Selain sebagai pendidik dan pemimpin, Nyai Walidah juga seorang pejuang. Ia paham dan yakin betul bahwa suaminya, KH Ahmad Dahlan, adalah pejuang yang tulus. Namun, bagaimana pun cobaan dan ujian pasti ada. Apalagi bagi pejuang. Karena itu, Nyai Walidah, sebagai isteri seorang pejuang, harus sabar menghadapi setiap cobaan dan ujian. Suatu ketika, setelah KH Ahmad Dahlan kembali dari bertabligh di Banyuwangi, datang surat. “Kalau ingin dan berani kembali lagi ke Banyuwangi, silakan! Tapi, ingat, kalau berani berangkat, akan pulang tinggal nama,” demikian surat yang bernada ancaman dan tantangan.
Tidak ada kekhawatiran dan rasa takut sedikit pun terhadap ancaman itu. KH Ahmad Dahlan berangkat ke Banyuwangi. Karena keberangkatannya ke kota paling ujung timur P Jawa itu membawa kebenaran dan ajakan kepada kebaikan. Isterinya yang setia mendampingi untuk membesarkan hati suaminya menghadapi ujian itu. Mereka berdua sampai di Banyuwangi selamat. Tabligh yang disampaikan oleh KH Ahmad Dahlan pun berlangsung baik. Masyarakat Banyuwangi yang mendengarkan tabligh pun menerimanya dengan baik pula. Setelah istirahat dan dipandang cukup, mereka berdua kembali dan tiba di Yogyakarta dalam keadaan selamat.
Ibu Kota Negara Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Yogyakarta menjadi Ibu Kota Negara RI di zaman revolusi. Nyai Walidah fisiknya memang sakit. Namun, ruhaninya yang sehat senantiasa berdoa. Semoga Allah melimpahkan berkah karunia-Nya kepada Bangsa Indonesia. Kepada para tokoh yang menjenguk ke rumahnya, misal, Presiden Sukarno, Jenderal Sudirman, Bung Tomo, dll, tidak lupa ia memberi nasihat. Ia membesarkan hati, memperkuat persatuan dan kesatuan, serta selalu bertaqarrub kepada Allah.
Pada tahun 1946 berlangsung Tanwir Muhammadiyah di Yogyakarta. Para Konsul PP Muhammadiyah bersilaturrahmi ke rumah Nyai Walidah yang sedang sakit. Mereka selain menghibur dan mendoakannya agar sakitnya cepat sembuh, juga mohon nasihatnya. “Saya menguatkan apa yang pernah dinasihatkan oleh (alm) KH Ahmad Dahlan. Saya menitipkan Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah kepadamu,” demikian ia mengawali nasihatnya. Selanjutnya, ia mengajak bersyukur. Karena penjajah telah terusir dan Indonesia pun telah merdeka. “Mari kita hidup suburkan Muhammadiyah, yang akan mengisi wadah negara kita yang telah merdeka itu, yang akan membawa kebahagiaan Dunia dan Akhirat,” demikian inti nasihatnya.
Nyai Walidah Ahmad Dahlan, hari Jum’at 31 Mei 1946 pukul 13.00 wafat di rumah kediamannya Kauman, Yogyakarta. Jenazahnya, sore itu pukul 17.00, dimakamkan di Makam Kauman (sebelah barat Masjid Gedhe) setelah dishalatkan di Masjid Gedhe, Kauman, Yogyakarta. Banyak yang bertakziyah. Di antaranya Mr AG Pringgodigdo, Menteri Sekretaris Negara, yang memberi sambutan mewakili Presiden, KH Muhammad Rasyidi (Menteri Agama), dan para Pemimpin Pergerakan. Apalagi dari keluarga besar Muhammadiyah.
Atas jasa dan pengabdian Nyai Walidah Ahmad Dahlan sebagai pendidik, pemimpin, dan pejuang, maka Presiden menerbitkan Surat Keputusan Presiden No. 042 tahun 1971 yang berisi penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepadanya. Adapun gelar Pahlawan Nasional kepada KH Ahmad Dahlan telah ditetapkan oleh Presiden jauh sebelumnya.•