Dakwah Komunitas
Dari ungkapan visioner HM Moktar secara explisit bahwa sebuah perpustakaan umum di lingkungan Persyarikatan (Muhammadiyah Kudus pernah punya “Perpustakaan Rakyat”) mempunyai karakter (1) inklusif artinya tidak punya tendensi ruang baca-belajar ini hanyalah untuk anggota Muhammadiyah semata; (2) aksesibel yang artinnya bacaan dapat diperoleh secara murah bahkan cuma-cuma. Dalam zaman sekarang ini sudah banyak tumbuh perpustakaan komunitas yang suka berbagi bahan bacaan secara gratis bahkan tanpa syarat sebagaimana yang dilakukan Rumah Baca Komunitas dan sejenisnya.
Terakhir, (3) terdapat dimensi komunitas sebagaimana yang tersirat bahwa perpustakaan umum model taman pustaka haruslah dibuka dimana-saja. Komunitas seperti di kampung, pasar, tempat kerja, dan sebagainya dirasa perlu. Watak komunitas di sini diartikan bahwa pengelola atau kepengurusan bersifat fleksibel (kesukarelaan), mekanisme pinjam yang sederhana, dikelola bersama oleh warga komunitas yang saling mengenal, dan tentu saja tidak berorientasi profit. Konsekuensi pengelolaan berbasis komunitas adalah dengan daya dukung dana yang kecil namun untuk menggerakkan kegiatan biasanya selalu ada jalan kreatif.
Untuk membangun spirit pengelola taman pustaka tentu perlu adanya etos percaya (trust) kepada peminjam atau pengunjung dan sesama pengelola. Pertama-tama yang perlu dilakukan adalah membangun keyakinan pengelola bahwa perpustakaan kecil yang dibangun akan memberi manfaat kepada pengelola itu sendiri, dan suatu saat dapat kiranya bermimpi manfaat bagi sesama. Dengan demikian, keberadaan perpustakaan atau taman pustaka ini tidak ditentukan oleh banyak sedikitnya pengunjung. Salah satu mantra yang perlu diingat adalah sebagaimana yang pernah dipesankan oleh Dauzan Farook asal Kauman yang dikenal dengan perjuangannya membangun “perpustakaan Mabulir” atau majalah buku bergilir yaitu bahwa, “siapa saja dapat menjadi penggerak literasi.”