YOGYAKARTA. suaramuhammadiyah.com— “Bapak, saya dari Papua. 12 jam naik pesawat, mohon izin bicara. Saya bapak, jauh-jauh dari Papua,” ujar salah satu peserta dengan logat khas Indonesia Timur. Sambil berusaha menarik perhatian, anak muda itu bergerak menuju ke depan, mencoba meraih microfon. Alpha Amirrachman sebagai moderator, awalnya berusaha menolak memberikan kesempatan bicara pada peserta ini. Bukannya tanpa alasan, waktu sudah menjelang azan magrib. Puluhan peserta Rakernas lainnya yang berusia tua masih mengacungkan tangan dan berdiri untuk meminta izin bicara, sementara jadwal rakernas sedemikian padat hingga malam hari. Dalam kondisi seperti ini, moderator harus benar-benar bijak dan selektif memilih peserta yang berhak bicara dan dianggap mewakili semua peserta.
Antusiasme peserta Rakernas Majelis Pendidikan Menengah dan Dasar (Dikdasmen) PP Muhammadiyah utusan dari seluruh propinsi di Indonesia begitu luar biasa. Bagi mereka, ini kesempatan langka bisa bertanya, berbagi kisah, serta menyampaikan ide dan keluh-kesah tentang perjalanan Dikdasmen masing-masing daerah secara langsung kepada Prof Baedhowi selaku ketua Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah serta para konsultan ahli Dikdasmen, diantaranya Prof Yuhnan Yusuf, Prof Muhadjir Effendi, Prof Zamroni, Dr Kasiyano, Didik Suhadi PhD dan masih banyak lagi. Bahkan di sesi sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan ikut hadir dan menyampaikan amanat untuk peserta Rakernas di Kampus 1 Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta.
Si pemuda ini akhirnya diberikan kesempatan bicara. Sontak seluruh ruangan tiba-tiba riuh dengan tepuk tangan peserta. “Terima kasih Bapak. Saya baru dua minggu menjadi anggota Majelis Dikdasmen. Di daerah saya, ada sekolah Muhammadiyah yang ketua komite sekolahnya beragama Nasrani. Para siswa setiap hari belajar di rumah bapak komite sekolah yang Nasrani ini. Bapak komite rela rumahnya dipakai sebagai ruang belajar. Saya mohon kedepan, Dikdasmen dan bapak-bapak mengupayakan gedung sekolah untuk mereka,” demikian salah satu poin yang disampaikan oleh peserta ini.
Setelahnya, seorang delegasi dari Maluku mengisahkan tentang kondisi pendidikan sekolah Muhammadiyah di Ambon dan Maluku. Di Maluku, ada sekolah Muhammadiyah yang merekrut guru beragama Kristen. Langkah Dikdasmen merekrut guru Kristen ternyata memiliki banyak sisi positif. Terutama ketika maraknya konflik Muslim dan Kristen, sekolah Muhammadiyah yang mengakomodasi guru beragama Islam dan Kristen justru mampu menjaga situasi kondusif. Bahkan kemudian menjadi contoh, serta mampu menularkan kedamaian dan toleransi kepada lingkup yang lebih luas.
Menurut penuturannya, sekolah-sekolah di Maluku kerap mendapat perlakukan diskriminatif. Misalkan pemerintah tidak mau memberikan bantuan bagi sekolah yang siswanya kurang dari seratus. Padahal kondisi di sana berbeda jauh dengan di pulau Jawa. “Di sana itu satu desa punya satu sekolah. Kalau tidak, bisa berantem, beda kampung berantem. Selain itu, penduduk satu desa di sana kadang tidak sebanyak penduduk satu desa di Jawa,” ujarnya. Kasus lainnya, ada Kementerian Agama dengan kewenangan yang dimilikinya menempatkan kepala sekolah Muhammadiyah bukan dari unsur Muhammadiyah. Berbagai cerita diungkapkan oleh para peserta rakernas termasuk tentang fluktuasi mutu pendidikan Muhammadiyah di wilayah dan daerah. (Ribas)