Oleh: Prof Dr H Muhadjir Effendy, M.AP
Ketika Universitas Muhammadiyah Malang memberi gelar Doktor Kehormatan atau Doktor Honoris Causa (HC) kepada Drs H Said Tuhuleley MM, sungguh tidak mudah, karena Pak Said bukan orang yang gampang menerima tawaran semacam ini.
Bagi UMM ini adalah pemberian gelar Doktor Honoris Causa pertama setelah berusia 50 tahun dan telah meluluskan 20 Doktor. Namun yang terpenting dan substantif dari pemberian gelar doktor kehormatan tersebut adalah karena yang bersangkutan memang layak mendapatkannya.
Said Tuhuleley adalah salah seorang yang sangat inten mencoba mengimplementasikan apa yang disebut gerakan Tauhid Sosial. Sebuah gagasan yang pertama dilontarkan oleh bapak Prof DR. M Amien Rais, Ketua PP Muhammadiyah (1995-2000).
Kunci tauhid, sebagaimana sudah kita ketahui, adalah terdapat dalam kalimat tahlil: Lailaha illa Allah. Kalimat ini sangat dahsyat, karena bisa membukakan pintu surga. Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang akhir perkatannya “ Lailaha Illa Allah”, maka akan masuk surga ” (riwayat Abu Daud).
Karenanya para praksis tauhid sosial, yang salah satunya adalah Said Tuhuleley, pada hahekatnya adalah para pemburu surga.
Siapa Pemburu Surga Itu?
Tauhid Sosial dalam pandangan Prof DR HM Amien Rais adalah ajaran tauhid yang menjadikan Islam sebagai agama untuk keadilan (The Reiligion of Justice). Yaitu tauhid yang membebaskan umat manusia dari segala bentuk pembelengguan, termasuk belenggu sistem yang tidak adil.
Mereka yang lemah dan tertindas (dhuafa-mustadh’afin) harus dibebaskan dari segala praktik ketidakadilan. Seperti buruh, tani, nelayan, dan kam marjinal lainnya.
Kaum dhu’afa-mustadh’adin itu harus menjadi perhatian dan kepedulian untuk dibebaskan dan diberdayakan oleh gerakan-gerakan Islam yang meletakkan tauhid sebagai fondasi ajarannya.
Gerakan Tauhid Sosial ini bisa juga disebut sebagai gerakan jamaah tahlilan dalam bentuk lain. Yakni tahlilan yang kalimat “Lailaha illa Allah”-nya tidak bersuara, namun menjelma menjadi kekuatan yang membebaskan manusia dari belenggu ketidak-berdayaan. Tahlilan yang digelar di sawah-sawah, di kampung-kampung nelayan, di tempat pembuangan sampah, dan di pasar-pasar tradisional.
Para pemburu surga ini datang ke tempat-tempat tersebut untuk membuat penghuninya ter-manusia-kan. Mereka datang untuk meninggalkan sesuatu yang bermakna. “Inna waladan shalihan ayyatruka fikulli makanin yahillu fihi atsarun shalihun”, artinya “Sesunggunya orang yang shaleh itu adalah orang yang datang di suatu tempat dan dia tinggalkan di tempat itu tanda-tanda yang bermakna”.
Dalam konteks gerakan Muhammadiyah, mereka ini bisa disebut golongan non-meanstream atau bukan kelompok arus-utama. Itu apabila kita setuju, bahwa gerakan yang berbasis pada amal usaha dewasa ini telah menjadi meanstream gerakan Muhammadiyah.
Ketika sekolah-sekolah, kampus-kampus, rumah-rumah sakit, dan panti-panti asuhan milik Muhammadiyah hampir sama saja karakteristiknya dengan yang dimiliki oleh negara maupun lembaga swasta lain, maka golongan non-meanstream ini hadir menjadi faktor pembeda.