Membangun Umat Nirmadzhab

palestina

Foto Dok MUI

Oleh: Sudarnoto Abdul Hakim

Dalam dialog dengan kurang lebih 10 dekan Fakultas Universitas Afghanistan yang langsung dipimpin oleh Prof Dr Muhadjir Effendy di kantor PP Muhammadiyah belum lama ini banyak pertanyaan menarik dari anggota delegasi. Antara lain soal Madzhab Islam di Indonesia dan pandangan dan sikap Muhammadiyah sendiri. Soal Madzhab ini memang sering mengemuka dalam berbagai pertemuan di kalangan akademisi yang pernah penulis ikuti. Saat penulis diundang untuk menyampaikan kuliah tentang Indonesian Islam di the Russian Islamic University (Kazan, Rusia) selama lebih satu minggu beberapa waktu yang lalu, misalnya. Topik Madzhab Islam dan bahkan kedudukan Hukum Islam dalam sistem hukum nasional menjadi topik hangat di kelas mahasiswa S1 dan pascasarjana, bahkan juga dosen. Seorang dosen malah mengajukan pertanyaan mengapa Indonesia tidak mendeklarasikan sebagai Negara Islam saja mumpung mayoritas warga Indonesia adalah muslim dan merupakan bangsa Muslim terbesar di dunia.

Sejak awal sejarahnya, Islam berkembang di Indonesia melalui apa yang disebut sebagai pola  penetration pacifique. Pola ini menegaskan adanya proses masuk dan berkembangnya sebuah kebudayaan di lingkungan masyarakat dengan kebudayaannya yang berbeda, melalui cara damai; saling mengisi dan mengakomodasi; tidak merusak dan menghilangkan unsur kebudayaan yang ada. Jadi, proses kultural yang saling menguatkan antara Islam dengan kebudayaan lokal terjadi saat Islam hadir dan berkembang di Indonesia sejak periode formatifnya. Islam berdampingan secara damai dan mengisi ruang-ruang kebudayaan masyarakat.

Sehingga, dua-duanya–Islam dan kebudayaan lokal– tidak memandang sebagai ancaman antara yang satu dengan yang lainnya. Karena itu masyarakat dan kebudayaannya menjadi sebuah mozaik dengan Islam sebagai unsur baru yang sangat penting. Tentu, wajah Islam di Indonesia menjadi khas atau unik berbeda dengan wajah Islam di Arab dan beberapa negara lainnya. Yang nampak sudah bisa dipastikan adalah bahwa respek terhadap perbedaan dan spirit untuk saling melindungi serta sikap akomodatif menjadi salah satu ciri masyarakat Indonesia dan Islam menjadi sumber inspirasi yang sungguh sangat penting.

Tidak heran jika peralihan dari kerajaan-kerajaan Hindu ke Islam misalnya tidak mengakibatkan goncangan historis dan menjadi sisi gelap sebagaimana yang misalnya terjadi saat dan pasca peralihan dari kekuasaan Islam di Spanyol ke Kristen, umat Islam diusir, dikejar-kejar dan bahkan dibantai. Melalui Penetration Pacifique ini, peralihan kekuasaan politik Hindu ke Islam terjadi secara baik. Hal ini juga terlihat di banyak produk kebudayaan lainnya, misalnya kesenian, pemikiran dan karya tulis, kebiasaan-kebiasaan, pakaian, arsitek dan sebagainya.

Dari sisi Fiqih, memang arus utamanya adalah Madzhab Syafii. Tentu saja ini kuat kaitannya dengan mobilitas ulama; kitab Fiqih yang masuk, dikaji sebagai rujukan utama dan pedoman praktikal beragama. Pondok pesantren menjadi tempat utama atau pusat tradisi intelektual dan keagamaan Madzhab Syafii. Jadi, penguatan dan pengembangan tradisi intelektual dan keagamaan Syafii itu terjadi melalui mobilitas dan jaringan Ulama/Kiai dan Da’i atau Mubaligh dan reproduksi pengetahuan keagamaan secara terus menerus. Masjid, mushola, pusat-pusat pengajian, Majelis-majelis Ta’lim, madrasah-madrasah kemudian menjadi gerbong penting Madzhab Syafii di samping penerbit atau publishin houses. Secara kultural, Fiqh Syafii mendapatkan tempat dibanding Madzhab Fiqih lainnya meskipun sama-sama Ahlussunnah Waljamaah (Suni).

