (Bragg and Bragg, The Miracle of Fasting Proven Throughout History for Physical, Mental & Spiritual Rejuvenation (Ttp.: Bragg Health Sciences, 1998), h. 48).
Herbert Shelton (1895-1985) mengatakan bahwa puasa harus diakui sebagai suatu proses fundamental dan radikal yang lebih tua daripada cara lain apa pun untuk merawat organisme yang sakit karena puasa difungsikan pada dataran insting. Sejumlah filosof besar di masa lampau, seperi Hippocrates, Plato, Socrates, Aristoteles, dan Galenus memuji manfaat puasa. Paracelsus, salah satu dari tiga bapak kedokteran Barat, dikutip sebagai menyatakan, “Puasa adalah satu tindakan remidial terbaik.” Puasa diakui memiliki daya revitalisasi dan rejuvenalisasi yang menjanjikan. (“History of Fasting,” http://www.allaboutfasting.com/history-of-fasting.html, diakses 05-09-2013).
Bentuk-bentuk puasa dalam berbagai agama berbeda-beda. Ada puasa hanya berupa pantang dari beberapa makanan tertentu. Ada yang berupa tidak makan makanan jenis apa pun, tetapi masih tetap minum air. Ada pula yang berbentuk tidak makan dan tidak minum sama sekali, bahkan juga tidak melakukan aktivitas seksual. Dari segi waktu cara berpuasa juga beragam. Ada yang melakukannya dari sejak terbenam matahari hingga terbenam matahari hari berikutnya, seperti puasa Yom Kippur dalam agama Yahudi, tetapi hanya sehari saja. Ada yang melakukannya dari terbit fajar hingga terbenam matahari pada hari yang sama. Bahkan ada yang melakukannya hanya menjelang tengah hari saja.


Orang-orang Arab pra Islam dan orang-orang Muslim awal mengenal puasa dari masyarakat Yahudi yang banyak tinggal di sekitar kota Madinah. Dalam sebuah Hadits diriwayatkan,

Dari Ibn ‘Abbas ra (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Nabi saw tiba di Madinah dan beliau melihat orang-orang Yahudi melakukan puasa hari Asyura. Beliau bertanya, “Hari apa ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah hari yang baik, hari di mana Allah menyelamatkan Bani Israel dari musuh-musuh mereka. Oleh karena itu Musa melakukan puasa pada hari ini.” Lalu beliau bersabda, “Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian.” Lalu beliau saw mempuasai hari itu dan memerintahkan mempuasainya [HR al-Bukhari (ini lafalnya), Muslim dan Ahmad]. (Al-Bukhari, sahih al-Bukhari, h. 361, Hadits no. 2004, “Kitab as-Saum, Bab Saum Yaum ‘Asyura’”; Muslim, sahih Muslim, I: 504, hadits no. 127 [1130], “Kitāb as-Siyam, Bab Saum Yaum ‘Asyura’”; dan al-Iman”Ahmad, Musnad al-Imam Ahmad, edisi al-Arna’ut dkk. (Beirut: Mu’assasat ar-Risalah, 1421/2001), IV: 393, Hadits no. 2644; dan V: 35, Hadits no. 2831).
Dalam Hadits-Hadits Muslim disebutkan bahwa puasa Asyura juga dilakukan oleh kaum Quraisy di zaman Jahiliah dan Rasulullah saw juga melakukannya sebelum beliau menjadi nabi. Barangkali masyarakat Arab pra Islam tersebut mengenal puasa Asyura itu dari komunitas Yahudi yang tersebar di Hijaz. Kemudian setelah berhijrah ke Madinah Rasulullah saw melakukannya dan memerintahkan umat Islam mempuasainya. (Muslim, sahih Muslim, I: 502, Hadits no. 113 [1125] dan 117 [1126], “Kitab as-Siyam, Bab Saum Yaum ‘Asyura’”)
Kalau begitu pertanyaan beliau tentang puasa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi yang beliau temukan di Madinah sebagaimana disebutkan dalam Hadits di atas adalah pertanyaan untuk mengecek puasa apa itu. Lalu setelah diberitahu beliau memerintahkannya karena beliau sendiri telah mengenalnya dan mempraktikkannya sebelumnya. Namun kemudian Allah mensyariatkan suatu bentuk puasa yang definitif, yaitu puasa Ramadhan, namun puasa Asyura masih tetap dapat dilaksanakan sebagai suatu ibadah sunat. (Ibid, I: 502, Hadits no. 113, 115, dan116 [1125], “Kitab as-Siyam, Bab Saum Yaum ‘Asyura’”)
Puasa Ramadhan disyariatkan pada tahun kedua dari hijrah Nabi saw. Sementara puasa Asyura diperintahkan beliau pada bulan Muharam tahun yang sama.• Bersambung

Exit mobile version