YOGYAKARTA. suaramuhammadiyah.com– Agama Islam yang lahir dalam konteks masyarakat Arab pada abad ketujuh telah bermetamorfosis dan mengalami proses panjang perkembangan hingga sampai di Indonesia. Oleh karena itu, pengamalan Islam harus bisa dimaknai dan dipahami dalam konteks ruang dan waktu yang selalu berubah. Terlebih dalam perjalanannya, ketika gagal memahami keterkaitan antara agama dan politik-sosial-budaya, maka akan gagal memahami wajah Islam itu sendiri.
“Pemikiran keagamaan terkait dengan perkembangan politik di dunia. Jika gagal mengkaitkan antara agama dan politik maka akan salah memahami Islam,” ungkap Prof Amin Abdullah, dalam sesi diskusi paralel Budaya Berkemajuan dengan tema Revitalisasi Karakter: Aktualisasi Agama dan Pancasila dalam Identitas KeIndonesiaan di Gedung Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY, pada Selasa (24/05).
Menurut guru besar UIN Sunan Kalijaga ini, pemikiran keislaman di Indonesia penting untuk dikembangkan dan dijaga pada jalur kesesuaian antara agama dan Pancasila. Ketika agama tidak bisa dipadukan dengan semangat nasionalisme, maka dikhawatirkan akan muncul permasalahan kemanusiaan, seperti Arab Spring yang melanda Negara-negara Timur Tengah. “Pemikiran politik keislaman sangat sulit dikembangkan di Negara Timur Tengah. Indonesia dengan Pancasila dapat mengembangkan pemikiran tersebut, lebih mudah melihat kultur di Indonesia,” ungkapnya.
Amin Abdullah berpendapat bahwa agama dan Pancasila sebagai legacy atau warisan pemikiran Islam. Kedua unsur itu membentuk konvergensi agama dan bangsa, menjadikan demokrasi dan sikap inklusifitas sebagai maqasid syariah (tujuan beragama). Selain itu juga ada kohesivitas sosial yang diperkuat dengan bentangan geografis sebagai Negara kepulauan. “Sebagai Negara kepulauan, Indonesia tidak mungkin membuat tembok beton sebagaimana Cina atau Berlin. Ini sebagai isyarat keberagaman. Ingatan kolektif kita inklusif, sebagai budaya maritim, yang membentuk kita,” katanya.
Bagi Amin, solidaritas keagamaan ini menjelma menjadi modal kultural dan modal sosial yang tidak ternilai harganya. Agama dan pemikiran keagamaan di Indonesia perlu didudukkan dan dikonstektualisasikan dalam ruang, waktu, dan pandangan keilmuan. Perpaduan antara khazanah keislaman klasik (turats) dan ilmu-ilmu sosial akan menjadikan wajah agama bisa dilihat secara lebih objektif.
Beberapa wacana menurut Amin Abdullah memang sudah selesai, cuma implementasi dan aksinya masih memiliki banyak pekerjaan. Dirinya menyebut di antara ancaman yang masih mengintai, yaitu sikap sectarianism yang tercermin dalam sikap hizbiyyah dan taashubiyah serta pengaruh doktrin al-walla wa al-barra. Doktrin ini mengajarkan untuk patuh dan setia pada etnis, suku, dan yang segolongan dengan dirinya, dan di saat bersamaan bersikap memusuhi dan mengambil jarak dengan yang berbeda. (Ribas)