Hasan Hanafi dan Tafsir Sosial Al-Qur’an

Hasan Hanafi dan Tafsir Sosial Al-Qur’an

SUARA MUHAMMADIYAH. Nama Hasan Hanafi masih kalah masyhur dibanding sosok mufassir era terdahulu. Tidak sepopuler Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Padahal, keberadaan Hasan Hanafi tidak lepas dari dua nama tersebut. Ia adalah pelanjut gagasan pembaruan al-Urwatul Wutsqa.

Hasan Hanafi lahir di Kota Kairo, Mesir, pada 14 Fe­bruari 1934. Ia tumbuh dan besar di kawasan Kairo Fathimi, tak jauh dari tembok Benteng Salahuddin. Ia mendapatkan memperoleh pendidikan agama cukup bagus sejak kecil. Belajar Al-Qur’an sejak usia lima tahun di bawah bimbingan Syaikh Sayyid. Ketika masih sekolah menengah pertama, ia pernah mendaftar ke Asosiasi Pemuda Muslim sebagai sukarelawan perang. Tetapi pihak asosiasi menolak dan malah menyuruhnya pergi ke Batalion Ahmad Husain. Hasan Hanafi merasa heran dengan penolakan tersebut. Hal ini membuatnya mulai dapat meraba bahwa kepentingan partai kadang jauh lebih diprioritaskan daripada kepentingan bangsa Mesir. Sejak saat itu, pikiran kritis dan jiwa kepekaan sosial Hasan Hanafi mulai terpupuk. Nuraninya mulai meneriakkan sikap anti terhadap segala ketidakadilan dan penindasan. Wujud kepekaannya, misalnya, ditunjukkan dengan aksi demonstrasi, yang dilakukannya pada tahun 1948.

Saat di sekolah menengah atas, tepatnya tahun 1951, sedang berkecamuk pertempuran di Terusan Suez. Hasan Hanafi bergabung dalam kelompok Ekspedisi. Para sukarelawan, baik dari kader Wafdian maupun Ikhwanul Muslimin berlatih menggunakan senjata di Akademi Teknik Militer Abbasea. Saat itu, ia baru berusia enam belas tahun. Suatu hari, ia mendengar pidato dari Menteri Dalam Negeri, yang menghimbau supaya para pemuda ikut serta sebagai pejuang bangsa. Himbauan ini mampu membangkitkan semangat nasionalisme dan patriotisme masyarakat dari berbagai golongan, Muslim maupun Kristen, tak terkecuali Hasan Hanafi. Namun, yang paling berkesan dan menjadi titik-balik kesadaran nasionalisme Hasan Hanafi adalah peristiwa revolusi pada 26 Juli 1952, saat Raja Mesir dikudeta.

Setelah Revolusi 1952 itu, Hasan Hanafi mulai bergabung dengan gerakan Ikhwanul Muslimin. Tokoh-tokoh besar Ikhwanul Muslimin seperti Hasan al-Banna, Sayyid Qutb, Abdul Qadir Audah, Sa’id Ramadan, Alal al-Fasi, Hasan al-Asymawi, Abdul Hakim ‘Abidin, dan tokoh revolusioner Islam dan Barat seperti Muhammad Iqbal, Edmund Husserl, dan lain-lain, mampu memikat hatinya. Para tokoh inilah yang selanjutnya banyak memberi pengaruh pada cara berpikirnya.
Ia pun melanjutkan studi ke Universitas Kairo, Mesir. Ia memperoleh gelar Sarjana dalam bidang filsafat (1956). Setelah itu, ia melanjutkan hingga program doktoral di Sorbonne, Paris, Prancis. Tak kurang sepuluh tahun ia di Prancis. Ia berhasil mempertahankan disertasi, Essai sur la Methode d’exegese (Esai tentang Metode Tafsir Al-Qur’an). Karya ini diakui sebagai disertasi terbaik dan memperoleh penghargaan dari pemerintah Mesir. Ia pun kemudian diminta mengajar di almamaternya, Universitas Kairo, sebagai dosen tetap hingga diangkat menjadi ketua jurusan Ilmu Filsafat.

Ketika berada di Prancis. Hasan Hanafi tidak hanya mencurahkan waktunya untuk belajar dan mengkaji filsafat, tetapi juga menekuni musik dan seni. Ia masuk di salah satu Akademi Musik di Prancis. Pagi hari berada di Akademi Musik. Siangnya masuk kuliah. Malam harinya ia gunakan untuk membaca, mengerjakan tugas, atau bermain musik. Namun, rutinitas ini terpaksa ia akhiri di tahun keduanya di Prancis karena kelumpuhan yang disebabkan oleh faktor kurang gizi dan kegiatan yang terlalu padat. Kondisi lumpuh membuatnya harus memilih antara tetap bermain musik sebagai estetika yang minus pikir atau memilih filsafat yang minus estetika. Ia pun memilih filsafat. Ia baru yakin dengan pilihannya beberapa saat setelah menemukan perpaduan antara filsafat dan romantisme Hegel, Fichte, Schelling, Kierkegaad, dan Henri Bergson.

