YOGYAKARTA–suaramuhammadiyah.com. Saat ini, peradaban Islam telah berumur 14,5 abad Hijriah. Terhitung sejak nabi Muhammad menerima wahyu pada hari Senin 19 Ramadhan tahun 14 sebelum Hijriah, atau Senin, 25 Agustus 609 Masehi. “Hanya saja, dalam usia yang relatif panjang ini, peradaban Islam belum mampu membuat kalender unifikatif yang akurat dan memenuhi ketentuan syar’i,” terang Prof Dr Syamsul Anwar MA.
“Dalam kehidupan sehari-hari pun, kita sering melalui peristiwa penting. Seperti pernikahan, di mana momen sakral tersebut, kemudian dicatat untuk keperluan, baik sosial, sipil, maupun administratif. Untuk itulah, kita memerlukan system tanda untuk menandai guliran waktu yang tak pernah berhenti, guna memudahkan mengingat peristiwa masa lalu ataupun merencanakan kegiatan di masa mendatang,” terang ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini.
Penjelasan panjang lebar Prof Syamsul Anwar tersebut, ada dalam acara Seminar Nasional yang bertajuk “Upaya Penyatuan Kalender Hijriah untuk Peradaban Islam Rahmatan Lil’ Alamiin” oleh Pusat Studi Islam Universitas Islam Indonesia bekerjasama dengan Rektorat Universitas Islam Indonesia (UII) pada hari Rabu-Kamis, 18-19 Mei 2016 bertempat di perpustakaan kampus UII.
Melalui kesempatan itu, Syamsul Anwar menegaskan, bahwa mewujudkan kalender pemersatu umat Islam adalah hutang dan tuntutan peradaban. “Dikarenakan kalender ditata sesuai filosofi dan tradisi sebuah peradaban, yang menjadi daya lenting dan kekuatan suatu peradaban,” tambahnya.
Hutang peradaban, juga bisa dipandang dari pengertian ekonomi, yang masih ada kaitannya dengan keperluan kalender Hijriyah global. Di mana terjadi defisit pembayaran zakat sejumlah 0,77% setiap tahun. Dikarenakan basis sistem akuntansi Islam dan bisnis Muslim, menggunakan system Gregorian yang lebih 11,5 hari dari tahun Hijriah. “Oleh karena itu, peradaban Islam menuntut kita untuk membayarnya dengan mewujudkan sistem kalender Islam unifikatif,” pungkas guru besar Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga ini. (GR)