Pembaruan Metodologi Tafsir
Di antara agenda yang dibawa Hasan Hanafi adalah terkait sikap terhadap keberadaan tradisi (al-turats) dan modernitas (al-hadatsah). Ada pihak yang menolak keras terhadap semua bentuk modernitas yang bersumber dari Barat. Sebagian lainnya menerima tanpa syarat semua bentuk modernitas. Namun, ada juga yang menerima sisi positif dan memadukan dengan tradisi: mengambil modernitas tanpa melupakan tradisi. Kategori terakhir inilah yang menjadi ciri pemikiran Hasan Hanafi.
Hasan Hanafi menaruh perhatian pada perlunya membangun kembali khazanah klasik dengan penafsiran yang kritis dan ilmiah. Menurutnya, penafsiran Al-Qur’an harus mencakup dimensi kebudayaan sebagai sikap ekspresi beragama. Selain itu, juga harus dapat memposisikan Islam sebagai fondasi religius bagi kemanusiaan universal: sebagai penyikapan terhadap realitas sosial.
Pemahaman umat Islam terhadap Al-Qur’an harus mampu memecahkan masalah kesenjangan sosial, ketidakadilan, kebodohan, pengekangan kebebasan berekspresi, dan hak asasi manusia. Penafsiran Al-Qur’an tidak hanya berbicara tentang dimensi ketuhanan dan bersifat elitis, tapi juga membumi dan mampu menjadi sinar pencerah bagi segenap manusia. Sehingga, ia pun mengkritik sikap sufi yang mengucilkan diri dari kehidupan sosial. Hal itu, menurutnya, merupakan sikap egois. Padahal, tanggung jawab seorang Muslim bukan hanya ibadah individu, tapi juga ibadah muamalah.
Menurut Hasan Hanafi, tafsir yang berkembang dan diwariskan dari generasi terdahulu adalah tafsir yang mampu menjawab tantangan pada zaman tersebut. Menurutnya, produk yang demikian belum tentu masih relevan dengan kondisi kekinian dengan problematika yang jauh lebih kompleks. Jika tetap memaksakan penafsiran ulama terdahulu, dikhawatirkan justru menguatkan ketidakadilan, kejumudan, dan bahkan ketertinggalan bagi umat Islam. Sikap mempertahankan kemapanan inilah yang diistilahkannya dengan “Kanan Islam”. Padahal, sebagai prinsip dasar, Al-Qur’an sebagai wahyu Tuhan itu bersifat qath’i, pasti, dan tak akan pernah berubah, sementara penafsiran terhadap Al-Qur’an adalah hasil ijtihad manusia, bersifat dhanny, relatif, tidak sakral, dan masih mengandung segala kemungkinan.
Oleh karena itu, Hasan Hanafi menawarkan teori baru dalam menafsirkan Al-Qur’an. Ia ingin memadukan antara perangkat penafsiran dari segi kebahasaan dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial. Penafsiran ini dinamakannya sebagai al-manhaj al-ijtima’i fi al-tafsir, atau lebih tepatnya metode tafsir tematik atau tafsir al-maudhu’i. Dalam model ini, seorang mufassir yang ingin mendekati makna Al-Qur’an tidak saja mengambil makna umum dari ayat Al-Qur’an, tapi sebaliknya, dapat juga mengambil makna dari fenomena sosial ke dalam ayat Al-Qur’an. Dalam kalimat lain, bukan hanya ingin menuntun fenomena sosial dengan ayat Al-Qur’an, tetapi mencarikan jawaban dari Al-Qur’an terhadap fenomena sosial.
Dengan demikian, mufassir bukan sekadar menjelaskan, tapi juga memahami. Tidak hanya mengetahui, tapi sekaligus menyadari. Seorang mufassir bukan hanya menerima, tapi memberi makna. Tidak hanya tekstual dan temporal, tapi sudah konstekstual dan global (menyesuaikan dengan kondisi sosial). Dengan metode ini, pemahaman terhadap asbab al-nuzul sangat dibutuhkan, agar diketahui konteks turunnya suatu ayat.•
________________________
Muhammad Ridha Basri, Ketua PK IMM Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Aktif di Lembaga KIBAR.