YOGYAKARTA–suaramuhammadiyah.com. Guru bangsa, Ahmad Syafii Maarif mengingatkan supaya pemerintah Indonesia lebih serius menyelesaikan sisa-sisa konflik di Papua. Salah satu cara terbaik yang harus ditempuh oleh pemerintah adalah dengan menggunakan pendekatan yang lunak, bukan dengan cara-cara kekerasan dan militer.
“Pendekatan yang harusnya dipakai oleh pemerintah untuk Papua adalah dari sisi sosio-antropologis. Pada kenyataannya, pemerintah masih menggunakan pendekatan militer,” ungkap Buya Syafii dalam Diskusi Publik bertema “Zona Damai: Membangun Harmoni di Tanah Papua”, yang diselenggarakan oleh Program Doktor Politik Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) di Ruang Sidang Gedung Pascasarjana UMY lantai 1, pada Kamis (19/05/2016).
Propinsi Indonesia bagian Timur ini masih rentan dengan pertikaian antar suku hingga permasalahan separatisme. Namun ironisnya, perhatian dan niat baik dari pemerintah pusat untuk segera menyelesaikan semua kasus secara cepat dan tepat masih terbilang kurang. Padahal, ancaman disintergrasi Papua yang sewaktu-waktu bisa terlepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) masih sangat mungkin. Terlebih, bumi Papua memiliki cadangan Sumber Daya Alam (SDA) yang berlimpah.
Senada, Prof Abdul Munir Mulkhan melihat bahwa permasalahan di Papua hanya dapat diselesaikan dengan aksi nyata. “Di sini saya ingin mengambil contoh dari Suyoto, bupati Bojonegoro yang sudah dua kali memimpin Bojonegoro dan sukses. Semua orang yang memilihnya tidak ia janjikan jabatan di pemerintahan atau uang. Tapi ia melakukan gerakan nyata dengan membangun jalan-jalan dan lain sebagainya,” ujar guru besar UIN Sunan Kalijaga ini.
Dalam kesempatan itu, Munir Mulkhan juga mencontohkan prinsip dasar Muhammadiyah, menolong siapapun bukan untuk tujuan agar orang yang ditolong kemudian masuk Islam terlebih masuk Muhammadiyah. Melainkan murni untuk kemanusiaan. Prinsip ini harusnya bisa digunakan untuk kasus Papua. “Meski Muhammadiyah menolong orang sesuai dengan ajaran Islam, tapi tujuan utama menolong itu adalah untuk kemanusiaan,” tegas Prof. Munir.
Sementara itu, Ade Yamin MA, dosen STAIN Al-Fatah Papua menyatakan adanya pandangan diskriminatif dalam masyarakat Papua. “Orang-orang Papua menganggap bahwa orang Papua asli adalah mereka yang berkulit hitam dan berambut keriting. Saya yang berkulit hitam namun berambut lurus pun bisa dikatakan sebagai kaum pendatang. Dan di Papua, hanya orang-orang asli Papua yang diperbolehkan memimpin suku, bahkan menjadi pejabat-pejabat daerah. Oleh karena itulah, masyarakat Papua menganggap masyarakat pendatang sebagai ancaman,” jelas mahasiswa program Doktoral UMY.
Di akhir, Zuly Qodir mengutip pendapat seorang pengamat Bilver Sigh, yang mengatakan bahwa apabila Papua melakukan referendum lagi, bisa dipastikan mereka akan merdeka atau terlepas dari NKRI. (Ribas)