Dalam dunia akademik, Hasan Hanafi aktif memberikan kuliah di berbagai negara. Ia mengajar di Temple University, Philadelphia, Amerika Serikat (1971-1975), University of Fez, Maroko (1982-1984), menjadi guru besar tamu di University Tokyo (1984-1985), dan menjadi penasihat program pada Universitas PBB di Tokyo, Jepang (1985-1987). Selain disibukkan dengan aktivitas akademik tersebut, ia juga mencurahkan waktunya pada organisasi kemasyarakatan, terutama di negaranya.

Baca Selanjutnya>>>

Pembaruan Metodologi Tafsir
Di antara agenda yang dibawa Hasan Hanafi adalah terkait sikap terhadap keberadaan tradisi (al-turats) dan modernitas (al-hadatsah). Ada pihak yang menolak keras terhadap semua bentuk modernitas yang bersumber dari Barat. Sebagian lainnya menerima tanpa syarat semua bentuk modernitas. Namun, ada juga yang menerima sisi positif dan memadukan dengan tradisi: mengambil modernitas tanpa melupakan tradisi. Kategori terakhir inilah yang menjadi ciri pemikiran Hasan Hanafi.
Hasan Hanafi menaruh perhatian pada perlunya membangun kembali khazanah klasik dengan penafsiran yang kritis dan ilmiah. Menurutnya, penafsiran Al-Qur’an harus mencakup dimensi kebudayaan sebagai sikap ekspresi beragama. Selain itu, juga harus dapat memposisikan Islam sebagai fondasi religius bagi kemanusiaan universal: sebagai penyikapan terhadap realitas sosial.

Pemahaman umat Islam terhadap Al-Qur’an harus mampu memecahkan masalah kesenjangan sosial, ketidakadilan, kebodohan, pengekangan kebebasan berekspresi, dan hak asasi manusia. Penafsiran Al-Qur’an tidak hanya berbicara tentang dimensi ketuhanan dan bersifat elitis, tapi juga membumi dan mampu menjadi sinar pencerah bagi segenap manusia. Sehingga, ia pun mengkritik sikap sufi yang mengucilkan diri dari kehidupan sosial. Hal itu, menurutnya, merupakan sikap egois. Padahal, tanggung jawab seorang Muslim bukan hanya ibadah individu, tapi juga ibadah muamalah.

Menurut Hasan Hanafi, tafsir yang berkembang dan diwariskan dari generasi terdahulu adalah tafsir yang mampu menjawab tantangan pada zaman tersebut. Menurutnya, produk yang demikian belum tentu masih relevan dengan kondisi kekinian dengan problematika yang jauh lebih kompleks. Jika tetap memaksakan penafsiran ulama terdahulu, dikhawatirkan justru menguatkan ketidakadilan, kejumudan, dan bahkan ketertinggalan bagi umat Islam. Sikap mempertahankan kemapanan inilah yang diistilahkannya dengan “Kanan Islam”. Padahal, sebagai prinsip dasar, Al-Qur’an sebagai wahyu Tuhan itu bersifat qath’i, pasti, dan tak akan pernah berubah, sementara penafsiran terhadap Al-Qur’an adalah hasil ijtihad manusia, bersifat dhanny, relatif, tidak sakral, dan masih mengandung segala kemungkinan.

Oleh karena itu, Hasan Hanafi menawarkan teori baru dalam menafsirkan Al-Qur’an. Ia ingin memadukan antara perangkat penafsiran dari segi kebahasaan dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial. Penafsiran ini dinamakannya sebagai al-manhaj al-ijtima’i fi al-tafsir, atau lebih tepatnya metode tafsir tematik atau tafsir al-maudhu’i. Dalam model ini, seorang mufassir yang ingin mendekati makna Al-Qur’an tidak saja mengambil makna umum dari ayat Al-Qur’an, tapi sebaliknya, dapat juga mengambil makna dari fenomena sosial ke dalam ayat Al-Qur’an. Dalam kalimat lain, bukan hanya ingin menuntun fenomena sosial dengan ayat Al-Qur’an, tetapi mencarikan jawaban dari Al-Qur’an terhadap fenomena sosial.

Dengan demikian, mufassir bukan sekadar menjelaskan, tapi juga memahami. Tidak hanya mengetahui, tapi sekaligus menyadari. Seorang mufassir bukan hanya menerima, tapi memberi makna. Tidak hanya tekstual dan temporal, tapi sudah konstekstual dan global (menyesuaikan dengan kondisi sosial). Dengan metode ini, pemahaman terhadap asbab al-nuzul sangat dibutuhkan, agar diketahui konteks turunnya suatu ayat.•
________________________
Muhammad Ridha Basri, Ketua PK IMM Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Aktif di Lembaga KIBAR.

Baca Sebelumnya

Exit mobile version