Jimly Asshiddiqie Komentari Tempelan ‘Enak Jamanku Tho’

Jimly Asshiddiqie Komentari Tempelan 'Enak Jamanku Tho'

JAKARTA. suaramuhammadiyah.com Dalam pengajian bulanan PP Muhammadiyah, Jumat malam (13/5) di Gedung PP Muhammadiyah Jakarta, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie merefleksikan lengsernya rezim orde baru secara unik dan berbeda. Dia menyebut, momen 18 tahun perjuangan ini seharusnya menjadi titik balik untuk membenahi sistem pemerintahan Indonesia.

“Seminggu lagi kita akan memperingati peristiwa sejarah, 20 Mei ketika Suharto atas desakan masyarakat menyatakan dirinya berhenti dari jabatan Presiden. Dalam memperingatinya kita harus mengubah sistem, sekarang sudah berubah. Tapi apa sudah sempurna? Ya belum. Ini kan proses yang harus kita perbaiki. Setelah 18 tahun reformasi kita punya hak untuk koreksi,” ujar Ketua Penasihat Ranting Muhammadiyah Pondok Labu ini.

Menurutnya, memperingati peristiwa Mei 1998 bukan berarti bernostalgia yang justru menyebabkan kelengahan. “Bukan berarti kita harus kembali ke masa lalu seperti tempelan-tempelan di belakang truk yang bilang, ‘Masih enak zamanku tho’,” ujar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu.

Jimly menyatakan bahwa salah satu tujuan reformasi adalah untuk memperbaiki sistem dari sentralisasi ke desentralisasi seperti yang sudah dipraktikkan selama ini. Bagi Jimly, sistem yang ada saat ini mesti diperbaiki bersama karena cita-cita reformasi belum tercapai seluruhnya. “Saat ini sudah berubah tapi belum sempurna dan mesti diperbaiki bersama. Formalisasinya sudah selesai tapi sistemnya belum selesai, oleh karena itu momentum saat ini harus dimantapkan karena tepat untuk lakukan evaluasi,” ungkapnya.

Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) ini juga menyoroti belum efisiennya sistem demokrasi Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya lembaga yang kinerjanya saling tumpang-tindih atau mirip antara satu dengan yang lain. Lembaga yang dimaksud Jimly seperti pengadilan khusus yang berjumlah 9, komisi diciptakan lebih dari 50 lembaga, instansi yang melakukan penyidikan ada 55 instansi. “Jadi terlalu banyak pekerjaan yang diurus dan ada pekerjaan yang tidak diurus, saatnya evaluasi konfigurasi lembaga negara melalui UUD,” tuturnya.

Sementara itu, profesor riset di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro dalam kesempatan itu menyampaikan beberapa kritikannya pada sistem pemilihan pemimpin Indonesia setelah reformasi. Dia mengaku tidak semua hal salah pada sistem pemerintahan saat ini. Ada banyak kemajuan yang dicapai setelah reformasi. “Kita tidak bisa menutup mata terhadap terjadinyaperubahan, yaitu partisipasi masyarakat yang meningkat. Dan satu hal, saya sebagai perempuan secara politik dari perspektif demokrasi perempuan sangat diberikan peluang,” ungkapnya. (Ribas)

Exit mobile version