YOGYAKARTA. suaramuhammadiyah.com– Critical issue yang dihadapi ketika ditanya mengenai permasalahan demokrasi adalah bagaimana merumuskan dan memahami peran negara. Di antara sekian banyaknya konsep demokrasi yang ada, Indonesia harus mampu menentukan sendiri model demokrasi yang ingin dikembangkan. Agama menjadi landasan moral, etika, norma dan nilai-nilai dalam berbangsa dan bernegara.
Hak tersebut dipaparkan oleh Dr Chusnul Mar’iyah dalam Sesi Diskusi Paralel I tentang Politik Berkemajuan: Demokrasi, Politik Pemerintahan dan Penegakan Hukum dalam forum Konsolidasi Nasional, di UMY Selasa, (24/5).
“Dalam proses ini, sumbangan konstitusi dari Muhammadiyah menjadi sangat penting. Ijtihad politik seperti apa yang akan kita lakukan?” lanjutnya.
Menurutnya, kita harus bisa merumuskan sendiri bagaimana demokrasi yang kita ingikan, bukan merujuk kepada produk barat yang cenderung liberal. “Kita jadikan sejarah Islam sebagai referensi. Karena demokrasi adalah buatan dan kesepakatan manusia,” terangnya.
Di negara Liberal yang menjadi rujukan pengalaman demokrasi kita, peran negara adalah dalam hal pendidikan, kesehatan, transportasi publik, dan lapangan kerja. Sedangkan selama ini, menurut Chusnul, apa yang telah dilakukan Muhammadiyah dalam pendidikan dan kesehatan telah menjadi langkah yang sangat tepat untuk mampu hadir di tengah masyarakat.
“Pertanyaannya, di mana posisi negara atas apa yang dilakukan Muhammadiyah? Seberapa besar subsidi yang diberikan negara? Padahal selama ini mencerdaskan bangsa adalah tugas yang juga tertulis dalam UUD 45,” tutur Chusnul.
Menggarisbawahi tentang kedaulatan, Chusnul menuturkan bahwa kini ada 90 lebih rancangan undang-undang Indonesia yang dibuat oleh asing untuk mempertahankan kepentingannya di Indonesia. Pasalnya, apa yang selama ini dilakukan oleh negara-negara asing dengan sistem demokrasi liberal adalah melindungi para pengusaha dan pemilik modalnya. Bahkan hal ini terlihat ketika terjadi perang di Irak dan negara-negara Timur tengah lainnya.
“Kedaulatan kita tidak akan tercapai selama kita masih tidak bisa mengatakan kata ‘tidak’ kepada korporasi-korporasi dan pihak asing yang selama ini memberikan pengaruh dan menghambat kemajuan kita,” imbuhnya.
Memahami peran ini, Negara seharusnya menjadi pelindung bagi warga negaranya dalam mendapatkan kesejahteraan di tengah era MEA ini. Menurut Chusnul, sebuah ironi ketika pemerintah Indonesia secara massif mengirimkan para pekerjanya menjadi TKI di luar negeri sedangkan di Indonesia sendiri menyerap tenaga asing untuk dipekerjakan di dalam negeri.
Berkaca kepada ini, Muhammadiyah harus mengubah mindsetnya dan menghilangkan phobia terhadap politik. “Kita harus belajar. Muhammadiyah harus mempunyai jihad politik. Jika tidak, Muhammadiyah akan tergerus oleh proses-proses politik yang ada,” pungkasnya. (Th)