YOGYAKARTA. suaramuhammadiyah.com— Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Muhammad Syarif menyatakan bahwa para mahasiswa dan generasi muda sebenarnya tidak perlu membantu KPK. Namun hendaknya membantu diri sendiri dengan menjadi pribadi yang jujur dan berintegritas tinggi. Hal itu dikatakan Laode dalam sesi Seminar Nasional Anti Korupsi dengan tema “Gerakan Pemuda Menjadi Harapan Menuju Indonesia Bebas Korupsi di Tahun 2045” di Gedung Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) pada Rabu (11/5).
“Gak usah bantu KPK. Bantu diri kalian sendiri!” ujar Laode di hadapan ratusan mahasiswa.
Beliau kemudian menyatakan, “Siapa yang pernah menyontek? Mulai besok bersumpah tidak akan menyontek lagi. Omong kosong kalau masih menyontek tapi pengen merubah negara. Bantu KPK dengan menjadi jujur,” tegas Laode dalam acara yang diselenggarakan oleh PK IMM Fakultas Hukum UMY.
Menurutnya, peran pemuda membantu KPK bisa diwujudkan dengan menjadikan setiap diri mahasiswa sebagai pribadi yang jujur. Jika semakin banyak pemuda yang sadar akan korupsi maka pemimpin Indonesia di masa mendatang juga akan diisi oleh orang-orang yang baik dan terbebas dari korupsi. “Seorang pemimpin itu akan berlaku berdasarkan pada bacaan buku dan pengalamannya,” tutur putra Makassar ini.
Bagi Laode, peran individu mewujudkan pribadi yang jujur dan berkarakter menjadi sangat penting di tengah kondisi masyarakat yang sedang tidak baik. “Masyarakat kita sedang sakit. Saya kasih contoh, ada Ujian Nasional yang gurunya mensetting supaya anak-anak dikasih contekan. Guru dan murid saling bekerjasama. Tiba-tiba ada anak yang protes justru dikucilkan. Ini terjadi di Jawa Timur. Kerusakannya sudah sangat parah. Kita sampai takut berbuat jujur,” ungkapnya.
Wakil Ketua KPK ini juga menceritakan kondisi KPK yang sangat terbatas. Oleh karena itu, peran pencegahan korupsi harusnya dilakukan oleh semua pihak dengan menempuh berbagai cara. “Saat ini KPK hanya memiliki 1.400 anggota, mulai dari pimpinan, penyidik, hingga karyawan dan satpam. Penyidik hanya 100 orang. Sementara laporan yang masuk mencapai 7000 kasus. Dan kami hanya ada di Jakarta saja,” katanya. (Ribas)