SUARA MUHAMMADIYAH. Untuk menjadikan diri sebagai sebuah lembaga amil zakat nasional berkemajuan, Lazismu periode muktamar 2015-2020 bertekad melakukan reposisi. Reposisi itu dinilai penting guna membentuk sistem integrasi dari pusat sampai level daerah dan cabang serta pada level amal usaha Muhammadiyah yang menyelenggarakan kegiatan lazis.
Bukan tanpa alasan, upaya itu sengaja diprioritaskan mengingat makin kompleksnya tantangan zaman. Salah satunya adalah tantangan kebijakan regulasi perzakatan sebagaimana uu no 38 tahun 1999 dan direvisi uu no 23 tahun 2011. Kemudian tahun 2015 Kementerian Agama mengeluarkan Keputusan Menteri Agama (KMA) no 333 yang lebih tegas menyatakan tentang persyaratan pendirian Lembaga Amil Zakat (LAZ).
Untuk dapat dikategorikan sebagai LAZ Nasional, maka sebuah lembaga amil sekurang-kurangnya harus dapat mengumpulkan Rp 50 milyar/tahun. Sementara untuk LAZ provinsi Rp 20 milyar, dan Rp 3 milyar untuk LAZ kota/kabupaten. Regulasi tentang LAZ tersebut akan mulai diberlakukan tahun ini, tepatnya 26 November 2016. Bukan berarti selama ini Lazismu belum sesuai dengan peraturan tersebut, sejak tahun 2002 Lazismu berdiri dan dikukuhkan sebagai LAZ Nasional. Namun demikian Lazismu perlu menata diri kembali agar struktur kepengurusan dan standar-standar pengelolaan, sebagaimana peraturan yang berlaku, berjalan baik di semua level dan akhirnya terbentuklah standar pelaporan yang terintegrasi.
Selama ini, konsep kepengurusan struktural Lazismu masih berbasis pada jejaring. Maksudnya, Lazismu Pimpinan Pusat Muhammadiyah berperan sebagai payung bagi lazis di daerah. Karena konsepnya jejaring, maka hubungan antar Lazismu Pusat dengan jejaringnya sangat terbuka, tidak terstruktur, dan lebih berfungsi koordinatif. Pasalnya Lazismu di daerah didirikan oleh Pimpinan Muhammadiyah Daerah ataupun Cabang. Sehingga pertanggung jawaban mereka adalah kepada pimpinan yang mendirikannya, bukan kepada Lazismu pusat.
Karena belum adanya konsep kelembagaan yang seragam, keberadaan Lazismu di daerah cenderung apa adanya, dan sangat bergantung kepada kreativitas dan visi pimpinan di daerah. Bahkan sampai hari ini masih terdapat pimpinan daerah dan cabang banyak yang mendirikan Lazismu secara tidak formal, hanya sebagian kecil yang formal.
Maka perubahan kelembagaan Lazismu agar dapat menyesuaikan dengan perkembangan regulasi yang ada saat ini perlu dilakukan. Pola jejaring yang ada saat ini sudah seharusnya dimatangkan. Setidaknya, secara formal bisa ditunjukkan kepada publik dan juga pihak yang berwenang bahwa Lazismu di daerah memiliki hubungan yang utuh dengan Lazismu Pusat sebagai pemegang ijin kelembagaan dari pemerintah.
Selain itu, melihat perkembangan teknologi digital yang tumbuh pesat di tengah-tengah masyarakat, Lazismu juga ingin memaksimalkan perangkat digital tersebut guna menambah kelincahan dalam geraknya. Kebutuhan akan teknologi digital tentu akan membantu sistem yang dibentuk menjadi lebih mudah, efektif, dan lebih efisien.
Selama periode khidmad lima tahun ke depan, agenda reposisi sebagaimana dijelaskan di atas, akan menjadi program utama Lazismu. Kebijakan ini diputuskan Lazismu Pusat melalui Rakernas yang diselenggarakan di Sidoarjo Jatim beberapa waktu yang lalu. Semoga tema Reposisi Lazismu sebagai Amil Zakat Nasional Berkemajuan yang diangkat pada Rakernas itu, benar-benar menambah spirit Lazismu untuk melakukan perubahan dan menjawab tantangan zaman.• (gsh)