YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah–Sejarawan Prof Taufik Abdullah menyatakan bahwa Pancasila sebagai salah satu pilar kebangsaan seharusnya dimaknai sebagai kata sifat, bukan sebagai kata kerja. Antara kata sifat dan kata kerja memiliki implikasi dan pengaruh yang sangat jauh berbeda dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemaknaan sebagai kata sifat pada akhirnya akan mendorong dan melahirkan kemajuan bangsa.
“Pancasila harus dimaknai sebagai kata sifat, yang terkait dengan niat dan sikap mental. Sedangkan oleh Orde Baru, Pancasila ditempatkan sebagai kata kerja, yang hanya dihafal dan tidak dikerjakan,” ungkap guru besar Universitas Gajah Mada ini dalam forum Konsolidasi Nasional Muhammadiyah di aula Masjid KH Ahmad Dahlan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), pada Senin (23/05/2016).
Menurutnya, sebagai kata sifat, Pancasila seharusnya ditempatkan dalam posisi sebagai program Negara yang melekat dan harus dijalankan dalam ranah praksis, sesuai dengan rumusan para pendiri bangsa. Cita-cita luhur para pendiri bangsa itu tercermin dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila itu sendiri. “Unsur-unsur Pancasila sebagai landasan,” ungkapnya.
Bagi Taufik, tugas Negara yang harus ditunaikan tercakup dalam paragraf keempat Pembukaan UUD 1945. Yaitu, “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.”
Tugas Negara, kata Taufik, adalah untuk memajukan segenap warganya. Kemajuan hanya bisa dicapai dengan berangkat dari kesadaran kemanusiaan yang adil dan beradab. Para pejuang kemerdekaan Indonesia di masa lalu juga diinisiasi oleh para kaum terdidik yang telah mencapai kesadaran berada dalam kondisi sedang terjajah oleh Belanda. Berkaca pada sejarah perjuangan kemerdekaan, kemajuan dimulai dari kesadaran dan keinginan untuk maju.
Di bagian lain, Taufik Abdullah menguraikan beberapa karakteristik dan unsur dari kemajuan yang telah dipraktekkan oleh para pendiri bangsa. “Kemajuan tidak harus mengikuti bangsa asing (Barat). Kemajuan bukan menghilangkan identitas diri. Kemajuan menghilangkan sekat-sekat kedaerahan,” ungkap tokoh kelahiran Bukittinggi, 3 Januari 1936. (Ribas/Nisa)