Dunia WhatsApp dan sejenisnya merupakan fenomena paling aktual dalam interaksi manusia modern saat ini. Tiada hari, jam, menit, bahkan detik tanpa ber-WhatsApp. Demikian halnya pengguna Twitter, Facebook, telegram, BBM, dan media sosial lainnya. Mereka yang tidak memakai piranti medsos tersebut boleh jadi dianggap ketinggalan zaman.
WhatsApp merupakan aplikasi pesan seluler lintasplatform di dunia maya yang membuat setiap pengguna dapat bertukar pesan tanpa harus membayar SMS. Melalui WhatsApp (WA), semua pemakai ponsel bisa berkirim pesan satu sama lain dengan mudah dan tanpa biaya. Para pengguna WA dapat membuat grup, saling berkirim gambar, serta pesan video dan audio dalam jumlah yang tidak terbatas. Kini komunitas WA membentuk suatu interaksi sosial baru yang luar biasa cepat, mudah, dan tanpa batas waktu sehingga menjadi dunia yang hidup 24 jam.
Kelebihan medsos sangatlah luar biasa. Orang akan dengan mudah berkomunikasi kapan dan di mana saja tanpa kendala, kecuali handphone-nya mati atau tidak ada sinyal. Informasi aktual pun akan dengan mudah tersebar luas dalam waktu sekejap. Orang meski tak berdekatan secara fisik seolah sedang berinteraksi langsung. Inilah dunia supermodern berkat alat teknologi tercanggih di abad ke-21 dalam peradaban manusia modern.
Namun dunia WA dan medsos juga menyiratkan sisi dan karakter lain dalam perilaku manusia. Isu yang biasa dapat berubah menjadi luar biasa, apalagi isu yang luar biasa sertamerta meluas menjadi dahsyat. Berita lama dengan mudah diposting atau di-share dalam “tempo yang se-singkat-singkatnya” seolah baru.
Orang pun dengan mudah terpancing emosinya, lalu “berkicau” apa saja. Provokasi pun dengan gampang hadir silih berganti, yang sering dinikmati oleh pelaku dan penerimanya tanpa kritis.
Ada orang-orang yang seolah berani tidak tidur untuk terus hadir di dunia media sosial. Lepas tengah malam yang semestinya beristirahat pun masih segar berkicau di jejaring sosial. Boleh jadi jutaan atau milyaran manusia di planet bumi ini ketika jaga dari tidur yang dibuka handphone dan sertamerta hadir di media sosial, sebelum kegiatan lain dilakukan.
Di kala shalat malam pun bagi muslim yang rajin beribadah, tidak lepas berkomuniasi lewat media maya yang canggih itu. Tidak sedikit yang menyebar pesan mengingatkan dan mengajak shalat malam, sesuatu yang tentu baik, meski urusan ibadah sunnah seperti itu sesungguhnya wilayah pribadi setiap muslim. Lebih-lebih jika ajakan itu dibarengi sedikit rasa “pamer keshalihan” selaku ahli ibadah. Shalat lail biarlah senyap dan menjadi milik pribadi setiap muslim, tak perlu dipublikasikan.
Kembali ke dunia WA. Apapun media yang dipakai, di belakang alat itu yang paling utama manusianya. Manusia sebagai pengguna. Alat sehebat apapun itu benda mati. Alat bukanlah tujuan, ia sekadar media atau sarana. Manusia sebagai pelaku tidak boleh menjadi bagian subordinasi dari media. Manusia harus mengambil jarak dan menggunakan WA maupun media sosial lain secara proporsional. Manusia harus mengendalikan alat, bukan diperalat.
Insan beriman, lebih-lebih para aktivis gerakan Islam, patut menjadi teladan yang baik dalam ber-WA dan ber-medsos. Berlaku patokan adab atau akhlak dalam menggunakan media sosial. Adab mengajarkan kepantasan. Mana yang baik dan buruk, yang patut dan tidak patut. Hifzu-lisan atau hifzul-kitabah juga berlaku. Jangan sembarangan, berlebihan, dan semaunya sendiri. WA dan medsos jangan menjadi alat provokasi, menghasut, lebih-lebih ghibah dan fitnah. Jangan pula berlebihan dalam menggunakannya, sehingga tiada batas jam dan keadaan. Insan muslim haruslah mengedepankan keadaban ihsan dalam hal apapun, termasuk ber-WA dan ber-medsos!• A Nuha