Corak ini bersesuaian dengan tradisi lokal sebagaimana yang diurai di atas. Hal ini diperkuat juga dengan pandangan atau corak teologis yang Asy’ariyah dan Tasawuf praktis Amaly Akhlaqi termasuk gilda-gilda Tarekat Muktabaroh. Sekali lagi pusat pentingnya adalah pondok-pondok pesantren yang diasuh oleh para Kiai yang secara umum teraviliasi di NU. Meskipun demikian, tidak seperti di Malaysia atau Brunei Darussalam, misalnya, yang nampak secara eksplisit menyebutkan sebagai penganut Madzhab Syafii. Indonesia adalah Negara Pancasila dan karena itu tidak pernah akan menyebutkan secara formal sebagai Negara Muslim Ahlussunah Waljamaah apalagi Madzhab Syafii. Memang, beberapa produk undang-undang yang terkait dengan soal-soal Ahwal al-Syakhsiyah (perkawinan misalnya) mengakomodasi Madzhab Syafii.

Lain halnya dengan Muhammadiyah. Meskipun KHA Dahlan, bersama KH Hasyim Asy’ari, murid ulama Syafii, gerakan ini cenderung lebih membuka dan menghargai empat Madzhab Suni. Karena itu, bukan penganut satu Madzhab tertentu sebagaimana yang kemudian dijaga dan dilestarikan di kalangan NU. Rujukan intelektual Muhammadiyah ketika Istinbatul Hukmi melalui Majelis Tarjih, lebih bervariasi tidak saja kitab-kitab Madzhab akan tetapi juga kitab-kitab rujukan keilmuan modern yang standar sesuai dengan masalah apa yang dibahas. Metode Ijtihad Muhammadiyah terus dikembangkan tidak terpaku kepada Ijtihad konvensional, apalagi Madzhab tertentu sesuai dengan prinsip Maqoshid al-Syariah, Masolih Ammah dan berkemajuan. Tidak berlebihan untuk digaris bawahi, bahwa sikap kritisisme dan rasional saat memberikan interpretasi (Tafsir) terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dan saat bertarjih sangatlah menonjol dalam tradisi Islam Muhammadiyah. Tak heran jika Muhammadiyah cenderung tidak terlampau terikat dengan cara berpikir dan pandangan para Ulama terdahulu apalagi terhadap pandangan satu Madzhab tertentu.

Al-Turats tetaplah penting, akan tetapi yang jauh lebih penting ialah mengarahkan, membangun dan merawat masa depan dengan memberikan tafsir yang progresif terhadap ayat dan hadits serta warisan intekektual ulama terdahulu. Yang juga menjadi bagian penting dari ini dan telah merupakan kepedulian Muhammadiyah ialah mengembangkan ilmu pengetahuan, sains dan teknologi yang produktif juga untuk Masolih Ammah dengan spirit integratif antara lain melalui pusat-pusat pendidikan modern/berkemajuan. Rujukan dan metode yang digunakan untuk menjelaskan Islam tentulah berbeda dengan pondok pesantren sebagaimana yang dijelaskan di atas. Artinya, Madzhab keislaman menjadi sesuatu yang tidaklah terlalu penting apalagi menjadi sangat penting bagi Muhammadiyah sebagai isu dalam membangun sebuah tradisi keislaman untuk Indonesia yang berkemajuan. Tapi tetap harus dihargai. Bukanlah merupakan halangan dan kesalahan membangun umat Islam dan bangsa dengan peradaban yang tinggi tanpa merujuk kepada Madzhab Islam konvensional.

Exit mobile version